“Bintang, pernahkah engkau jatuh dengan
kemauanmu sendiri? Bintang… Akankah engkau tetap bersikeras untuk tetap bertahan
di langit, meski cahayamu telah padam di suatu waktu nanti? Bukankah hidup kita
tidak akan bermakna jika kita tidak mampu memberi? Masihkah engkau akan
mempertahankan hidupmu, jika engkau tak bisa memberi manfaat untuk alam semesta
ini…?Bintang, aku ingin.. aku ingin menjatuhkan diriku agar aku tidak lagi
membebani mereka jika aku sudah tidak lagi bisa memberi manfaat, seperti saat
ini…”
***
Bogor, 9 Februari 2008
“Wanda…”
Terdengar suara lembutnya
memanggilku. Aku tahu suara siapa itu, ya, aku hafal suara lembut itu dan tidak
akan mungkin melupakannya. Mama…
“Tok…tok..tok…,” diketuknya pintu
kamarku.
“Keluar Nak… Keeny sudah menunggu
kamu sejak sejam yang lalu..,” ucapnya.
Aku
tak bergeming. Sudah sejak sebulan yang lalu aku dipanggil dengan alasan yang
sama, dan sebulan itu juga aku tidak menjawab apa-apa. Keeny.. Dia cinta
pertamaku sejak aku duduk di bangku SMA. Dia juga pacar pertamaku dan
satu-satunya, sampai dua bulan yang lalu, saat kecelakaan itu merenggut
penglihatanku, dia masih jadi pacarku. Ya… Sekarang aku buta, buta permanen.
Aku tak lagi bisa melihat indahnya warna-warni dunia… Ah, rasanya aku ingin
mati saja daripada tidak bisa melihat seperti ini… Aku ingin mati saja jika aku
akan membebani orang-orang yang kusayangi…
Aku
masih mencintai Keeny… Sangat
mencintainya. Tapi aku tidak mau jadi beban untuknya. Dia berhak mendapatkan
hidup normalnya, dia berhak mendapatkan kekasih yang normal. Bukan aku. Bukan
seorang tuna netra seperti aku. Meski dia tidak pernah menyatakan keberatannya
untuk tetap jadi kekasihku, tapi aku tidak bisa… Aku tidak bisa jadi beban dan
memburamkan masa depannya…
“Ma’af
Keeny…, aku bukan lagi aku yang dulu…,” ucapku lirih.
***
Keesokan
harinya…
“Kucel,
buka pintu, aku mohon… Sekali saja….”
Aku
terkesiap. Bukan Mama… Keeny, ya… Itu panggilan dari Kribo-ku…Oh, bukan, dia
bukan lagi Kribo-ku…Sakit sekali rasanya… Dia berada di depan pintu, dan aku
tidak akan membukakan pintu itu untuknya. Aku tidak lagi bisa melihat wajahnya…
Senyumnya… Senyum Kribo-ku yang dulu…
“Wanda Dianesty! Please… Beri aku
kesempatan, kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri kan Kucel? Kamu masih
mencintai aku kan? Kamu masih, tetap dan akan selalu jadi Kucel-ku sampai
kapanpun. Please, Kucel-ku…”
Air
mataku terjatuh. Aku merindukan panggilan itu, aku merindukan suaranya, aku
rindu semua tentang dia. Dan aku tidak bisa membiarkannya memohon seperti itu
padaku… Aku tau, cepat atau lambat, aku harus memberi jawaban padanya. Mungkin…
Sekali ini, dan untuk terakhir kalinya.
“Klik.. Krieet…,”suara pintu kamarku
yang sedang aku buka.
Aku
bisa merasakannya berdiri di balik pintu itu dan segera menyongsongku.
Diberikannya sebuah pelukan hangat, yang mungkin merupakan pelukan terakhirnya
untukku…
“Akhirnya
kamu mau menemuiku juga, Kucel. Tega yaa kamu,” ucapnya.
“Keeny…,”
panggilku sambil melepaskan pelukannya.
“Apa?
Keeny? Kamu nggak kangen sama aku, Kucel?,”tanyanya dengan nada sedih.
Aku
bisa merasakan airmatanya terjatuh, membasahi telapak tanganku yang sedang di
pegangnya. Kulepaskan telapak tanganku dari genggamannya, dan kuraba wajahnya.
Kucoba untuk mencari sumber airmata itu, lalu kuusap perlahan. Aku tersenyum
padanya, senyum getir.
“Jangan nangis ya Kribo… Jangan
nangis lagi untuk aku. Dan jangan lagi membuang waktumu untuk menunggu aku mau
menemuimu, Kribo…”
“Kucel, kamu bercanda kan? Kamu
nggak serius kan? Kamu masih sayang aku kan?”
Aku
tersenyum lagi.
“Kamu bisa ngeliat aku yang sekarang
kan? Aku nggak pantas buat kamu Kribo, aku akan cuma jadi bebanmu…Aku nggak mau
jadi beban…Aku nggak bisa…”
“Kamu salah, kamu bukan beban buat
aku. Kamu sinarku, bintangku. Segalanya buat aku. Kamu tau itu…”
“Terima kasih Kribo, tapi kamu nggak
akan pernah tau apa yang akan terjadi nanti. Aku nggak bisa jadi penghalang
untukmu, beban, enggak Kribo…”
“Kucel, kamu sa…”
Aku
memotong perkataannya.
“Ssst…
Cukup Kribo, ini terakhir kalinya aku memohon. Please… Jalani hidup kamu tanpa
aku. Aku yakin kamu bisa dan akan terbiasa. Suatu hari nanti, kamu akan
menemukan seseorang yang lebih baik dari aku yang hanya akan menjadi beban
bagimu. Please, I beg you…“
“Kucel…”
“Please… Jangan buang waktumu demi
aku ya…”
***
Surabaya, 6 Januari 2012
Empat
tahun kemudian di suatu Rumah Sakit…
“Jangan pernah menyerah ya sayang,
meski kita tidak berfisik sempurna, tapi percayalah, kita masih bisa mewujudkan
impian kita. Kakak tahu, ini tidak mudah, kakak juga pernah mengalami
kekecewaan ini,” ucapku sambil tersenyum.
“Gimana caranya kak Wanda?,” tanya
anak perempuan berusia tujuh tahun itu.
“Percaya saja cantik, Tuhan tidak
menciptakanmu dan menetapkan takdir untukmu, apapun itu, tanpa suatu alasan.
Mau contoh?”
“Apa kak contohnya?”
“Ya kakak ini dong. Hahaa.. Kalo
kakak nggak buta, ya mungkin kakak nggak akan bisa ngasih semangat ke kamu,”
ujarku tertawa.
“Ah, kakak… Iya sih, kalo kakak
nggak buta, mana mungkin kakak mau ada di sini nemenin aku, dan sama sih kak,
kalo aku nggak buta, mungkin aku nggak akan ketemu sama orang yang baik hati
seperti Kak Wanda, hehee. “
“Hahaha, bisa aja kamu… Udah,
sekarang waktunya kamu diperiksa tuh, cepetan masuk ke ruang dokter Ibran ya
cantik, udah dijemput sama suster Reni tuh, “ ucapku.
“Lho, kakak nggak tau? Dokter Ibran seminggu yang lalu
udah nggak kerja di Rumah Sakit ini kak. Digantiin sama kakak dokter, hehee.”
“Oh ya? Kakak nggak tau Sil, kan
udah dua mingguan ini kakak nggak ngejenguk kamu. Wah, salam aja buat dokter
yang baru. Eh, kakak dokter? Ya udah deh siapa aja panggilannya, cepet masuk
sana. Kakak tunggu di sini ya…”
“Oke kak, ntar ya, aku kenalin sama
kakak dokternya,” ucapnya sambil melenggang pergi. Lalu terdengarlah suara
pintu yang dibuka, lalu ditutup kembali.
“Kakak dokter?,” tanyaku di dalam
hati.
***
Di
dalam ruang periksa…
“Hai Silvi cantik, apa kabar?,”
tanya sang dokter pada anak perempuan berusia tujuh tahun tadi.
“Baik kakak dokter…ehmm kakak dokter
siapa ya namanya?,” dia bertanya balik.
“Ih,
mau tau ajaa, hehee. Kenapa emangnya? Naksir sama kakak? Hehee,”
ujar si dokter, jahil.
“Yee, Silvi kan masih kecil kakak
dokter, “ jawab Silvi sambil menjulurkan lidah.
“Lho, lha terus?,” tanya dokter itu lagi,
berpura-pura ingin tahu.
“Kakak dokter mau aku kenalin sama
Kakak Cantikku gak nih?”
“Oh ya? Kakak Cantik? Hmm… Boleh
doong,” jawab dokter tersebut sambil tersenyum geli.
“Kalo gitu… Sebutin nama kakak
Dokter duluu doong,” ujarnya puas.
“Keeny, cantik.. Keeny Alvaro.”
*To be Continue, :p
*To be Continue, :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar