Sejam
kemudian di ruang tunggu…
“Krieet…Cklek,” terdengar suara
pintu yang dibuka dan ditutup kembali.
Itu
pasti suara pintu ruang periksa. Silvi sudah selesai diperiksa, dan dia tidak
keluar sendiri. Terdengar ada langkah kaki lain, oh, mungkin suster Reni.
“Kak Wanda, “ panggilnya.
“Iya sayang, “ jawabku tersenyum.
“Aku nggak sendiri nih Kak, hehe.”
“Iya, kakak tau. Siapa yang di
samping kamu? Suster Reni?,” tanyaku.
“Bukan Kak, ini Kakak Dokter,”
ucapnya.
Dokter
itu tak bergeming, tak berucap sepatah kata pun.
“Dokter, perkenalkan, saya Wanda
Dianesty dari Yayasan Harapan Kasih, saya yang bertugas mendampingi Silvi,”
ucapku.
Dokter
itu tetap tak bergeming.
“Ehm.. Dokter?,” aku memanggilnya.
“Dokter Keeny? Kok diem?,” Tanya
Silvi.
Aku
terkesiap.
“Dok…ter… Kee..ny..?,” aku meracau.
Dokter
itu memegang telapak tanganku. Tangannya hangat. Aku bisa merasakannya. Itu
tangan yang sama. Telapak tangan hangat yang sama milik Keeny.
“Wanda, apa kabar?,” tanyanya.
Ya…
Dia Keeny, Keeny Alvaro. Cinta pertamaku dan satu-satunya.
“Keeny? Kamu? Dokter.. mata? ,”
tanyaku.
“Yah...begitulah Wanda.”
“Bukannya daridulu kamu nggak mau
nerusin jejak Ayahmu? Dokter Raihan?”
Aku
tahu dia sedang tersenyum sekarang.
“Yah, semua bisa berubah bukan?
Sayang, ikut suster Reni sebentar ya, kakak mau ngomong sama kakak cantik
kamu,” ucapnya pada Silvi.
“Iya Kak..,” jawab Silvi.
Terdengar
ada sepasang langkah kaki menghampiri kami, kemudian bertambah sepasang lagi,
dan keduanya melangkah menjauh. Kini, tinggal aku dan Keeny.
“Kenapa? Kenapa kamu berubah
pikiran? Dan… dan… Dokter mata..?”
“Demi kamu Wanda, demi kamu yang
gagal aku lindungi. Demi kamu, demi kamu yang gagal kumiliki. Dan… demi
kamu, yang masih aku cintai…, ”
jawabnya.
“Keeny… Kamu tidak pernah gagal
dalam melindungi aku. Dan kamu tidak perlu melakukan semua itu demi aku. Kamu
tahu? Aku sudah bahagia dengan hidupku saat ini. Bisa memberi sesuatu untuk
orang lain, bisa memotivasi… Itu cukup. Jangan pernah merasa bersalah Keeny. Dan
lagi, sudahilah cintamu untukku itu. Kamu harus mencari orang lain, yang lebih
pantas untuk kamu, yang bisa memberikan kehidupan yang normal untuk kamu…”
“Tidak Wanda, hidupku tidak akan
pernah berjalan normal tanpa kamu. Kamu tahu itu. Dan, oh.. ayolah. Tidak
bisakah kamu jujur terhadap perasaanmu sendiri? Kamu masih mencintai aku bukan?
Daridulu, cuma aku yang kamu cintai, iya kan?”
Aku
tersenyum kecut.
“Darimana datangnya pikiran seperti
itu? Aku? Aku sudah.. sudah..,” suaraku tercekat, namun dengan nada yang lebih
rendah lagi, kucoba untuk melanjutkan, “aku sudah.. tidak mencintai kamu lagi..”
“Kucel, kamu bo..”
Sebelum
dia meneruskan kata-katanya, buru-buru aku menyela, “Sudahlah Keeny, ah, ma’af,
dokter Keeny. Terimalah ini, Anda tidak lagi perlu bersusah payah untuk
memikirkan saya… Saya baik-baik saja, tanpa Andapun, sama. Anda berhak untuk
mendapatkan yang lebih dari saya dokter. Jadi.. saya mohon, sudahilah menyiksa
diri Anda sendiri. ”
Keeny
diam, tak bergerak. Aku pun tak bergeming. Dan sebelum dia berkata-kata lagi,
aku memutuskan untuk menjadi pihak yang pertama kali pergi. Kutinggalkan ia
dengan mengucap empat patah kata, “ Ma’af… Selamat tinggal, Keeny...”
Rasanya pedih. Ya, dia laki-laki yang
pertama dan satu-satunya yang aku cintai. Sampai sekarangpun masih. Namun,
sudahlah… Dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa menjamin kebahagiaannya.
Dia pantas untuk mendapatkan yang terbaik, dan itu bukan aku. Wanita buta, yang
tentu, akan menjadi beban baginya.
***
Seminggu kemudian…
Semenjak pertemuanku dengannya di rumah
sakit, aku tidak lagi mendengar kabar tentang dia. Mungkin dia sudah menyerah,
dan oh.. semoga begitu. Biarlah… aku tak apa. Bukankah memang cinta itu tidak
harus memiliki? Dan aku mau merelakannya hanya untuk melihat ia bahagia.
Bukankah seperti ini harusnya cinta? Dan ya… pikiran ini yang aku peluk sampai
detik ini, sebelum mereka datang menemuiku…
“Tok…tok…tok…,” terdengar suara pintu
secara pelan diketuk.
Entah
siapa yang datang. Pasti sekarang Bik Inah menghampiri pintu depan. Semenjak
jadi relawan bagi penyandang tuna netra dan tinggal di Surabaya, aku hanya
tinggal berdua dengan Bik Inah. Mama dan Papa masih di Bogor, aku tidak
membolehkan mereka untuk turut pindah ke Surabaya hanya untuk aku. Aku pasti bisa
dan akan terbiasa, mereka tidak boleh terlalu mengkhawatirkan aku.
“Jeng,
wonten tiang madosi panjenengan. Bapak-bapak kaliyan ibuk-ibuk, sampun kulo
utus mlebet teng ndalem...”* (re: Mbak, ada orang yang mencari. Bapak-bapak
sama Ibu-ibu, sudah saya suruh masuk ke dalam.) Ucapan Bik Inah yang berbicara dalam bahasa Jawa halus menyadarkanku.
“Oh, iya Bik. Habis ini aku ke
depan,” jawabku yang mengerti bahasa Jawa tapi tidak bisa mempraktekkannya.
Akupun berjalan ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku menyapa kedua tamuku.
“Selamat siang… Emm… Ma’af, dengan
siapa ya?,” tanyaku ragu.
Salah
satu tamu datang menghampiriku dan memegang tanganku, mengajak bersalaman.
“Nak Wanda.. masih ingat dengan
tante?,” tanya tamu itu.
Deg!
Suara ini…
“I..iya… tante… saya gak mungkin lupa
sama Tante. Dateng sama Om Raihan ya Tan?, “ tanyaku pada tamu itu, Tante Maya,
mamanya Kenny.
Tamu
satunya, yang ternyata benar Om Raihan, menjawab,” Iya Wanda, ini saya. Apa
kabar?”
“Baik Om…Gimana dengan Tante dan Om
Sendiri? Dan, mmm… ada keperluan apa ya dengan saya?”
“Kami juga baik Nak. Dan keperluan
kami dating kemari… Karena ada yang kondisinya sedang tidak baik...,” jawab Om
Raihan.
Deg!
Yang kedua kali.
“Ehm…Si..siapa Om..?,” tanyaku,
sedikit khawatir.
“Keeny…,” sahut Tante Maya.
Kedua orangtua Keeny menyampaikan maksud
kedatangannya padaku. Mereka menceritakan keadaan Keeny yang membuat mereka
khawatir. Keeny sedang dalam keadaan yang tidak baik. Namun bukan secara fisik,
tapi psikis. Dari luar mungkin dia kelihatan baik-baik saja. Tapi Tante Maya
dan Om Raihan tahu, ada yang salah dengan anaknya mereka. Sudah semingguan ini
Keeny jarang pulang ke rumah. Dia menghabiskan waktunya di rumah sakit tempat
ia bekerja. Waktu libur di hari Sabtu dan Minggu pun tidak ia ambil. Kata orang
rumah sakit kenalan Papa Keeny, katanya anaknya ini menawarkan diri untuk
mengambil jatah shift dokter lain
yang sedang mengambil cuti. Keeny sudah dilarang oleh Papanya, karena jelas,
kelelahan akan meningkatkan risiko kesalahan tindakan yang mungkin terjadi pada
pasien dan ini berbahaya.
“Kami sudah menanyakan mengenai alasan
Keeny melakukan itu Nak Wanda… Tapi dia tidak mau memberitahukannya kepada kami…Dan
bahkan… ia merencanakan untuk menjadi relawan ke daerah endemis di Afrika…,” lanjut
Tante Maya.
“Dan…dan.. hubungannya sama saya apa ya
Om, Tante? Saya kan…”
Om
Raihan tampaknya sudah mengerti dengan kesangsianku.
“Kami tau Nak Wanda, kalian sudah
tidak ada hubungan lagi semenjak empat tahun yang lalu… Tapi kami juga tau seberapa
besar rasa sayang Keeny ke Nak Wanda. Dia tidak pernah, sedikitpun, berniat
untuk benar-benar meninggalkan Nak Wanda. Dan kami yakin, sampai detik ini pun
masih sama,” ucap Om Raihan.
Aku
tak bergeming. Tenggorokanku tercekat, tak tahu harus menjawab apa. Aku juga
sama, tapi… disini kondisinya…
“Tolong difikirkan kembali ya Nak
Wanda, bukannya kami melarang Keeny untuk menjadi relawan di Afrika, tapi kan
Nak Wanda tahu sendiri kalau Keeny adalah anak kami satu-satunya. Kami akan
sangat berterimakasih jika Nak Wanda mau membantu kami untuk menasihati Keeny,”
ujar Tante Maya.
Sekali
lagi aku tercekat.
“Dan kami akan senang sekali kalau
Nak Wanda mau menerima Keeny kembali. Kami sangat tidak keberatan dengan
kondisi fisik Nak Wanda. Dan kami cukup tahu seberapa seriusnya Keeny kepada
Nak Wanda, tolong difikirkan ya…”sahut Om Raihan.
Aku
masih tercekat. Tapi di sini aku cukup sadar bahwa aku harus menjawab.
“Ta..tapi, Tante.. Om.. sa…saya…”
Belum
selesai aku menjawab, Tante Maya memelukku. Aku bisa merasakan perasaannya yang
merambat perlahan ke ulu hatiku melalui sentuhan kulit itu. Lama-lama aku luluh
juga… Tidak tega pada kedua orangtua Keeny yang baik ini. Kemudian aku melepaskan
diri dari pelukan Tante Maya.
“Baiklah Tante… akan saya coba… Tapi
untuk masalah menerima kembali Keeny atau tidak, ma’af… saya belum bisa
memastikan, “jawabku akhirnya.
***
Keesokan
harinya…
Pagi ini aku mendatangi sebuah kafe
di daerah Basuki Rahmat. Kedai kopi tepatnya. Aku menghampiri sesosok laki-laki
yang duduk di bangku dekat kaca yang menghadap ke jalan raya. Ya, dia… Keeny.
Menurut suster Reni, ini tempat favoritnya. Dan aku tahu, semenjak dulu Keeny suka
sekali minum kopi. Cukup menghilangkan stress katanya. Oh, dasar laki-laki… Dan
sekarang aku sudah berada di dekatnya, aku merasakan kehadirannya.
“Dokter Keeny…,” panggilku.
Aku
bisa merasakan ada gerakan dari sesosok tubuh di hadapanku itu. Dia menoleh ke
arahku.
“Wanda?,” ucapnya dengan nada
sedikit ragu.
“Iya, aku,” jawabku.
“Ada apa?,”tanyanya.
Aku
menghela nafas.
“Boleh aku duduk di sini?”
Dia
diam sejenak.
“Ya, tentu saja. Silahkan,”jawabnya
sambil berdiri dan menata kursi di sebelahnya untukku.
Aku
duduk di sebelahnya. Diam untuk beberapa saat. Bingung bagaimana memulainya,
sampai dia yang memulai duluan.
“Ada apa menemuiku?,” tanyanya
sekali lagi.
Aku
pun menghela nafas sekali lagi. Dan perlahan, kuutarakan maksud kedatanganku
menemuinya.
“Kudengar, kamu mau pergi ke Afrika,
benar?,” tanyaku.
Kali
ini dia yang menghela nafas.
“Kalau iya, apa urusanmu?,” dia
balik bertanya dengan nada sedikit tidak enak.
Aku
memakluminya. Kata-kataku seminggu yang lalu itu pasti menyakitinya.
“Ma’af… aku bukan bermaksud
mencampuri urusanmu. Tapi kemarin kedua orangtuamu menemuiku dokter,” aku
mencoba menjelaskan.
“Mama? Papa? Mereka…”
“Iya, mereka keberatan kamu pergi ke
Afrika. Dan kamu juga paham kenapa kan?”
Dia
menghela nafas sekali lagi.
“Iya…,“ jawabnya.
“Dan bukan itu saja, mereka
mengkhawatirkanmu yang nekat mengambil shift
full di rumah sakit. Kenapa? “
“Kenapa apanya?,” tanyanya pura-pura
bodoh.
“Alasannya,” jawabku ketus.
“Kamu masih menanyakan itu, huh?,”
dia balik bertanya.
Giliranku
yang menghela nafas.
“Kamu tahu posisiku. Kamu tahu aku ini
hanya…”
Dia
menyela ucapanku.
“Aku tidak peduli seperti apa kamu
sekarang. Aku hanya butuh kejujuran. Bagaimana perasaanmu padaku, hanya itu,
tidak lebih.”
“Tapi aku peduli dengan seperti apa
aku sekarang. Aku..aku..,” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Pertahanan
airmataku jebol begitu saja.
Dia
sedikit mencibirku.
“Eheh… Airmatamu ini sudah menjawab
pertanyaanku. Kamu tidak perlu lagi berbohong untuk menutup-nutupi perasaanmu,”
ucapnya. Diraihnya pundakku perlahan, dan diusap-usapnya rambutku dengan
lembut.
“Dok..dokter..,” aku masih
sesenggukan.
“Apa Kucel? Masih mau sok
jaim-jaiman, huh?,” tanyanya sambil memencet hidungku.
“Stop dokter Keenyy,” aku melepaskan
diri dari dia. “A, aku tidak..”
“Apa? Masih mau bilang tidak bisa?,”dia
menghentikan kejahilannya.
Aku
merasakan ada sepasang mata yang menatapku tajam.
“Dengar Wanda Dianesty, sekali lagi,
kamu hanya perlu jujur akan perasaanmu. Stop berfikir tentang kelemahanmu karena
demi Tuhan, aku tidak pernah keberatan untuk menerima kekuranganmu.”
Aku
terdiam. Tak menjawab.
“Dan kamu tau? Itu justru letak kelebihanmu
dibanding wanita-wanita lain,” ujarnya.
Aku
tertegun, heran. “Eh, kok bisa?”
Aku
bisa merasakannya sedang tersenyum.
“Ya karena dengan begini, kamu hanya
akan melihatku sebagai duniamu. Pakailah mataku untuk melihat dunia, aku akan
menuntunmu kemanapun kamu pergi. Aku akan menemani kamu, menggambarkan warna
dan bentuk dunia, dimanapun, dan kapanpun kamu memintaku.”
Aku
tersenyum.
“Ah, gombal…,” ucapku sambil berlagak
memukulnya, pelan.
“Eh, pake gak percaya.Susah tahu
bikin gombalan kayak gitu. Empat tahun tuh bikinnya,” ucapnya berlagak marah.
Aku
tertawa.
“Ssst.. sekarang aku mau nanya serius.
Kamu masih sayang aku?,” tanyanya, sekarang tanpa bercanda.
Aku
terdiam. Kemudian tersenyum.
“ Iya, dari awal, kamu tidak pernah
tergantikan. Aku sayang kamu,” jawabku.
Kini
kami berdua tersenyum. Bersamaan dengan itu, waitress mengantarkan secangkir kopi lagi untukku. Kopi yang pagi
ini rasanya manis dan hangat, semanis dan sehangat hubungan kami.
***
“Bintang,
kini aku tahu. Kamu tidak perlu menjatuhkan dirimu meski kamu tidak lagi bisa
se-bersinar yang dulu. Mengapa? Karena Tuhan pasti punya alasan tersendiri
untuk tidak memutuskan menjatuhkanmu seketika. Mungkin, ada bintang lain, yang
jauh di sana, yang masih menunggu kamu untuk berorbit di dekatnya dan mampu
membuatmu bersinar kembali. Dan bagiku, bintang
itu, kamu. The most beautiful star I ever have. “ J
THE END