Sabtu, 09 Agustus 2014

Karena rasa malu berlebih sama tidak baiknya dengan hal-hal berlebih yang lain. Seperti malu mengungkapkan rasa sayang, kepada Ayah, kepada Ibu, kepada Kakak.Terkadang kata kebiasaan menjadi kedok. Lalu beralasan bahwa tanpa ungkapan sayang dengan kata-kata pun kita sudah saling tahu satu sama lain. Katanya rasa sayang tidak harus diungkapkan dengan kata-kata. Katanya, rasa sayang ya rasa sayang, cukup dirasakan. Berjalan 22 tahun lebih, dan kini saya mulai meragu. Saya percaya bahwa kasih sayang mereka tiada tara, meski tanpa kata-kata. Perbuatannya, cukup menggambarkan itu. Namun bagaimana dengan rasa sayang seorang anak kepada mereka? Apakah juga tersampaikan meski tanpa kata-kata? Dan apakah tiap-tiap perbuatan yang seringkali membuat sakit hati juga tetap membuat mereka masih percaya?

Jumat, 08 Agustus 2014

Cemburu (?)

Tak kukenal apa nama rasa ini, dahulu, pun kini. Yang kutahu hanyalah bahwa aku meng-iri-i orang-orang disekitarmu. Bagaimana mereka bisa dekat denganmu, mungkin dalam separuh hari, seperempat, pun hanya 5 menit dalam setiap harimu. Sedangkan aku? Tidak sama sekali.

Aku mungkin tidak mengetahui siapa dan sedang dimana kamu. Bahkan bisa jadi engkau tidak berada di dunia, sebab Allah memang mengatakan bahwa tiap-tiap manusia pasti diciptakan-Nya berpasangan, namun tidak mengatakan bahwa setiap pasangan itu pasti bertemu di dunia. Tapi tetap saja, tiap-tiap dari manusia pasti mengharapkan untuk mendapat kesempatan dipertemukan dengan masing-masing belahan jiwanya di dunia.

Dan karena ketidak tahuanku itulah, aku meng-iri-i tiap-tiap yang dekat denganmu. Bahkan meski itu sekedar udara yang kau hembus. Sekali lagi, sebab aku tidak tahu siapa kamu. Jika bumi berotasi dalam sehari sebanyak 24 jam, tak sedetikpun dari 24 jam itu yang mendekatkanku denganmu. Bagaimana bisa aku tidak iri kepada udara yang tiap saat selalu kau hembus?

Kepada udara, dan berpasang-pasang mata yang melihatmu tertawa, kepada kumandang adzan yang tiap 5 kali sehari selalu kau dengar (semoga), kepada lantai tempatmu bersujud kepada-Nya, dan orang-orang di sisi samping kiri kananmu yang kau jabat tangannya selepas engkau tunaikan kewajiban, serta seluruh perihal yang menyertai dalam keseharianmu, mengisi 24 jam-mu. Aku meng-iri-i kesemuanya.

Inikah cemburu (?)
Jikapun ia, biarlah begitu. Tak apa meski aku masih menerkamu. Sebab (mungkin) ini belum waktu yang tepat. Dan biar aku menerka tiap-tiap kebaikan yang engkau perbuat, sebab dengan begitu aku pun akan berusaha memperbaiki diri. Ada yang bilang, bahwa tiap-tiap dari yang sepasang adalah berfungsi untuk menyeimbangkan. Biar aku menerka, dan biar aku yang menganggap bahwa kita belum seimbang, sehingga belum bisa menjadi sepasang. Buat apa menjadi sepasang, jika tidak bisa menyeimbangkan. Jika sebelah sayap akan menjadi beban bagi yang lain, bagaimana mungkin burung bisa terbang?
Biarlah aku menganggap begitu, terlepas dari benar atau salah. Jika pun anggapanku salah, namun jika bisa menjadikanku lebih baik, kenapa tidak bukan?

Kamis, 07 Agustus 2014

Hal Lain

Seperti judulnya, hal lain.
Hal lain adalah teruntuk hal-hal pengecualian. Hal lain adalah teruntuk hal-hal yang tidak biasa. Ukuran apa yang dipakai untuk menggolongkan hal yang biasa dengan yang tidak? Cukup perasaan, logika, dan kebiasaan. Sewajarnya. 

Seperti salah satu tulisan selebtwit yang berprofesi sebagai dokter tapi mempunyai profesi lain sebagai seorang penulis, menulis baginya adalah sebuah terapi. Bagi saya juga begitu. Allah Maha Adil ya. Kalau dulu saya bertanya-tanya kenapa orang lain bisa enteng saja mencurahkan isi hatinya pada orang lain dan saya tidak, kini tidak lagi. Ya karena (mungkin) itu media dari-Nya, dan sudah ketetapan-Nya. Mau dipaksa ngomong kayak gimana juga, saya nggak bakalan jadi pinter membahasakan perasaan secara lisan karena memang itu bukan media saya. Begitu juga sebaliknya. Ya meski nilai keadilan yang sebenarnya hanya Allah yang tahu, tapi bagi saya yang hanya manusia biasa, ini sudah cukup adil.

Ketika belum menyadari bahwa menulis adalah media saya, saya memang cenderung serampangan. Ya dasarnya emang gitu sih, hehe. Jadi, dikit-dikit mosting tulisan di media sosial. Nggak tau penting apa nggak, yang penting rasanya kalau udah pengen nulis, terus keposting itu lega aja. Pernyataan ini didukung oleh salah satu psikolog yang nggak sengaja muncul di televisi, sedang mengulas salah satu kasus yang lagi nge-hits, kasus seorang seleb yang ngupload tulisan dan video berisi curahan hati di youtube, you know who lah.. Katanya psikolognya, ya itu media dia buat menyalurkan uneg-uneg. Dia bakal lega aja kalau udah nulis, udah ngungkapin uneg-uneg via video lalu nge-posting itu dengan ekspektasi dunia bakal tahu apa yang sedang terjadi pada dia, apa yang difikirkan dan apa yang dirasakan.

Eh, ya lama-lama, ketika sudah mulai berpikir bahwa saya 'lain', akhir-akhir ini adakalanya tulisan yang abis keposting itu saya hapus-hapus sendiri setelah beberapa menit kemudian. Kenapa? Ya karena saya mulai berpikir tentang penting dan gak penting. Apa segitu pentingnya sih 'isi' pernyataan saya hingga seluruh dunia (seenggaknya dunia maya saya) tahu tentang hal itu? Apa yang saya posting itu first world problem? Ya enggaklah ya... Bisa dibilang itu pastilah semacam gempa bumi lokal yang terjadi di dalam diri sendiri saja. Gampangnya, gempa bagi saya, enggak buat yang lain.

Nah, tapi, karena tetap saja menulis adalah media terapi bagi saya, akhirnya saya (mulai) nyari alternatif lain. Finally, tanpa bertanya dan tanpa mencari tahu, melainkan cuman make logika, kayaknya sah-sah aja nulis-nulis sesuka hati, baik yang penting maupun yang enggak, dengan catatan... memilih media sosial yang tepat untuk tulisan itu. Maksudnya? Ya menilai sendiri ajalah (karena ini bukan ujian yang harus dinilai orang lain), ini privasi nggak? Ini penting nggak? Pada akhir yang kedua (karena tadi udah bilang finally), sampailah saya pada anggapan bahwa lingkaran sosial alias teman-teman di media sosial itu menentukan juga tentang isi pesan yang saya sampaikan ke mereka. Ya semisal nih, kalo lagi pengen ngoceh nggak jelas, semacam sampah, gampangnya sih ngoceh di twitter. Eh, ya tapi jangan yang sampah-sampah banget sih yang diposting, hehe. Nah, kalo tulisan khusus hasil inspirasi yang emang sering tetiba aja ngehampirin entah gegara hal-hal diluar dugaan, kasus yang ngetimpa orang lain or whatever , tapi pokoknya buat saya punya nilai khusus, dengan diksi khusus pula, simply, i'll post it on tumblr. Nah, yang tingkat agak lebih tinggi lagi, yang lebih privasi, yang lebih panjang lebar isinya, yang lebih nano-nano tema-nya, tapi dalam taraf orang lain boleh tahu, maka, saya akan memanfaatkan blog saya. Kenapa? Karena lingkaran teman yang ada lebih sedikit, lebih 'itu-itu' aja. Palingan, yang ngebuka blog saya adalah orang-orang yang niat nyari tau tentang...."what happened with ummu today?". That's it. 

Terakhir, kalau buat sesuatu yang nggak sembarang orang boleh tahu, atau bahkan sesuatu yang..."Cukup Allah dan saya saja yang tahu", chit chat dengan Allah itu recommended banget. Nah, kalau kurang, karena dasarnya lagi-lagi tulisan adalah terapi, yaudah, saya bakal nulis entah lewat secarik kertas, entah lewat new document, atau apapun lah, asal saya bisa nulis sesuka saya, yaudah, nulis aja. :) Mau nanti hilang, mau nanti kebuang, gak papa. Karena point-nya adalah seperti toksin yang keluar lewat terapi, nulis yang juga terapi bakal mengeluarkan toksin itu dari dalam otak, hati. Kalau udah kebuang? Yang namanya toksin, yaudahlah ya.... Good bye-in aja, haha.