Senin, 24 Maret 2014

May I Give Up (?)

Sudah membuka mata dan telinga.
Hanya saja belum membuka suara.
Sebegitu 'indahnya' fakta itu digelar, dan tersikapi hanya dengan diam.
Have no reason to not give up.
Tak akan pernah mudah berbicara hanya dengan sebelah hati tanpa ada yang menggenapi.
Tak akan pernah mudah melihat dengan kedua mata tanpa dilihat kembali.
Tak akan pernah mudah berbicara tak apa, tapi pada kenyataannya apa-apa.
That's way, May I give up (?)
Padahal berbicara dengan hati yang penuh kepada-Nya sangat lebih dari cukup.
Padahal tanpa diminta Ia telah melihat dengan sepenuhnya, dan justru aku yang terkadang lupa walau hanya sekedar mengingat-Nya.
Padahal meminta dan bergantung hanya kepada-Nya bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan.
Maka, sudah seharusnya pula (mungkin) untuk berserah tentang permasalahan sesama manusia, hanya dituntut untuk berusaha dan percaya, berdo'a sebanyak mungkin, lalu berpasrah.
Ya, kali ini sudah saatnya give up.
Menyerah kepada kekerasan hati dan keras kepalanya sikap atas sesuatu yang tidak seharusnya dijadikan sebagai tempat bergantung.
Dan mulai melembut, mulai menurut, mulai berharap atas tiap-tiap yang terbaik dalam hidup kepada-Nya.
Semoga belum terlambat dan semoga masih sempat untuk menata kembali, hati.

Sabtu, 15 Maret 2014

Sepasang Mata Baru

Hai, kamu. Laki-laki dengan sepasang mata yang bersinar.
Aku membaca sebuah kehidupan baru di sepasang matamu.
Jauh dari ekspektasi kehidupan yang kuharapkan di waktu lampau mungkin.
Tapi aku selalu suka melihat binar mata yang penuh semangat dan besarnya keoptimisan yang tergambar jelas di sana.
Ah, entahlah bagaimana caranya.

Pemilik sepasang mata baru yang kurasa selalu berbeda dalam memperlakukanku.
Mungkin hanya perasaanku, tapi bahkan aku selalu menandai gerak-gerikmu yang tak sama saat kamu memperlakukan yang lain.
Selalu berbeda.
Tak nyamankah? Padahal aku tidak mengusikmu sama sekali.
Keberatankah untuk dikagumi olehku?
Padahal seujung jaripun aku tidak menunjukkannya.
Ah, kadang kala terbersit pertanyaan liar yang mempertanyakan perasaanmu, "samakah?"
Lalu dengan terburu-buru aku menghapusnya, tak ingin rasa ini tumbuh lebih liar lagi dan akar serabutnya berubah menjadi akar tunggang, susah untuk dirobohkan.

Perbincangan Satu Arah

Hey. Apa kabar? Selalu bahagia ya? semoga. :)
Ah, sudah kehabisan kata-kata meski yang terlontar hanya sekedar bertanya soal kabar.
Untaian do'a sudah terucap kok, untukmu, dan untuk orang lain yang berada di sampingmu. 

Aku dulu dan beberapa waktu yang lalu mungkin masih memikirkan, sekarang? Jujur saja masih, haha.
Tapi pola pikir atas jalan untuk memikirkanmu sudah berubah, itu saja bedanya.
Patah hati? Tidak bisa disebut begitu juga sebab aku juga tidak tahu apa dulu aku bisa menyebut bahwa aku sedang mencintai.
Kecewa? Tidak sepenuhnya juga sepertinya, sebab itu sudah terprediksi dari bertahun-tahun yang lalu.
Membenci? Nah, ini satu-satunya pertanyaan yang bisa kujawab dengan pasti. 
Tidak sama sekali, justru sebaliknya, aku yang bertanya-tanya apakah kamu yang membenciku?

Ah, baiklah. Bagaimana jika aku saja yang berkabar padamu.
Kabarku baik, meski mungkin tidak sebaik kamu.
Tapi akan segera kutingkatkan lagi keadaanku, jika aku boleh menyebutnya sebagai janji.
Mmm..masih berputar-putar pada pola pikir yang sama meski ada sedikit perbedaan.
Sedang memperjuangkan sesuatu yang disebut sebagai sebuah kelulusan.
Sedang tertatih-tatih dalam menemukan jati diri dan keinginan.
Tapi kamu tahu?
Berita bagusnya aku sedang mengendarai kendaraanku sendiri.
Bukan kamu yang menyetir, pun orang lain.
Aku, iya, aku.
Aku yang akan menentukan jalan hidupku sendiri, tentu atas ijin-Nya.
Ah, iya, itu berita terbagus yang perlu kamu tahu.
Aku sudah bisa melepaskan diri dari kendalimu dan tidak lagi copy cat semacam dulu.
Jika dulu begitu berat melepas impian masa kecil yang nyata-nyatanya tidak bisa terwujud, sekarang tidak.
Jika dulu begitu berat melepas jalan hidup jauh dari pola hidupmu, sekarang tidak.
Aku lebih mandiri lagi, jika aku boleh berbangga menyebut diriku mandiri.
Aku tidak pengecut lagi, oh, setidaknya tidak sepengecut dulu.
Kabar baik bukan?
Mmm.. satu lagi.
Yang perlu kamu tahu, kali ini aku sedang menunggu dan berusaha, meski tanpa sebuah ekspektasi yang terlalu besar seperti dulu.
Oh, mungkin berekspektasi iya, tapi bukan lagi ambisi. 
Aku sedang mencintai, mencintai tiap-tiap jalan yang memang sudah digariskan untukku begini adanya.
Termasuk, jalanku untuk kehilanganmu~

Tenang saja, suatu waktu nanti juga akan tiba giliranku untuk mencintai, mencintai jalanku untuk dipertemukan dengan orang lain yang sudah digariskan untukku begitu adanya.
Bisa jadi kamu, bisa jadi tidak. 
Tapi aku sama-sama percayanya, kamu atau bukan kamu, pasti yang terbaik.
Sekarangpun begitu, aku sedang mencintai jalanku untuk dipertemukan dengan sepasang mata yang baru.
Entahlah, aku membaca sebuah kehidupan di sepasang mata baru itu.
Hanya saja, kabar  buruknya, aku sudah tidak berani berekspektasi terlalu tinggi lagi dalam memperjuangkan sepasang mata baru itu.

Itu saja kabar dariku, meski aku yakin bahwa kamu sama sekali tidak membutuhkannya.
Tak apa, meski ini hanya sebuah perbincangan satu arah, sudah cukup untuk membuatku lega, sepertinya.
Terimakasih, meski tidak mendengar pun membaca, setidaknya kamu telah menjadi pendengar dan pembaca  dalam dimensi yang berbeda, yang kusebut sebagai dimensi fatamorgana.

Sincerely,
The worst false you ever have in the world

I Love The Way I am

Rindu sekali rasanya jari jemari akan sensasi menari-nari di atas tuts keyboard. Meski hanya untuk menuangkan rasa yang nggak jelas, yang bahkan diri sendiri tidak mampu memahamipun, selalu lebih menyenangkan ketimbang mencoba menyampaikan sesuatu yang rigid semacam proposal, laporan maupun tugas-tugas lain semacam itu. Haha, iya, aku selalu mencintai jalanku untuk mengutarakan sesuatu via tulisan. Biarpun orang lain mungkin banyak yang tidak paham saat membacanya, setidaknya, bagiku sudah cukup jika aku dan Tuhan mampu memahami tiap-tiap kata yang terkadang terangkai dengan sederhana, atau malah justru sebaliknya. Sebab, adakalanya tidak semua rasa mampu terungkap dengan tulisan, dan aku, tidak memungkiri hal itu.

Terkadang masih ada banyak hal yang tersembunyi, tak terpahami. Mengolahnya menjadi kata-kata justru menjadi sulit sebab masih ada teka-teki, unidentified. Ah, tapi aku selalu suka menebak-nebak, merangkai satu persatu puzzle yang berserakan di otak. Terkadang sulit diungkap, tak terselesaikan, dan bagiku, tak apa. Setidaknya aku sudah memetakan pola pikiran dengan segenap syaraf yang menjuntai membentuk tali temali hingga ujung kesepuluh jari jemari tanganku. Tuhan selalu istimewa dengan pilihan-Nya, dan mahkluk ciptaan-Nya pun pasti istimewa karena  tercipta dari Dzat yang istimewa. Jika dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa, maka sekarang tidak. Jika dulu selalu heran mendengar pun melihat orang lain berbicara dengan lancar, mengalirkan tiap-tiap apa yang dirasakan dan dipikirkan secara lisan, sekarang tidak, namun aku belajar. Sebab, ada kalanya bahasa tulisan tidak diterima, ada kalanya bahasa tulisan tidak istimewa. Dan aku, menerimanya. Hanya saja, mencintai adalah satu-satunya jalan atas sebuah penerimaan yang besar, dan aku? Aku mencintai jalanku. Ya, I Love The Way I am. 

Senin, 03 Maret 2014

Sepasang Guru Kehidupan (#LenteraHidup)

Berbicara tentang guru, mungkin tidak akan cukup menuliskannya hanya dalam satu buku. Sebab, bagi saya, guru tidak hanya mereka yang mengabdikan diri dalam kancah dunia pendidikan. Bagi saya, ilmu bisa didapat darimana saja, dan siapa saja bisa memberikan ilmu tanpa harus berbatas ruang bernama sekolah, title atau gelar sebagai pengajar. Bagi saya, guru adalah percontohan, sebuah panutan. Dan siapa saja bisa dijadikan sebagai percontohan, dijadikan panutan, dijadikan pelajaran. Oleh karenanya, bagi saya, mereka yang saya temui, mereka yang saya baca maupun saya dengar ceritanya, mereka yang saya lihat melalui indera mata dalam keseharian, kesemuanya adalah guru, guru kehidupan yang patut diambil baiknya pun buruknya sebagai sebuah percontohan.
            Pertemuan silih berganti. Jenjang kehidupan dalam ranah sekolah pun meningkat dari waktu ke waktu. Seiring dengannya, guru kehidupan yang saya temui pun begitu pula, turut berganti dengan sendirinya, meski tidak ilmunya. Namun, meski raga tak lagi bertemu, guru tetaplah guru, dan ilmu tetaplah ilmu. Dari ribuan guru kehidupan yang saya temui dalam keseharian saya, ada sepasang diantaranya yang merupakan ‘guru tetap’ bagi saya. Keduanya selalu ada dalam tiap perkembangan dan pertumbuhan saya, dari jenjang pendidikan A ke B, dari yang hanya hidup dalam gendongan menjadi seperti sekarang. Iya, mereka adalah kedua orang tua saya, Mama dan Bapak, begitu saya menyebut keduanya.
            Bagi saya, kedua orang tua saya adalah panutan ‘nyata’, yang pertama dan utama. Meski iya, tidak ada manusia yang sempurna, tentu saja. Tak terkecuali Mama dan Bapak. Namun demikian, layaknya anak yang lain, orang tua adalah guru yang membesarkan mulai dari usia 0 hingga tak terhingga. Ya, meski tidak semuanya beruntung, meskipun terkadang ada yang kehilangan salah satu dari mereka, atau malah keduanya. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya orang tua adalah ‘guru’ dan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan saya rasa, dalam hal ini, sekali lagi bagi saya, kedua orang tua saya cukup berhasil.
            Bapak saya dilahirkan di kota Tulungagung pada tanggal 10 Desember 1945, sedangkan Mama saya lahir di kota Kediri pada tanggal 16 Juni, sepuluh tahun kemudian. Keluarga saya adalah keluarga sederhana, dan kedua orang tua saya adalah guru besar kesederhanaan bagi anak-anaknya. Bahkan lebih dari itu, Mama dan Bapak adalah guru kehidupan bagi saya. Bapak merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Masa-masa mudanya berada dalam era negara yang meski mendeklarasikan diri telah merdeka, namun belum merdeka seutuhnya. Tak jauh berbeda, Mama yang usianya lebih muda sepuluh tahun dari Bapak juga berasal dari keluarga sederhana. Mungkin, Bapak dan Mama adalah salah satu korban ketidak beruntungan masa, meski tidak ada namanya ‘tidak beruntung’ jika sudah ketentuan Yang Maha Kuasa.
Enam orang adik, tentu saja Bapak dituntut dewasa sebelum waktunya. Namun mungkin itulah yang pada akhirnya mencetak Bapak untuk menjadi lebih mandiri dan berani menghadapi dunia di kala itu. Mendengar cerita dari beliau tentang masa mudanya, ya, saya akui masa-masa itu lebih keras daripada masa sekarang. Selepas dari menuntaskan masa Sekolah Menengah Atas (SMA) Bapak sempat mendaftar untuk mengikuti tes menjadi anggota militer. Sayang sekali, Bapak akhirnya ditolak karena bentuk kakinya yang O, sedangkan persyaratan peserta yang diterima adalah yang bentuk kakinya normal. Tak putus asa setelah ditolak, Bapak masih mencoba untuk mendaftar ke perguruan tinggi, meski beliau tidak tahu nantinya harus membayar memakai apa. Keenam adiknya masih sekolah dan butuh biaya, tentu saja. Bapak kemudian mendaftar di Jurusan Pendidikan Sejarah di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), output dari jurusan ini adalah mencetak guru ilmu sejarah. Tak berapa lama kemudian Bapak dinyatakan lolos. Namun pernyataan itu tak lantas membuat Bapak melenggang menjadi mahasiswa di universitas tersebut dengan mulus. Tak ada biaya yang cukup, bagaimana harus membayar biaya masuk dan biaya kuliah rutin, harus tinggal di mana nanti di sana, dan pertanyaan-pertanyaan lain menggelayut mesra dalam batin Bapak. Tak jadi mengambil kesempatan kuliah di Malang, begitulah akhir keputusannya.
Sekali lagi, Bapak masih belum menyerah. Pilihan dan kesempatannya lantas jatuh pada jurusan yang sama di Jogja, Universitas Islam Indonesia namanya. Pilihan itupun terlahir dari pertimbangan-pertimbangan Bapak tentang masa depan perkuliahan dan segala keperluan hidup selama tinggal di sana. Bapak akan tinggal bersama saudara jauh dari pamannya, bukan sebagai tamu yang diistimewakan tentu saja, melainkan sebagai penjaga toko batik. Berbekal sepucuk surat titipan pamannya untuk pemilik rumah yang dituju, berangkatlah Bapak ke kota Jogjakarta. Di sana ia tak digaji, hanya dibayari uang kuliah dan makan sehari-hari. Bapak kemudian hidup mandiri di sana, jauh dari keluarga, menjadi apa saja yang dibutuhkan sekaligus menjadi kepercayaan si empunya rumah. Begitulah masa kuliahnya, dijalani dengan tanpa ada keluh kesah. Bahkan Bapak masih menyempatkan diri mengajar anak-anak kecil untuk membaca Al-Qur’an di langgar atau mushola dekat tempat tinggalnya, daerah Kauman kata Bapak, dekat Malioboro.
Masa kuliahnya menjadi lebih panjang dari masa kuliah normal, enam tahun. Itupun akhirnya tanpa gelar sarjana ilmu sejarah, melainkan sarjana muda hukum. Iya, Bapak tidak berhasil menyelesaikan kuliah di jurusan Ilmu Sejarahnya, tapi berpindah ke jurusan D3 Hukum. Semua itu karena kelulusan Bapak dipersulit oleh salah satu dosen yang memergoki Bapak mengabsenkan temannya yang tidak masuk pada saat mata kuliah dosen tersebut. Setelah mengulang mata kuliah itu dan tidak dilulus-luluskan juga, akhirnya Bapak memutuskan pindah jurusan, daripada pulang ke kampong halaman tanpa membawa gelar, katanya. Semua tetap dijalani Bapak dengan tawakal. Satu pesan yang pernah disampaikan Bapak untuk saya saat giliran saya yang masuk perguruan tinggi adalah begini,
”Nggak perlu kamu khawatir dengan jurusanmu ini. Sarjana S.KM (Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, red.) memang banyak, tapi percaya saja kalau kamu juga bisa. Jangan terlalu tidak percaya diri. Ketika Bapak dulu kuliah, ada satu prinsip yang Bapak tegaskan pada teman-teman Bapak. Yaitu bahwa Bapak kuliah dengan niat untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari kerja. Titik. Pakailah prinsip itu juga, maka dengan demikian, kamu tidak perlu khawatir lagi akan pekerjaan apa yang akan kamu dapatkan kelak. Ingat? Lapangan pekerjaan itu banyak.”
Dan pesan tersebut masih saya pegang hingga sekarang.
            Bagi saya, Bapak adalah panutan dalam hal keagamaan. Dari kecil Bapak yangs selalu menanamkan  nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya, saya dan ketiga kakak saya. Bapak sempat menjadi ketua ta’mir masjid beberapa kali periode di masjid dekat rumah, pun di tempat tinggal keluarga saya saat di Jakarta dulu. Bapak yang mengundang guru untuk mengajari anak-anak kecil di sekitar masjid, sekaligus mengajari saya untuk membaca Al-Qur’an. Bapak saya tidak pernah mengajari anak-anaknya dengan jalur kekerasan, penyabar. Meski anak-anaknya pada akhirnya tidak ada yang mengikuti jejak beliau pun, Bapak tetap terlihat sabar, meski mungkin saja dalam hati kecewa besar.
            Satu lagi pelajaran yang bisa saya ambil dari Bapak, bahwa kesederhanaan itu bisa membuat tiap-tiap hati menjadi legowo (ikhlas). Bapak saya seorang purna pegawai negeri sipil dengan gaji tak seberapa. Apalagi dulu Bapak sempat untuk meminta dipindah kerja ke kampung halaman Mama demi menemani Mbah Kakung, tentu saja pangkat menjadi diturunkan. Bapak mengajari anak-anaknya untuk tidak konsumtif, membeli kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan saja dan tidak hidup bermewah-mewah. Dan kini pelajarannya masih saya pegang, sebisa mungkin tidak konsumtif. Jaman boleh berubah, kecanggihan tekhnologi boleh meningkat dengan pesat, tapi prioritas kebutuhan tidak boleh dijejali dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus itu. Handphone misalnya, hampir setiap tahun pasti ada saja keluaran yang terbaru. Bapak mengajari saya untuk tidak ikut terpengaruh dengan sekitar, setidaknya, ketika barang yang kami punya masih bisa berfungsi dan fungsi utamanya masih bisa digunakan, maka kami tidak perlu untuk selalu menggantinya dengan model-model keluaran baru. Bapak, bagi saya, adalah guru besar kesederhanaan yang harus saya jadikan panutan.
            Sedangkan Mama? Mama tidak kalah istimewa dari Bapak. Pendidikan Mama hanya sampai Sekolah Menengah Atas. Mama adalah anak ketiga dari lima bersaudara, dan ia tidak lagi melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA. Kesempatan itu ia berikan kepada dua adik laki-lakinya, itupun adik yang tepat di bawah Mama tidak lagi sempat menuntaskan perguruan tingginya, mengalah demi adik kedua Mama. Keluarga Mama mungkin sudah berjiwa dagang. Mbah Kakung, ayah Mama, adalah seorang pembuat furniture, memiliki toko sendiri. Sedangkan nenek, ibu Mama, adalah penjual nasi pecel dan sebangsanya di pasar dekat rumah mereka ketika pagi hari. Masakan nenek enak, dan keahlian itu diturunkan kepada  Mama dan Om saya,  adik pertama Mama. Karena sejak kecil sudah membantu nenek memasak, mereka akhirnya juga jago masak. Selera masakannya Om bahkan sangat istimewa. Sayangnya, bakat itu tidak menurun ke saya. Oh, belum mungkin, karena bisa jadi kalau saya rajin berlatih, saya juga akan jago memasak seperti Mama. Ah, ini mungkin adalah salah satu keinginan yang patut untuk saya wujudkan dengan segera. Ya, semoga.
Mama adalah wanita terlembut, terhangat, tersederhana, sekaligus yang terkuat bagi saya. Iya, Mama lembut dan hangat. Membesarkan anak-anaknya 24 jam penuh di rumah, sebagai ibu  rumah tangga. Mama sekaligus yang terkuat, bahkan pekerjaan laki-laki seperti membenahi rumah, memaku, memotong kayupun Mama bisa. Mama memenuhi kodratnya sebagai wanita, lembut, hangat, memberi keturunan untuk suaminya, dan membesarkan anak-anaknya dengan kasih saying penuh. Mama juga penurut, selalu menerima kesederhanaan dengan berlapang dada. Mama tidak memakai perhiasan di pergelangan tangan, leher, pun telinganya. Hanya sebuah cincin yang melingkari jari manis kanannya, pemberian Bapak, maskawin saat menikah dulu. Itupun sudah hilang beberapa waktu yang lalu karena Mama mendapat musibah, digendam orang. Meskipun demikian, Mama selalu menerima keadaannya, menerima pemberian Tuhan untuk kami, keluarga kecil yang hidup sederhana dibawah asuhan Bapak dan Mama.
Sekali lagi, Mama adalah wanita yang kuat. Menjadi ibu rumah tangga biasa tampaknya bukan satu-satunya pilihan Mama. Mama tidak ingin berpangku tangan, oleh sebab itu Mama sering sekali mengeksekusi ide-ide untuk mencari sesuap nasi dengan berdagang. Salah satu pekerjaan yang bisa dilakukan Mama tanpa meninggalkan anak-anaknya. Mama sempat berganti-ganti jenis dagangan. Mama sempat berjualan soto, gado-gado, bubur ayam, buah-buahan, perkakas pembersih rumah, toko alat tulis, baju, bahan-bahan masakan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Sayangnya, mungkin masih belum jodoh. Pasti ada saja yang membuat jualan Mama akhirnya sepi pembeli. Saat ini pun di usia Mama yang tak lagi muda, hamper 60 tahun, Mama masih mencari kesibukan. Setiap hari Mama membuat pudding ubi ungu, labu, kentang, atau puding campuran lain untuk dijual di pasar pada pagi hari. Untungnya tidak seberapa memang, tapi kata Mama, itu sudah cukup menyenangkan. Dan saya bisa membayangkan, Mama pasti senang puding-puding buatannya dibeli pelanggan dan malah ada banyak yang bilang kalo puding buatan Mama enak. Tapi terkadang saya tidak tega juga ketika Mama pulang membawa sisa puding yang belum terjual dikarenakan pagi itu hujan, sehingga tak banyak pengunjung yang dating ke pasar. Mama hanya menjalaninya, dan selalu tersenyum ketika pulang.
Pelajaran terpenting selanjutnya adalah tentang bagaimana mereka mengarungi rumah tangga. Mama dan Bapak tidak menikah lantaran pacaran, melainkan lamaran beberapa saat setelah dikenalkan. Usia kakak pertama saya 35 tahun, dan bisa dibayangkan berapa usia pernikahan mereka sekarang. Bapak menikahi Mama di usianya yang ke-33 tahun, dan Mama saat itu masih berusia 23 tahun. Namun pernikahan mereka masih bertahan hingga sekarang. Satu yang perlu saya pelajari dari Mama, menerima dan mengalah jika perlu. Mementingkan keegoisan masing-masing bukanlah hal yang harus dipertahankan, dan saya harus meniru itu. Saling mengisi, memenuhi kekurangan dengan kelebihan satu dengan yang lain. Begitulah rahasia keawetan pernikahan Mama dan Bapak.
Mama dan Bapak mungkin belum bertemu dengan kehidupan yang enak di hampir sepersekian usianya yang sudah tidak bisa dibilang muda. Kini usia saya, anak terakhir dari empat bersaudara, sudah 22 tahun. Saya masih kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Dan kedua orangtua sayalah yang membiayai setiap biaya hidup dan biaya kuliah saya yang tidak bisa dibilang sedikit. Dengan ngos-ngosan, saya tahu itu. Uang beasiswa saya ternyata tidak cukup untuk hidup di Surabaya, dan Mama juga Bapak berusaha membuat hidup saya nyaman.
“Kamu hanya harus fokus kuliah saja,” kata mereka.
Tapi saya menyadari, bahwa sudah pasti saya  banyak mengecewakan mereka.

            Sepasang guru kehidupan, sekali lagi begitulah saya memanggil mereka dalam setiap jengkal hidup saya. Sepasang orang tua yang harus saya teladani baiknya, dan sekaligus mencoba untuk menyempurnakan kekurangan mereka, saat ini hingga nanti. Terimakasih Mama, terimakasih Bapak, semoga dipanjangkan umur kalian untuk bisa merasa dibahagiakan, sebab saat ini saya masih belum bisa membahagiakan kalian. Terimakasih juga karena sudah membesarkan dan mengenalkan kami, anak-anakmu, dengan kehidupan berkasih sayang.
*** 

Sabtu, 01 Maret 2014

Menjelang 22 tahun, dan semuanya sama saja.
Sebentuk hati yang dulu kosong, kini semakin melompong.
Kalau saja aku tidak mengisinya lagi dengan apa saja yang bisa terisikan, mungkin bisa jadi ia akan mati.
Bersyukur, sebab Ia memang tak pernah membiarkan aku sendirian.
Bersyukur, sebab Ia pertemukan aku dengan orang-orang yang kuat dan tepat untuk diandalkan.