Berbicara tentang guru, mungkin tidak
akan cukup menuliskannya hanya dalam satu buku. Sebab, bagi saya, guru tidak
hanya mereka yang mengabdikan diri dalam kancah dunia pendidikan. Bagi saya,
ilmu bisa didapat darimana saja, dan siapa saja bisa memberikan ilmu tanpa
harus berbatas ruang bernama sekolah, title
atau gelar sebagai pengajar. Bagi saya, guru adalah percontohan, sebuah
panutan. Dan siapa saja bisa dijadikan sebagai percontohan, dijadikan panutan,
dijadikan pelajaran. Oleh karenanya, bagi saya, mereka yang saya temui, mereka
yang saya baca maupun saya dengar ceritanya, mereka yang saya lihat melalui
indera mata dalam keseharian, kesemuanya adalah guru, guru kehidupan yang patut
diambil baiknya pun buruknya sebagai sebuah percontohan.
Pertemuan
silih berganti. Jenjang kehidupan dalam ranah sekolah pun meningkat dari waktu
ke waktu. Seiring dengannya, guru kehidupan yang saya temui pun begitu pula,
turut berganti dengan sendirinya, meski tidak ilmunya. Namun, meski raga tak
lagi bertemu, guru tetaplah guru, dan ilmu tetaplah ilmu. Dari ribuan guru
kehidupan yang saya temui dalam keseharian saya, ada sepasang diantaranya yang
merupakan ‘guru tetap’ bagi saya. Keduanya selalu ada dalam tiap perkembangan
dan pertumbuhan saya, dari jenjang pendidikan A ke B, dari yang hanya hidup
dalam gendongan menjadi seperti sekarang. Iya, mereka adalah kedua orang tua
saya, Mama dan Bapak, begitu saya menyebut keduanya.
Bagi
saya, kedua orang tua saya adalah panutan ‘nyata’, yang pertama dan utama.
Meski iya, tidak ada manusia yang sempurna, tentu saja. Tak terkecuali Mama dan
Bapak. Namun demikian, layaknya anak yang lain, orang tua adalah guru yang
membesarkan mulai dari usia 0 hingga tak terhingga. Ya, meski tidak semuanya
beruntung, meskipun terkadang ada yang kehilangan salah satu dari mereka, atau malah
keduanya. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya orang tua adalah ‘guru’ dan
madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan saya rasa, dalam hal ini, sekali lagi bagi
saya, kedua orang tua saya cukup berhasil.
Bapak
saya dilahirkan di kota Tulungagung pada tanggal 10 Desember 1945, sedangkan
Mama saya lahir di kota Kediri pada tanggal 16 Juni, sepuluh tahun kemudian.
Keluarga saya adalah keluarga sederhana, dan kedua orang tua saya adalah guru
besar kesederhanaan bagi anak-anaknya. Bahkan lebih dari itu, Mama dan Bapak
adalah guru kehidupan bagi saya. Bapak merupakan anak pertama dari tujuh
bersaudara. Masa-masa mudanya berada dalam era negara yang meski
mendeklarasikan diri telah merdeka, namun belum merdeka seutuhnya. Tak jauh
berbeda, Mama yang usianya lebih muda sepuluh tahun dari Bapak juga berasal
dari keluarga sederhana. Mungkin, Bapak dan Mama adalah salah satu korban
ketidak beruntungan masa, meski tidak ada namanya ‘tidak beruntung’ jika sudah
ketentuan Yang Maha Kuasa.
Enam orang adik, tentu
saja Bapak dituntut dewasa sebelum waktunya. Namun mungkin itulah yang pada
akhirnya mencetak Bapak untuk menjadi lebih mandiri dan berani menghadapi dunia
di kala itu. Mendengar cerita dari beliau tentang masa mudanya, ya, saya akui
masa-masa itu lebih keras daripada masa sekarang. Selepas dari menuntaskan masa
Sekolah Menengah Atas (SMA) Bapak sempat mendaftar untuk mengikuti tes menjadi
anggota militer. Sayang sekali, Bapak akhirnya ditolak karena bentuk kakinya
yang O, sedangkan persyaratan peserta yang diterima adalah yang bentuk kakinya
normal. Tak putus asa setelah ditolak, Bapak masih mencoba untuk mendaftar ke
perguruan tinggi, meski beliau tidak tahu nantinya harus membayar memakai apa.
Keenam adiknya masih sekolah dan butuh biaya, tentu saja. Bapak kemudian
mendaftar di Jurusan Pendidikan Sejarah di IKIP Malang (sekarang Universitas
Negeri Malang), output dari jurusan
ini adalah mencetak guru ilmu sejarah. Tak berapa lama kemudian Bapak
dinyatakan lolos. Namun pernyataan itu tak lantas membuat Bapak melenggang
menjadi mahasiswa di universitas tersebut dengan mulus. Tak ada biaya yang
cukup, bagaimana harus membayar biaya masuk dan biaya kuliah rutin, harus tinggal
di mana nanti di sana, dan pertanyaan-pertanyaan lain menggelayut mesra dalam
batin Bapak. Tak jadi mengambil kesempatan kuliah di Malang, begitulah akhir
keputusannya.
Sekali lagi, Bapak
masih belum menyerah. Pilihan dan kesempatannya lantas jatuh pada jurusan yang
sama di Jogja, Universitas Islam Indonesia namanya. Pilihan itupun terlahir
dari pertimbangan-pertimbangan Bapak tentang masa depan perkuliahan dan segala
keperluan hidup selama tinggal di sana. Bapak akan tinggal bersama saudara jauh
dari pamannya, bukan sebagai tamu yang diistimewakan tentu saja, melainkan
sebagai penjaga toko batik. Berbekal sepucuk surat titipan pamannya untuk
pemilik rumah yang dituju, berangkatlah Bapak ke kota Jogjakarta. Di sana ia
tak digaji, hanya dibayari uang kuliah dan makan sehari-hari. Bapak kemudian
hidup mandiri di sana, jauh dari keluarga, menjadi apa saja yang dibutuhkan
sekaligus menjadi kepercayaan si empunya rumah. Begitulah masa kuliahnya,
dijalani dengan tanpa ada keluh kesah. Bahkan Bapak masih menyempatkan diri
mengajar anak-anak kecil untuk membaca Al-Qur’an di langgar atau mushola dekat
tempat tinggalnya, daerah Kauman kata Bapak, dekat Malioboro.
Masa kuliahnya menjadi
lebih panjang dari masa kuliah normal, enam tahun. Itupun akhirnya tanpa gelar
sarjana ilmu sejarah, melainkan sarjana muda hukum. Iya, Bapak tidak berhasil
menyelesaikan kuliah di jurusan Ilmu Sejarahnya, tapi berpindah ke jurusan D3
Hukum. Semua itu karena kelulusan Bapak dipersulit oleh salah satu dosen yang
memergoki Bapak mengabsenkan temannya yang tidak masuk pada saat mata kuliah dosen
tersebut. Setelah mengulang mata kuliah itu dan tidak dilulus-luluskan juga,
akhirnya Bapak memutuskan pindah jurusan, daripada pulang ke kampong halaman
tanpa membawa gelar, katanya. Semua tetap dijalani Bapak dengan tawakal. Satu
pesan yang pernah disampaikan Bapak untuk saya saat giliran saya yang masuk
perguruan tinggi adalah begini,
”Nggak perlu kamu
khawatir dengan jurusanmu ini. Sarjana S.KM (Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat,
red.) memang banyak, tapi percaya saja kalau kamu juga bisa. Jangan terlalu
tidak percaya diri. Ketika Bapak dulu kuliah, ada satu prinsip yang Bapak
tegaskan pada teman-teman Bapak. Yaitu
bahwa Bapak kuliah dengan niat untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari kerja.
Titik. Pakailah prinsip itu juga, maka dengan demikian, kamu tidak perlu
khawatir lagi akan pekerjaan apa yang akan kamu dapatkan kelak. Ingat? Lapangan
pekerjaan itu banyak.”
Dan pesan tersebut masih saya pegang
hingga sekarang.
Bagi
saya, Bapak adalah panutan dalam hal keagamaan. Dari kecil Bapak yangs selalu
menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada
anak-anaknya, saya dan ketiga kakak saya. Bapak sempat menjadi ketua ta’mir
masjid beberapa kali periode di masjid dekat rumah, pun di tempat tinggal
keluarga saya saat di Jakarta dulu. Bapak yang mengundang guru untuk mengajari
anak-anak kecil di sekitar masjid, sekaligus mengajari saya untuk membaca
Al-Qur’an. Bapak saya tidak pernah mengajari anak-anaknya dengan jalur
kekerasan, penyabar. Meski anak-anaknya pada akhirnya tidak ada yang mengikuti
jejak beliau pun, Bapak tetap terlihat sabar, meski mungkin saja dalam hati
kecewa besar.
Satu
lagi pelajaran yang bisa saya ambil dari Bapak, bahwa kesederhanaan itu bisa
membuat tiap-tiap hati menjadi legowo (ikhlas).
Bapak saya seorang purna pegawai negeri sipil dengan gaji tak seberapa. Apalagi
dulu Bapak sempat untuk meminta dipindah kerja ke kampung halaman Mama demi
menemani Mbah Kakung, tentu saja pangkat menjadi diturunkan. Bapak mengajari
anak-anaknya untuk tidak konsumtif, membeli kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan
saja dan tidak hidup bermewah-mewah. Dan kini pelajarannya masih saya pegang,
sebisa mungkin tidak konsumtif. Jaman boleh berubah, kecanggihan tekhnologi
boleh meningkat dengan pesat, tapi prioritas kebutuhan tidak boleh dijejali
dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus itu. Handphone misalnya, hampir setiap tahun pasti ada saja keluaran
yang terbaru. Bapak mengajari saya untuk tidak ikut terpengaruh dengan sekitar,
setidaknya, ketika barang yang kami punya masih bisa berfungsi dan fungsi
utamanya masih bisa digunakan, maka kami tidak perlu untuk selalu menggantinya
dengan model-model keluaran baru.
Bapak, bagi saya, adalah guru besar kesederhanaan yang harus saya jadikan
panutan.
Sedangkan
Mama? Mama tidak kalah istimewa dari Bapak. Pendidikan Mama hanya sampai
Sekolah Menengah Atas. Mama adalah anak ketiga dari lima bersaudara, dan ia
tidak lagi melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA. Kesempatan itu ia
berikan kepada dua adik laki-lakinya, itupun adik yang tepat di bawah Mama tidak
lagi sempat menuntaskan perguruan tingginya, mengalah demi adik kedua Mama. Keluarga
Mama mungkin sudah berjiwa dagang. Mbah Kakung, ayah Mama, adalah seorang
pembuat furniture, memiliki toko
sendiri. Sedangkan nenek, ibu Mama, adalah penjual nasi pecel dan sebangsanya
di pasar dekat rumah mereka ketika pagi hari. Masakan nenek enak, dan keahlian
itu diturunkan kepada Mama dan Om
saya, adik pertama Mama. Karena sejak
kecil sudah membantu nenek memasak, mereka akhirnya juga jago masak. Selera
masakannya Om bahkan sangat istimewa. Sayangnya, bakat itu tidak menurun ke
saya. Oh, belum mungkin, karena bisa jadi kalau saya rajin berlatih, saya juga
akan jago memasak seperti Mama. Ah, ini mungkin adalah salah satu keinginan
yang patut untuk saya wujudkan dengan segera. Ya, semoga.
Mama adalah wanita
terlembut, terhangat, tersederhana, sekaligus yang terkuat bagi saya. Iya, Mama
lembut dan hangat. Membesarkan anak-anaknya 24 jam penuh di rumah, sebagai
ibu rumah tangga. Mama sekaligus yang
terkuat, bahkan pekerjaan laki-laki seperti membenahi rumah, memaku, memotong
kayupun Mama bisa. Mama memenuhi kodratnya sebagai wanita, lembut, hangat,
memberi keturunan untuk suaminya, dan membesarkan anak-anaknya dengan kasih
saying penuh. Mama juga penurut, selalu menerima kesederhanaan dengan berlapang
dada. Mama tidak memakai perhiasan di pergelangan tangan, leher, pun
telinganya. Hanya sebuah cincin yang melingkari jari manis kanannya, pemberian
Bapak, maskawin saat menikah dulu. Itupun sudah hilang beberapa waktu yang lalu
karena Mama mendapat musibah, digendam orang. Meskipun demikian, Mama selalu
menerima keadaannya, menerima pemberian Tuhan untuk kami, keluarga kecil yang
hidup sederhana dibawah asuhan Bapak dan Mama.
Sekali lagi, Mama
adalah wanita yang kuat. Menjadi ibu rumah tangga biasa tampaknya bukan
satu-satunya pilihan Mama. Mama tidak ingin berpangku tangan, oleh sebab itu
Mama sering sekali mengeksekusi ide-ide untuk mencari sesuap nasi dengan
berdagang. Salah satu pekerjaan yang bisa dilakukan Mama tanpa meninggalkan
anak-anaknya. Mama sempat berganti-ganti jenis dagangan. Mama sempat berjualan
soto, gado-gado, bubur ayam, buah-buahan, perkakas pembersih rumah, toko alat
tulis, baju, bahan-bahan masakan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Sayangnya,
mungkin masih belum jodoh. Pasti ada saja yang membuat jualan Mama akhirnya
sepi pembeli. Saat ini pun di usia Mama yang tak lagi muda, hamper 60 tahun,
Mama masih mencari kesibukan. Setiap hari Mama membuat pudding ubi ungu, labu,
kentang, atau puding campuran lain untuk dijual di pasar pada pagi hari.
Untungnya tidak seberapa memang, tapi kata Mama, itu sudah cukup menyenangkan.
Dan saya bisa membayangkan, Mama pasti senang puding-puding buatannya dibeli
pelanggan dan malah ada banyak yang bilang kalo puding buatan Mama enak. Tapi
terkadang saya tidak tega juga ketika Mama pulang membawa sisa puding yang
belum terjual dikarenakan pagi itu hujan, sehingga tak banyak pengunjung yang
dating ke pasar. Mama hanya menjalaninya, dan selalu tersenyum ketika pulang.
Pelajaran terpenting
selanjutnya adalah tentang bagaimana mereka mengarungi rumah tangga. Mama dan
Bapak tidak menikah lantaran pacaran, melainkan lamaran beberapa saat setelah
dikenalkan. Usia kakak pertama saya 35 tahun, dan bisa dibayangkan berapa usia pernikahan
mereka sekarang. Bapak menikahi Mama di usianya yang ke-33 tahun, dan Mama saat
itu masih berusia 23 tahun. Namun pernikahan mereka masih bertahan hingga
sekarang. Satu yang perlu saya pelajari dari Mama, menerima dan mengalah jika
perlu. Mementingkan keegoisan masing-masing bukanlah hal yang harus
dipertahankan, dan saya harus meniru itu. Saling mengisi, memenuhi kekurangan
dengan kelebihan satu dengan yang lain. Begitulah rahasia keawetan pernikahan
Mama dan Bapak.
Mama dan Bapak mungkin
belum bertemu dengan kehidupan yang enak di hampir sepersekian usianya yang
sudah tidak bisa dibilang muda. Kini usia saya, anak terakhir dari empat
bersaudara, sudah 22 tahun. Saya masih kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat
pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Dan kedua orangtua sayalah
yang membiayai setiap biaya hidup dan biaya kuliah saya yang tidak bisa
dibilang sedikit. Dengan ngos-ngosan,
saya tahu itu. Uang beasiswa saya ternyata tidak cukup untuk hidup di Surabaya,
dan Mama juga Bapak berusaha membuat hidup saya nyaman.
“Kamu hanya harus fokus
kuliah saja,” kata mereka.
Tapi saya menyadari, bahwa sudah pasti
saya banyak mengecewakan mereka.
Sepasang
guru kehidupan, sekali lagi begitulah saya memanggil mereka dalam setiap
jengkal hidup saya. Sepasang orang tua yang harus saya teladani baiknya, dan
sekaligus mencoba untuk menyempurnakan kekurangan mereka, saat ini hingga
nanti. Terimakasih Mama, terimakasih Bapak, semoga dipanjangkan umur kalian
untuk bisa merasa dibahagiakan, sebab saat ini saya masih belum bisa
membahagiakan kalian. Terimakasih juga karena sudah membesarkan dan mengenalkan
kami, anak-anakmu, dengan kehidupan berkasih sayang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar