Dirimu
dihatiku
Tak
lekang oleh waktu
Meski
kau bukan millikku
Intan
permata yang tak pudar
Tetap
bersinar, mengusik kesepian
Jiwaku…
“Tak
Lekang oleh Waktu” by Kerispatih
Awan
hitam menggelayut di atas langit ketika aku sampai di sebuah bangunan yang
sangat aku kenal ini. Kumatikan tape yang
melantunkan lagu itu secepatnya, dan kubuka pintu mobil perlahan. Kutapakkan
kakiku ke permukaan tanah, lalu kututup pintu mobil sedan tuaku itu perlahan.
Aku berdiri, mematung. Di depanku berdiri bangunan yang menyimpan sebuah kisah
masa kecilku. Kemudian kumasuki halamannya perlahan.
Ya…
Dua belas tahun lalu, di gedung inilah aku memulai kisahku dengannya. Di gedung
ini pula aku mulai mengenal dunia baru, mengenal teman, mengenal guru, mengenal
ilmu, dan mengenal kebodohan untuk membiarkannya pergi jauh dariku.
Tampaknya
renovasi telah dilakukan di sana-sini. Bangunan ini agak terasa asing. Namun,
ingatanku masih melekat, kuat. Kuhirup udara sedalam-dalamnya, lalu kuhembuskan
saat aku membuka mata, perlahan. Tiba-tiba, tergambar jelas di dalam bayanganku
tentang bangunan itu, semuanya tampak seperti kenyataan. Ya, gedung taman
kanak-kanak yang kukenal dulu, ayunannya, jungkat-jungkit, perosotan, bak
pasir, kolam ikan kosong, semuanya…
Aku
menghela napas sekali lagi, lalu berbisik di dalam hati.
“Andai
dia masih di sini Tuhan, tak akan kuulangi kesalahanku untuk yang kesekian
kalinya… Aku begitu merindukannya. Apakah benar-benar sudah tidak ada
kesempatan untukku lagi, Tuhan?”
Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu.
***
Halaman sekolah tampak ramai. Ya,
begitulah suasana pada saat istirahat.Teman-temanku bermain dengan riang,
seperti tanpa beban. Begitupula aku, Alice dan Surya. Di sisi lain aku melihat
Dean dan Mirza,sedang berdua. Alice dan Surya adalah sahabatku di masa kecil.
Begitu pun Dean dan Mirza. Namun berbeda dengan temanku yang lainnya, Dean dan
Mirza tampaknya telah terkena dampak negative dunia persinetronan yang
terkadang terlalu banyak menayangkan adegan sepasang kekasih ini. Mereka, Dean
dan Mirza, menyebut status mereka sebagai berpacaran. Polos? Jelas tidak.
Ketika bel masuk berbunyi, entah
bagaimana ceritanya hingga dengan mudahnya Mirza menirukan adegan di
sinetron-sinetron sampah itu. Dikecupnya pipi kiri Dean, seolah itu adalah
adegan biasa di usia kami yang masih 5 tahun. Dan ya, kami merespon adegan itu
dengan cepat, bersorak-sorai,tertawa,seolah itu adalah adegan dari seorang
aktris dan aktor yang mampu menghipnotis kami dengan aktingnya. Dean? Dia hanya
tersenyum malu-malu, lalu menghampiri seorang anak yang duduk di sisi lain.
Dia Rezky. Rezky Oktavian Gunawan.
Entah apa yang mereka bicarakan, hingga kemudian Dean menghampiriku,memasang
tampang menggelikan, lalu berkata, “ Cie..cie… Diva… Pacarnya Rezky ya ternyata?“
Aku
terbelalak. Apa yang telah mereka bicarakan? Dan bagaimana bisa Dean menggodaku
sepeerti itu. Oh, hanya Dean, Rezky dan Tuhan yang tahu. Dan biarlah menjadi
rahasia mereka.
***
“Tik…Tik..Tik…”
Olala! Rintik hujan itu menyadarkanku.
Semakin lama semakin deras dan memaksaku untuk berlari menuju naungan atap
gedung itu. Namun pikiranku masiih belum seratus persen, masih melayang-layang
menyusuri ruang dan waktu. Sendirian.
Rezky…
Aku tidak pernah memiliki cukup kata-kata untuk menggambarkan kerinduanku
kepadanya. Seseorang yang kutemui dua belas tahun yang lalu dan harus
kulepaskan karena kebodohanku. Rezky kecilku yang baik, yang tidak pernah mampu
untuk kuberitahukan bahwa aku sayang padanya.
Dulu,
awalnya aku tidak memiliki rasa sayang sebesar ini kepadanya. Hanya sebagai
saudara, sahabat. Tak lebih. Dan harusnya, aku dan dia masih bisa berteman
dengan baik sampai detik ini. Sayang, takdir berkata lain… Karena
kebodohankulah, akhirnya dia mengucapkan kata “putus” saat upacara bendera
rutin di hari Senin selesai. Sebuah kata yang mampu memutuskan hubungan kami.
Sebagai apapun. Termasuk saudara dan sahabat.
***
Kurasakan
buliran hangat dari sudut mataku mengalir membasahi pipi, membentuk garis
seperti aliran sungai. Aku terduduk lemas. Tak memperdulikan lantai gedung yang
basah, terkena hujan. Aku begitu menyesal akan kesalahan pertamaku. Begitupun
kesalahan keduaku, ketiga, keempat dan entah sampai yang keberapa kalinya.
Setahun
yang lalu,aku bertemu kembali dengan
Rezky. Di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar yang tak bermutu. Yang sama sekali
tak pernah aku duga akan menjadi salah satu tempat yang akan mempertemukan
kembali aku dan dia. Orangtua Rezky tidak bisa dibilang orang biasa, dan
rasanya susah untuk mempercayai bahwa yang duduk di sudut bangku kayu itu
adalah dia.
Untuk
kesekian kali itu juga aku tidak berani menyapanya. Bahkan, ketika aku
benar-benar yakin bahwa itu adalah Rezky Oktavian Gunawan setelah membaca
namanya di daftar nama siswa. Aku memang pengecut, terlalu pengecut. Aku berpura-pura
untuk tidak menyadari keberadaannya walau sesungguhnya ingin sekali menyapa dan
mengajaknya berbincang. Entahlah, aku tak yakin dia masih mengingatku. Tapi
yang jelas, aku masih sangat mengingat dia.
Hatiku
berdesir ketika dia menempati tempat duduk tepat di depanku. Aku masih tidak
percaya itu Rezky. Benar-benar Rezky… Rezky kecilku yang telah tumbuh layaknya
laki-laki dewasa. Dan yang mungkin tak kukenal lagi… Telapak tanganku terasa
dingin. Diam membisu. Dan terkadang mencuri celah untuk memandangnya. Rasanya tak dapat diungkapkan.
Semuanya bercampur jadi satu. Senang, sedih, takut, gugup, penasaran… campur
aduk bak gado-gado. Aku kecewa ketika seminggu kemudian tak mendapatinya di
tempat itu lagi. Kuulangi lagi kesalahanku yang dulu-dulu. Aku tetap tak berani
menyapa dia ketika seminggu kemudian dia hadir dalam kelas itu. Menatap mata
saja tidak sanggup. Diva Nadia yang begitu pengecut.
Kurasakan
rasa sayang itu menjalariku. Kini lebih… Bukan lagi sekedar rasa sayang biasa.
Meski aku malu mengakuinya, tapi inilah cinta. Aku sadar, sepenuhnya. Pertemuan
itu hanya terjadi dua kali saja. Setelah itu, kami tidak pernah bertemu di LBB
murahan itu lagi. Namun, frekuensi berpapasan dengan dia di jalan semakin
meningkat. Aku bisa menyadari kehadirannya, seolah memiliki antenna khusus
untuk mendeteksi keberadaannya. Dari arah manapun aku melihatnya, aku tahu
bahwa itu Rezky. Hanya saja… aku tak pernah mendapatinya sedang menyadari
kehadiranku.
Aneh…
Peristiwa itu sudah terjadi dua belas tahun yang lalu. Harusnya aku lupa.
Harusnya aku acuh tak acuh. Tapi ternyata perasaan ini tak pernah mati. Bahkan,
ketika aku menyadarinya, perasaan ini tumbuh berkali-kali lipat lebih kuat. Oh,
bodohnya aku… Telah kulepaskan ia hingga dia pergi jauh dariku. Aku masih penasaran
padanya. Sampai akhirnya, kuberanikan diri untuk meminta nomor handphone-nya
dari temanku. Senang? Iya, tentu. Tapi aku tak tau bagaimana harusnya
memperlakukan nomor tersebut. Hingga kemudian memutuskan untuk menghubungi dia
dengan berpura-pura menjadi orang lain. Nekat…sungguh nekat. Aku mengajaknya
berkenalan lagi denganku, sebagai orang lain. Frekuensi chatting terbilang sangat tinggi dan kami menceritakan banyak hal
satu sama lain.
Namun
ternyata, berpura-pura menjadi orang lain membuat aku merasa bersalah. Hingga
suatu ketika, aku memberanikan diri lagi untuk mengakui siapa diriku yang
sebenarnya. Aku tahu konsekuensinya. Dan akan kuambil konsekuensi itu demi mengurangi
rasa bersalahku padanya. Ketika dia mengetahui siapa aku, ada dua hal yang aku
terima. Baik, dan buruk. Kabar baiknya, dia masih mengingat aku, namaku,
orangtuaku. Kami berkomunikasi dengan normal sebagai aku dan dia. Hatiku
melonjak, girang. Namun sayangnya, semenjak itu aku dan dia semakin jarang
berkomunikasi lagi. Ya, meskipun kadang-kadang masih suka chatting dengannya, tapi tak bisa seperti saat dia belum mengetahui
jati diriku. Aku merindukan dia yang bercerita bebas kepadaku. Sekalipun itu
tentang Andara, seorang cewek manis, supel, cuek dan baik hati yang
dikaguminya. Aku merasa tercabik-cabik. “Andara itu bukan aku, oh… betapa
beruntungnya Andara,” selalu itu yang berada di pikiranku. Namun aku tetap
berpura-pura tak mengenal Rezky sebelumnya.
Perlahan,
kusadari bahwa semua tak lagi sama. Dia ternyata memang sudah dewasa. Bukan
lagi Rezky kecilku yang dulu. Rezky yag pernah mengikat hatiku. Rezky yang baik
padaku. Rezky yang menerimaku apa adanya. Bukan, bukan lagi Rezky yang aku
kenal dua belas tahun yang lalu. Ah… Andaikan dulu aku tak menyia-nyiakannya…
andaikan aku dulu berani berkata “ya’’. Setidaknya, kenanganku dan dia tak
hanya sebatas kata “putus”. Seharusnya aku dulu punya lebih banyak waktu untuk
mengukir kenangan. Oh… seandainya aku bisa memutar waktu kembali… Andai aku
masih diberi kesempatan untuk bersamanya… Aku, menyayanginya. Lebih dari itu,
aku mencintainya. Dan ya… aku tak akan pernah bisa memilikinya, hatinya…
***
Airmataku
masih mengalir. Menangis tanpa suara. Memandang langit yang begitu kelam,
sekelam hatiku saat ini. Di dalam setiap lingkaran kehidupan, pasti setiap
orang pernah melakukan kesalahan. Begitupula aku. Dan kesalahan yang pernah aku
lakukan dulu, telah merebut Rezky dan menjauhkannya dariku. Rezky kecilku…
Hingga saat ini, detik ini, aku masih sangat mencintainya. Hanya saja, jika aku
terus menunggunya tanpa kepastian, aku yang akan kehilangan waktuku. Jika aku
hanya berdiam, aku tak akan mungkin mampu mengejar ketertinggalanku darinya.
Masa depanku, harus kuperjuangkan cita-citaku. Aku tak boleh hanya berdiam diri
dengan seribu penyesalan.
Tak
pernah kurasakan cinta yang sebegini besarnya. Aku tak pernah lagi mengenal
Rezky-Rezky yang lainnya. Meski ada begitu banyak cinta yang dating dan pergi,
namun tak pernah ada yang se-istimewa dia. Hanya dia yang bertahan,
satu-satunya. Tak kusangka, peristiwa dua belas tahun yang lalu itu bisa
membuatku sebegini gila. Rezky membuatku percaya bahwa cinta, perasaan suka
seorang anak kecil hanya sekedar cinta monyet. Ada beberapa diantaranya yang
mungkin ditakdirkan untuk menjelma menjadi cinta yang sesungguhnya. Namun
sayangnya, Tuhan belum mengijinkan dia untuk bersamaku. Dia tercipta, tapi
bukan untukku. Dan di hari ini, detik ini, aku harus merelakan Rezky. Di sini,
di gedung ini, di tempat awal ceritaku dengannya di mulai. Di sini pulalah
harus aku akhiri.
Namun,
ya… Rezky akan selalu ada di hatiku. Tak akan terhapus oleh waktu, meski aku
tak akan ppernah bisa memilikinya. Dialah intan permata yang tak pernah pudar
dan tetap bersinar. Kini, akan kututup rapat-rapat kisahnya, akan kusimpan ia
di tempat teraman dan ternyaman di dasar hatiku. Akan kubawa, hingga menutup
mata. Cinta tak harus memiliki bukan? J
“Bye
Rez… Kali ini, selamanya.”
Aku melangkah perlahan menuju mobil
tuaku. Tak memperdulikan air hujan yang membasahi tubuhku. Kunyalakan mesin
mobil perlahan. Kutengok sekali lagi bangunan itu. Hatiku seolah-olah mengucap
salam perpisahan. Aku bertekat untuk melupakan dia, meski dia akan selalu
tersimpan, menjadi salah satu kisah untukku, hanya untukku. Kulajukan mobil
tuaku perlahan. Menyadari, cintaku tak akan pernah bersambut. Dan menyadari
pula, bahwa aku harus merelakan dia untuk pergi jauh. Harus kurelakan… Losing
my Love.
*The End*