Senin, 21 Mei 2012

Losing My Love


Dirimu dihatiku
Tak lekang oleh waktu
Meski kau bukan millikku
Intan permata yang tak pudar
Tetap bersinar, mengusik kesepian
Jiwaku…

“Tak Lekang oleh Waktu” by Kerispatih

            Awan hitam menggelayut di atas langit ketika aku sampai di sebuah bangunan yang sangat aku kenal ini. Kumatikan tape yang melantunkan lagu itu secepatnya, dan kubuka pintu mobil perlahan. Kutapakkan kakiku ke permukaan tanah, lalu kututup pintu mobil sedan tuaku itu perlahan. Aku berdiri, mematung. Di depanku berdiri bangunan yang menyimpan sebuah kisah masa kecilku. Kemudian kumasuki halamannya perlahan.
            Ya… Dua belas tahun lalu, di gedung inilah aku memulai kisahku dengannya. Di gedung ini pula aku mulai mengenal dunia baru, mengenal teman, mengenal guru, mengenal ilmu, dan mengenal kebodohan untuk membiarkannya pergi jauh dariku.
            Tampaknya renovasi telah dilakukan di sana-sini. Bangunan ini agak terasa asing. Namun, ingatanku masih melekat, kuat. Kuhirup udara sedalam-dalamnya, lalu kuhembuskan saat aku membuka mata, perlahan. Tiba-tiba, tergambar jelas di dalam bayanganku tentang bangunan itu, semuanya tampak seperti kenyataan. Ya, gedung taman kanak-kanak yang kukenal dulu, ayunannya, jungkat-jungkit, perosotan, bak pasir, kolam ikan kosong, semuanya…
            Aku menghela napas sekali lagi, lalu berbisik di dalam hati.
            “Andai dia masih di sini Tuhan, tak akan kuulangi kesalahanku untuk yang kesekian kalinya… Aku begitu merindukannya. Apakah benar-benar sudah tidak ada kesempatan untukku lagi, Tuhan?”
Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu.
***
            Halaman sekolah tampak ramai. Ya, begitulah suasana pada saat istirahat.Teman-temanku bermain dengan riang, seperti tanpa beban. Begitupula aku, Alice dan Surya. Di sisi lain aku melihat Dean dan Mirza,sedang berdua. Alice dan Surya adalah sahabatku di masa kecil. Begitu pun Dean dan Mirza. Namun berbeda dengan temanku yang lainnya, Dean dan Mirza tampaknya telah terkena dampak negative dunia persinetronan yang terkadang terlalu banyak menayangkan adegan sepasang kekasih ini. Mereka, Dean dan Mirza, menyebut status mereka sebagai berpacaran. Polos? Jelas tidak.
            Ketika bel masuk berbunyi, entah bagaimana ceritanya hingga dengan mudahnya Mirza menirukan adegan di sinetron-sinetron sampah itu. Dikecupnya pipi kiri Dean, seolah itu adalah adegan biasa di usia kami yang masih 5 tahun. Dan ya, kami merespon adegan itu dengan cepat, bersorak-sorai,tertawa,seolah itu adalah adegan dari seorang aktris dan aktor yang mampu menghipnotis kami dengan aktingnya. Dean? Dia hanya tersenyum malu-malu, lalu menghampiri seorang anak yang duduk di sisi lain.
            Dia Rezky. Rezky Oktavian Gunawan. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga kemudian Dean menghampiriku,memasang tampang menggelikan, lalu berkata, “ Cie..cie… Diva… Pacarnya Rezky ya ternyata?“
Aku terbelalak. Apa yang telah mereka bicarakan? Dan bagaimana bisa Dean menggodaku sepeerti itu. Oh, hanya Dean, Rezky dan Tuhan yang tahu. Dan biarlah menjadi rahasia mereka.
***
            “Tik…Tik..Tik…”
Olala! Rintik hujan itu menyadarkanku. Semakin lama semakin deras dan memaksaku untuk berlari menuju naungan atap gedung itu. Namun pikiranku masiih belum seratus persen, masih melayang-layang menyusuri ruang dan waktu. Sendirian.
            Rezky… Aku tidak pernah memiliki cukup kata-kata untuk menggambarkan kerinduanku kepadanya. Seseorang yang kutemui dua belas tahun yang lalu dan harus kulepaskan karena kebodohanku. Rezky kecilku yang baik, yang tidak pernah mampu untuk kuberitahukan bahwa aku sayang padanya.
            Dulu, awalnya aku tidak memiliki rasa sayang sebesar ini kepadanya. Hanya sebagai saudara, sahabat. Tak lebih. Dan harusnya, aku dan dia masih bisa berteman dengan baik sampai detik ini. Sayang, takdir berkata lain… Karena kebodohankulah, akhirnya dia mengucapkan kata “putus” saat upacara bendera rutin di hari Senin selesai. Sebuah kata yang mampu memutuskan hubungan kami. Sebagai apapun. Termasuk saudara dan sahabat.
***
            Kurasakan buliran hangat dari sudut mataku mengalir membasahi pipi, membentuk garis seperti aliran sungai. Aku terduduk lemas. Tak memperdulikan lantai gedung yang basah, terkena hujan. Aku begitu menyesal akan kesalahan pertamaku. Begitupun kesalahan keduaku, ketiga, keempat dan entah sampai yang keberapa kalinya.
            Setahun yang lalu,aku bertemu  kembali dengan Rezky. Di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar yang tak bermutu. Yang sama sekali tak pernah aku duga akan menjadi salah satu tempat yang akan mempertemukan kembali aku dan dia. Orangtua Rezky tidak bisa dibilang orang biasa, dan rasanya susah untuk mempercayai bahwa yang duduk di sudut bangku kayu itu adalah dia.
            Untuk kesekian kali itu juga aku tidak berani menyapanya. Bahkan, ketika aku benar-benar yakin bahwa itu adalah Rezky Oktavian Gunawan setelah membaca namanya di daftar nama siswa. Aku memang pengecut, terlalu pengecut. Aku berpura-pura untuk tidak menyadari keberadaannya walau sesungguhnya ingin sekali menyapa dan mengajaknya berbincang. Entahlah, aku tak yakin dia masih mengingatku. Tapi yang jelas, aku masih sangat mengingat dia.
            Hatiku berdesir ketika dia menempati tempat duduk tepat di depanku. Aku masih tidak percaya itu Rezky. Benar-benar Rezky… Rezky kecilku yang telah tumbuh layaknya laki-laki dewasa. Dan yang mungkin tak kukenal lagi… Telapak tanganku terasa dingin. Diam membisu. Dan terkadang mencuri celah untuk  memandangnya. Rasanya tak dapat diungkapkan. Semuanya bercampur jadi satu. Senang, sedih, takut, gugup, penasaran… campur aduk bak gado-gado. Aku kecewa ketika seminggu kemudian tak mendapatinya di tempat itu lagi. Kuulangi lagi kesalahanku yang dulu-dulu. Aku tetap tak berani menyapa dia ketika seminggu kemudian dia hadir dalam kelas itu. Menatap mata saja tidak sanggup. Diva Nadia yang begitu pengecut.
            Kurasakan rasa sayang itu menjalariku. Kini lebih… Bukan lagi sekedar rasa sayang biasa. Meski aku malu mengakuinya, tapi inilah cinta. Aku sadar, sepenuhnya. Pertemuan itu hanya terjadi dua kali saja. Setelah itu, kami tidak pernah bertemu di LBB murahan itu lagi. Namun, frekuensi berpapasan dengan dia di jalan semakin meningkat. Aku bisa menyadari kehadirannya, seolah memiliki antenna khusus untuk mendeteksi keberadaannya. Dari arah manapun aku melihatnya, aku tahu bahwa itu Rezky. Hanya saja… aku tak pernah mendapatinya sedang menyadari kehadiranku.
            Aneh… Peristiwa itu sudah terjadi dua belas tahun yang lalu. Harusnya aku lupa. Harusnya aku acuh tak acuh. Tapi ternyata perasaan ini tak pernah mati. Bahkan, ketika aku menyadarinya, perasaan ini tumbuh berkali-kali lipat lebih kuat. Oh, bodohnya aku… Telah kulepaskan ia hingga dia pergi jauh dariku. Aku masih penasaran padanya. Sampai akhirnya, kuberanikan diri untuk meminta nomor handphone-nya dari temanku. Senang? Iya, tentu. Tapi aku tak tau bagaimana harusnya memperlakukan nomor tersebut. Hingga kemudian memutuskan untuk menghubungi dia dengan berpura-pura menjadi orang lain. Nekat…sungguh nekat. Aku mengajaknya berkenalan lagi denganku, sebagai orang lain. Frekuensi chatting terbilang sangat tinggi dan kami menceritakan banyak hal satu sama lain.
            Namun ternyata, berpura-pura menjadi orang lain membuat aku merasa bersalah. Hingga suatu ketika, aku memberanikan diri lagi untuk mengakui siapa diriku yang sebenarnya. Aku tahu konsekuensinya. Dan akan kuambil konsekuensi itu demi mengurangi rasa bersalahku padanya. Ketika dia mengetahui siapa aku, ada dua hal yang aku terima. Baik, dan buruk. Kabar baiknya, dia masih mengingat aku, namaku, orangtuaku. Kami berkomunikasi dengan normal sebagai aku dan dia. Hatiku melonjak, girang. Namun sayangnya, semenjak itu aku dan dia semakin jarang berkomunikasi lagi. Ya, meskipun kadang-kadang masih suka chatting dengannya, tapi tak bisa seperti saat dia belum mengetahui jati diriku. Aku merindukan dia yang bercerita bebas kepadaku. Sekalipun itu tentang Andara, seorang cewek manis, supel, cuek dan baik hati yang dikaguminya. Aku merasa tercabik-cabik. “Andara itu bukan aku, oh… betapa beruntungnya Andara,” selalu itu yang berada di pikiranku. Namun aku tetap berpura-pura tak mengenal Rezky sebelumnya.
            Perlahan, kusadari bahwa semua tak lagi sama. Dia ternyata memang sudah dewasa. Bukan lagi Rezky kecilku yang dulu. Rezky yag pernah mengikat hatiku. Rezky yang baik padaku. Rezky yang menerimaku apa adanya. Bukan, bukan lagi Rezky yang aku kenal dua belas tahun yang lalu. Ah… Andaikan dulu aku tak menyia-nyiakannya… andaikan aku dulu berani berkata “ya’’. Setidaknya, kenanganku dan dia tak hanya sebatas kata “putus”. Seharusnya aku dulu punya lebih banyak waktu untuk mengukir kenangan. Oh… seandainya aku bisa memutar waktu kembali… Andai aku masih diberi kesempatan untuk bersamanya… Aku, menyayanginya. Lebih dari itu, aku mencintainya. Dan ya… aku tak akan pernah bisa memilikinya, hatinya…
***
            Airmataku masih mengalir. Menangis tanpa suara. Memandang langit yang begitu kelam, sekelam hatiku saat ini. Di dalam setiap lingkaran kehidupan, pasti setiap orang pernah melakukan kesalahan. Begitupula aku. Dan kesalahan yang pernah aku lakukan dulu, telah merebut Rezky dan menjauhkannya dariku. Rezky kecilku… Hingga saat ini, detik ini, aku masih sangat mencintainya. Hanya saja, jika aku terus menunggunya tanpa kepastian, aku yang akan kehilangan waktuku. Jika aku hanya berdiam, aku tak akan mungkin mampu mengejar ketertinggalanku darinya. Masa depanku, harus kuperjuangkan cita-citaku. Aku tak boleh hanya berdiam diri dengan seribu penyesalan.
            Tak pernah kurasakan cinta yang sebegini besarnya. Aku tak pernah lagi mengenal Rezky-Rezky yang lainnya. Meski ada begitu banyak cinta yang dating dan pergi, namun tak pernah ada yang se-istimewa dia. Hanya dia yang bertahan, satu-satunya. Tak kusangka, peristiwa dua belas tahun yang lalu itu bisa membuatku sebegini gila. Rezky membuatku percaya bahwa cinta, perasaan suka seorang anak kecil hanya sekedar cinta monyet. Ada beberapa diantaranya yang mungkin ditakdirkan untuk menjelma menjadi cinta yang sesungguhnya. Namun sayangnya, Tuhan belum mengijinkan dia untuk bersamaku. Dia tercipta, tapi bukan untukku. Dan di hari ini, detik ini, aku harus merelakan Rezky. Di sini, di gedung ini, di tempat awal ceritaku dengannya di mulai. Di sini pulalah harus aku akhiri.
            Namun, ya… Rezky akan selalu ada di hatiku. Tak akan terhapus oleh waktu, meski aku tak akan ppernah bisa memilikinya. Dialah intan permata yang tak pernah pudar dan tetap bersinar. Kini, akan kututup rapat-rapat kisahnya, akan kusimpan ia di tempat teraman dan ternyaman di dasar hatiku. Akan kubawa, hingga menutup mata. Cinta tak harus memiliki bukan? J
            “Bye Rez… Kali ini, selamanya.”
Aku melangkah perlahan menuju mobil tuaku. Tak memperdulikan air hujan yang membasahi tubuhku. Kunyalakan mesin mobil perlahan. Kutengok sekali lagi bangunan itu. Hatiku seolah-olah mengucap salam perpisahan. Aku bertekat untuk melupakan dia, meski dia akan selalu tersimpan, menjadi salah satu kisah untukku, hanya untukku. Kulajukan mobil tuaku perlahan. Menyadari, cintaku tak akan pernah bersambut. Dan menyadari pula, bahwa aku harus merelakan dia untuk pergi jauh. Harus kurelakan… Losing my Love.

*The End*