Jumat, 20 Februari 2015
Ada yang mengganjal. Ada yang menunggu untuk disampaikan. Tapi bagaimana? Jangankan menyampaikan, menyusun katapun tak ada daya. Entah pertanyaan, entah pernyataan, keduanya aku tak sanggup mengungkapkan. Kepada siapa dan atas dasar apa? Tak ada yang wajib menjadikanku sebagai tanggung jawabnya dan dia berhak pergi kemana saja yang ia mau. Semudah itu... Maka, berhenti berharaplah wahai hati yang bebal. Tak ada yang bisa kau gantungi harap setinggi langit, selain Ia...
Rabu, 18 Februari 2015
Keputusan
Senja memerah, dan Amanda masih berada di luar rumah. Dia
sedang berada di Ranah Kopi, sebuah cafe di jalan Margonda, Depok. Di
sebelahnya Kak Ali sedang bercerita panjang lebar, dan dia menjadi pendengar.
Entah ini kali yang keberapa, Kak Ali, kakak tingkatnya, selalu menceritakan
keluh kesahnya tentang hubungannya dengan Denada. Hubungan mereka kian lama
kian meretak, dan dia mengaku sudah lelah serta ingin menyudahi. Amanda,
seperti biasa, hanya menyampaikan kata-kata seperlunya, bahkan kalau boleh
dibilang, dia justru meredam dan berusaha untuk membuat Kak Ali mengurungkan niatnya.
Padahal, jauh di dalam sana, ada hati yang sedang goyah, dia justru melompat
senang, namun perasaan itu disembunyikannya dalam-dalam. Hati itu, hati Amanda,
dan dia merasa bersalah kemudian.
Amanda, pada akhirnya harus tetap mendengar kabar bahwa
hubungan Kak Ali dan Denada buyar di lain hari. Amanda, yang dari dulu
mengagumi Kak Ali, lebih dari itu, menyukainya dalam diam, senang setengah
mati. Tapi bagaimana, dia tahu bahwa dia sudah bagaikan adik sendiri di mata Kak
Ali. Dia tetap diam kemudian, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan.
Waktu terus berjalan, Amanda tetap bertahan pada
kebersikukuhannya untuk menyimpan rapat perasaannya sendiri. Hingga kemudian,
dia mendengar kabar bahwa ada seorang perempuan baru yang datang ke kehidupan
Kak Ali, dan berhasil menyita perhatiannya, perasaannya. Lagi-lagi, kabar itu
didengarnya sendiri dari mulut Kak Ali.
“Ya Tuhan, ujian apa lagi ini?” bisik hatinya hingga
tidak terdengar.
Hatinya tetap menyimpan
rasa itu untuk Kak Ali, tapi lagi-lagi, dia tetap memilih untuk diam. Pada
penghujung malam-malamnya, dia selalu mengucapkan sebuah do’a.
“Tuhan, jika memang Kak Ali baik bagi hamba,dekatkanlah,
berikanlah jalan untuk kami bersatu, dan jika dia tidak baik bagi hamba,
jauhkan ia dengan cara yang baik... Berikanlah petunjukmu kepada hamba tentang
apa yang harus hamba lakukan, Amin.”
Tak seberapa lama, Tuhan seolah-olah memberikannya
petunjuk. Tiba-tiba dengan begitu saja, perempuan yang telah berhasil
mendapatkan perhatian Kak Ali mulai mengenalnya dan pada suatu hari,
mengungkapkan bahwa ia mengagumi Kak Ali. Pucuk dicinta ulampun tiba, Amanda
seolah tersadar, bahwa mungkin itu jawaban Tuhan. Mungkin, Kak Ali, dan
perempuan itu, sudah diberikan jadwal untuk bersama, entah untuk sementara,
atau selamanya. Tapi Amanda tetap masih menyimpan sebuah rasa yang besar untuk
Kak Ali, dia tidak bisa membuangnya begitu saja. Pada akhirnya, dia mengambil
sebuah keputusan besar, rasa itu, pada akhirnya tetap ia pendam dalam-dalam,
dan dia memutuskan untuk menunggu. “Biarlah, sebelum janur kuning melengkung di
pelaminan mereka, mungkin masih ada kesempatan untukku,” ucapnya. Ya, dia
memutuskan untuk menunggu, tetap menjadi pendengar setia untuk setiap cerita
Kak Ali, bahkan untuk perempuan yang baru hadir dikehidupan mereka. Terkadang,
memberikan solusi sebisanya. Tapi keputusannya sudah bulat, dia akan tetap
menunggu, meski hingga seribu tahun lamanya.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.
Bukan yang Terakhir
Sepasang
muda-mudi beradu mata. Wajahnya kaku, yang satu tampak kuyu, sedang yang lain
tampak malu.
“Tak apa, Rendra. Aku tahu bahwa
kamu masih belum bisa memiliki rencana jangka panjang. terserah, aku tidak
berhak atas kamu sepenuhnya memang,” kata si perempuan. Meski tampak kuyu,
masih ada kekuatan menyampaikan maksud hatinya.
Lelaki itu, kini menatap teduh wajah
perempuan yang berdiri di depannya. Tapi tetap tak bergeming.
“Lalu mau kamu apa? Kita putus? Ah,
menurutku itu lebih baik daripada kita punya ikatan, sedangkan kamu masih ingin
membuat ikatan dengan yang lain. Bagaimana, kita putus?”
Rendra masih tak bergeming.
“Aku anggap jawabanmu iya. Kalau
begitu, baiklah. Yang perlu kamu tahu, aku tidak mengapa jika selama ini kamu
memperlakukanku seperti itu. Mungkin ada baiknya kita kembali seperti dahulu
lagi, sebatas sahabat. Teruslah bercerita kepadaku tentang apapun yang terjadi
padamu, ya. Sekalipun itu tentang persoalanmu dengan...Dyandra, misalnya. Beri
tahu aku jika kabar baik datang menghampiri kalian berdua, ya.”
Ada sepasang bola mata yang
berkaca-kaca sekalipun mulutnya terus diberondongi untaian kata-kata. Ia tegar,
menegar-negarkan diri lebih tepatnya. Perempuan itu, Sheila. Sedangkan lelaki
yang berdiri di depannya tampak lebih rapuh. Dia lelaki, tetapi kini,
ketegarannya tak lebih dari ketegaran yang tinggal seujung jari. Sheila baru
saja mengambil keputusan, mencoba menyelesaikan masalah diantara mereka berdua.
Beberapa hari yang lalu, Rendra dipergoki olehnya sedang bersama dengan wanita
lain, Dyandra.
“Kamu memaafkanku?,” giliran Rendra
yang bertanya.
Sheila
mengangguk pelan.
“Maaf Sheila, aku..”
“Sudahlah, dari awal juga aku tahu
bahwa aku, hanyalah pelarianmu terhadap perasaanmu sendiri. Perasaan yang kau
ciptakan hanya untuk Dyandra, dari awal memang begitu. Aku tahu, dan kamu tak
perlu lagi memberikan penjelasan apapun padaku,” potong Sheila.
“Dyandra? Kamu, tahu?”
“Tentu saja, aku tahu bagaimana kamu
masih berlaku baik terhadap Dyandra, selalu meluangkan waktumu untuk dia,
selalu menyempatkan bertanya kabar di sela-sela kesibukanmu, sejak dulu. Aku
tidak buta Ren, tidak pula tuli, aku juga punya banyak mata-mata dan telinga.
Aku tahu semua tentang kamu dan Dyandra.”
Kini Rendra tak mampu menjawab.
Bingung sekaligus takjub. Perempuan yang disakitinya, yang tepat berdiri di
hadapannya, telah tahu semua tentang dia dari awal. Tapi ia masih mau menerima,
terlebih, memaafkannya berulang-ulang kali. Tapi Dyandra adalah persoalan lain.
Dia cinta pertama sekaligus yang paling mengena bagi Rendra sejak duduk di
bangku sekolah menengah pertama. Rendra tak bisa begitu saja melepaskan Dyandra.
“Mungkin kamu memang paling tahu
tentang aku, Shei. Aku berterimakasih sekali padamu yang telah memaafkan segala
kebusukanku. Maaf, beribu maaf. Dan tentang Dyandra, kamu benar adanya..
Percuma aku berbohong tentang dia dihadapanmu. Bahkan kamu, hanya dengan
membaca raut wajahku saja sudah tahu mana yang benar, dan mana yang bohong.
Terimakasih untuk segalanya, terimakasih karena telah mau kembali bersahabat
denganku...”
Ada airmata yang tak tertahan di
sepasang bola mata bulat dengan bulu mata lentiknya. Setetes, dua tetes.
Kemudian dihapuskannya dengan terburu-buru, lalu ditengadahkannyalah wajahnya
agar air matanya tak lagi menetes. Dia, Sheila. Perempuan yang bukan kali
pertama patah hati terhadap Rendra, mantan sahabat, mantan kekasih, yang kini
kembali menjadi sahabatnya lagi.
“Mungkin
aku memang bukanlah yang terakhir untuk Rendra, begitupun sebaliknya,” ucapnya
lirih.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.
Langganan:
Postingan (Atom)