Talita berulah lagi. Bukan dengan tindakan sarkastis
seperti preman atau penjahat sih, bukan. Tapi perang dingin denganku dan kedua
temanku yang lain. Selalu gelagat aneh itu. Kami sih sudah biasa. Bad mood yang berimbas uring-uringan,
diam dan nggak enaklah pokoknya kalau mau diajak bercanda. Yang seperti ini nih
kerjaan dia yang big no buat
kita-kita. Nggak pake salam atau pertanda apa-apa lagi. Duh, kalau sudah begini
yasudah, mau gimana lagi, buat mencairkan suasana juga nggak bisa. Intinya,
harus nungguin bad mood-nya hilang
baru kita bisa ngajak ngobrol dia. Capek deh ya ngehadapin teman kita yang satu
ini kalau udah begini, berulang-ulang lagi.
“Mel… tinggalin dulu aja nih si Lita?” tanyaku pada
Melda.
“Iya deh, percuma aja kan kalau ditunggu nggak
mendingan-mendingan juga…”
“Baiklah…”
Aku dan Melda memutar
arah duduk kami, lalu hendak melangkah menjauh sebelum tiba-tiba…
“Melda, Fanya, mau kemana kalian?” panggil seseorang, Saskia.
Aku dan Melda
berpandang-pandangan.
“Talita bikin ulah lagi tuh Sas, kita gak betah nungguin
di sini…,” ucapku berbisik-bisik.
Saskia menggeleng-gelengkan kepala. Lalu dia mendekati Talita.
“Lita, what’s going
on? You look so bad…,” sapa
Saskia setelah menepuk bahu Talita lembut.
Talita menatap Saskia
dengan pandangan kosong. Lalu tiba-tiba memeluknya. Pertahanan airmatanya
jebol. Aku dan Melda saling pandang, menyaksikan dalam diam.
“Ma..mam..mama sama Papa tengkar.. lagi Sas, pa..parah…,”
jawab Talita sesenggukan.
Saskia mengusap-usap kepala
Talita, matanya juga turut berair.
“Sudah, nangis aja Lit.. gak papa kalau itu bisa nenangin
kamu…,” ucapnya.
Untuk beberapa waktu Talita menangis dalam pelukan
Saskia. Kami berkumpul dalam bungkam. Astaga… kenapa kami tadi malah berniat meninggalkannya?
Sungguh, selama ini kami tidak pernah mau menanyakan alasan kenapa tiba-tiba
Talita menjadi bad mood. Ternyata,
bisa jadi saat itu Talita sedang sedih tapi tidak bisa mengungkapkannya. Dan
kali ini, puncaknya. Teman macam apa kami… Melihat Talita masih menangis
sesenggukan dalam pelukan Saskia, tanpa diberi aba-aba kami langsung menghambur
kearah mereka. Pertahanan air mataku turut jebol. Trenyuh melihat Talita
sekaligus merutuki kebodohanku. Seharusnya, untuk inilah teman ada. Teman yang
baik, harusnya bisa menjadi saudara dan ada dalam suka dan duka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar