Siang ini kudapati kamu. Darimu kudapati perbincangan baru,
ideologi baru, prinsip baru. Baru karena aku jarang menemuinya pada orang lain.
Namun percayakah kamu? Bahwa aku berpikir kita serupa.
Kamu berbicara tentang kerja, peluang-peluang untuk menjadi
sukses, dan bukannya seperti yang lain, yang mengharap untuk menjadi kuli
pemerintah dan rela untuk melakukan segalanya demi itu. Kamu berjalan dalam
sebuah ke-abnormalan, yang memilih
untuk merantau ke arah barat demi menjadi ‘kuli’ lain yang berpotensi untuk
segera membuat kantongmu penuh dengan pundi-pundi uang, untuk kemudian kembali
pulang, di suatu waktu nanti. Dan aku tersenyum mendengarnya, sebab aku seperti
merasa menemukan orang yang sama, sama-sama tak mau diikat dan ingin menemukan
petualangan-petualangan baru.
Kali lain, kamu membicarakan politik, dan aku hanya menjadi
pendengarmu, bertanya satu-dua, dengan batas kemampuanku. Makananmu adalah
koran, dan makananku adalah nasi, itu beda kita. Sekali lagi, kamu abnormal, keabnormalan yang membuat orang normal ingin menjadi turut abnormal bersamamu.
Satu lagi. Kamu tahu? Ketika orang lain menanyai kita satu
persatu tentang ‘kapan’? Lalu dia menebak bahwa aku akan menjadi yang pertama,
sedang kamu yang kedua. Di saat itu pulalah aku berharap agar kita dipertemukan
dalam satu waktu, hari yang sama, jam yang sama, menit yang sama, detik yang
sama. Sama-sama mengucapkan ikrar untuk sehidup semati.
Aku tak secantik Ibunda Khumairoh, istri kesayangan Nabi
Muhammad SAW. Tak setelaten dan se-serba bisa Mama, untuk Bapak-ku. Bahkan, aku
tak pula sepintar Ibu Ainun yang bisa menyanding kegeniusan-mu Habibie-ku.
Tapi menyandingmu, walau hanya untuk beberapa saat. Kegugupan
yang kurasa akan menyergapku saat menghadapimu seketika lenyap. Tak pula
kurasakan debaran hebat, melainkan yang ada hanya rasa nyaman, damai, layaknya
bertemu sahabat yang lebih dari sekedar sahabat.
Aku tak mengerti, tapi harapanku tumbuh liar bersama asaku
membumbung membelah langit-langit rumah, menuju langit yang sebenarnya. Mendengarmu berbicara
tentang berbagai hal, membaca prinsip-prinsip yang tersirat dari tiap apa yang
kau bicarakan, kesigapan, kesiapan, kepercayaan yang ada bersamamu, dan keseluruhan
elemen yang membentukmu membuatku hangat, lalu percaya...bahwa tumbuh menjadi
tua bersamamu pun akan menjadi satu bagian impianku.
Kamu tak lagi seperti kanvas kosong. Kanvasmu itu telah
ditorehi puluhan prinsip dan berbagai hal. Meski aku tak bisa menjanjikanmu
bahwa aku akan meghiasi kanvasmu dengan yang manis-manis, tapi percayalah, aku
akan menemanimu untuk menuntaskan lukisan dalam kanvas itu, dalam gelap dan
terangmu, aku tahu untuk satu hal, bahwa aku tangguh untuk itu.
Menyandingmu dalam beberapa waktuku, membuatku seperti menemukan
partner terhebat dalam berbincang.
Mulai dari hal yang sepele, hingga yang genting sekalipun. Dari yang orang lain
bicarakan, hingga yang orang lain tak sekalipun memikirkan. Dari yang orang
lain memahami, hingga yang tak mereka pahami sekalipun. We’re in the same frequency.
Maka, jika aku boleh memohon, maka Allah, perbolehkan aku
untuk yang kali ini, menjadi bertali dengannya. Menjadi penguat dan penambah
hebatnya meski mungkin, sejatinya aku berkebalikan. Untuk kali ini, Allah,
amini do’a salah satu ciptaan-Mu yang mulai lelah berlayar, dan tak sabar
membuang sauh, berhenti pada sebuah tempat untuk berlabuh. Meski sejatinya,
jikalaupun engkau mengkehendakiku untuk berlayar 50 hingga 100 tahun lagi, aku
masih kuat. Namun sesungguhnya Allah, Yang Maha Kuat hanya Engkau dan aku tidak
akan kuat untuk mendengar celoteh dunia terhadapku, pelayar yang tak kunjung
mendapatkan tempat untuk berlabuh. Aku menuliskan rasaku pada benda ini Allah,
dan tak menginginkan ia untuk membacanya...
Sungguh, surat ini bukan untuk kamu, bukan untuk kamu
yang sebagai kamu saat ini. Suatu waktu nanti, bisa jadi kamu akan membacanya, karena aku yang akan membacakannya untukmu, maka, jikalaupun begitu, tersenyumlah. Jika tidak, maka, semoga kamu selalu
berbahagia dengan yang lain. J
Selamat malam, kamu. Terimakasih untuk hari ini.