Jumat, 19 Desember 2014

Hujan, Genangan, dan Kenangan

Tentang dia yang akhir-akhir ini meracuni otak. Sudah kali yang keberapa? Entahlah.. Bukannya dulu tak punya rasa, hanya saja, belum sekuat ini. Kata orang, hujan selalu meresonansi kenangan. Hujan sebagai media. Hujan sebagai perantara antara masa lalu dan masa kini. Mungkin itu benar adanya. Sama halnya dengan malam ini, Kamis, 18 Desember 2014. Hujan yang datang di kala senja dengan derasnya, ikut memanggil kenangan-kenangan di kala itu.
Umurku masih 16 tahun mungkin, saat kami, aku dan Abimanyu Setiayuhadi, ditakdirkan untuk menjadi teman sekelas di kelas XI IPA 5. Awalnya tidak ada yang khusus, semua berjalan biasa saja. Akupun juga hanya mengamati dia sebatas teman sekelas melalui cara yang sama seperti aku yang mengamati teman yang lain. Memang, dia tidak begitu mencolok. Sering menghilang di kala jam kosong atau jam bebas saat istirahat malah. Tapi aku yakin, itu karena kegiatannya di SKI, atau Seksi Kerohanian Islam, ekstakurikuler yang, yah... tidak perlu dijelaskan di sini bukan? Iya, dia memang aktif dalam kegiatan remaja masjid di sekolahku waktu itu. Ya begitulah, kami tidak terlalu dekat saat di awal-awal kelas sebelas karena aku lebih sering menghabiskan waktu di kelas, bahkan tidak mengikuti ekstrakurikuler sama sekali, sedangkan dia? Sebaliknya.
Tapi, meskipun begitu, dia tergolong anak yang rajin di kelas. Apalagi jika dilihat kalau ia seorang siswa laki-laki. Biasanya sih, kebanyakan siswa laki-laki sering datang telat, atau menganggap tidak masuk sekolah itu biasa. Berbeda dengan dia. Aku tidak pernah melihat dia datang terlambat, bahkan, dia sering datang lebih dulu daripada aku. Padahal, aku tahu, jarak rumahnya dengan sekolah cukup jauh dan memakan waktu. Mungkin, dia tidak bermasalah dengan waktu dan sudah terbiasa bangun serta berangkat pagi buta. Selain rajin datang tepat waktu, dia juga pandai sekali mengolah tehnik bicaranya di depan kelas, komunikatif. Sudah berbakat jadi public speaker mungkin. Dan, aku ingat, saat pelajaran sejarah, dia selalu lebih tahu daripada aku. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, wajar jika pengetahuan tentang politiknya lebih baik daripada aku, ataupun anak lain seumuran kami. Yang terakhir, dia jago sekali mengasah otak di ilmu eksak. Matematika dan fisika, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya. Padahal bagiku, kedua mata pelajaran itu adalah musuh besar. Otakku selalu gagal mengolah rumus-rumus dengan baik, entah kenapa. Aku selalu meng-iri-i dia saat ujian matematika ataupun fisika, sebab, tampaknya tanpa belajarpun dia sudah bisa meraih nilai yang bagus. Aku? Jangan harap mendapat nilai bagus jika tanpa latihan. Itu sebuah kemustahilan.
Kemudian kami menjadi dekat saat teman sebangku kami memutuskan untuk 'jadian'. Kami jadi sering duduk dengan posisi depan-belakang. Tapi anehnya, posisi duduk seperti itu membuat kami menjadi sering berdebat. Terkadang, malah menjadi sering bersaing. Entahlah, kata teman kami: kami sama-sama berkepala-batunya. Karena itulah, pada akhirnya, teman-teman sering mengolok kami dan menyuruh kami untuk jadian. Mana mungkin, pikirku waktu itu. 
Hubungan kami bahkan sempat merenggang. Aku sempat marah sekali pada Abi yang sering memanggilku dengan panggilan menyebalkan: Monyet! Kami sempat tidak berbicara berhari-hari, dan aku tidak menyapa serta menghindarinya. Dia tahu aku marah, sangat tahu. Hingga.. suatu malam dia mengirim pesan kecil untukku yang isinya: permohonan maaf. Tapi, pesan permohonan maaf itu isinya aneh. Dia tidak langsung mengutarakan permohonan maafnya padaku, tapi membuat sebuah pertanyaan. 
Tanyanya,"Apakah seseorang yang telah membuat kesal orang lain masih bisa dimaafkan?" 
Saat membaca pesan itu, aku tertawa. Aku sebenarnya sudah memaafkannya, bahkan merasa bersalah atas sikapku. 
"Ya, tentu saja," setelah lama berpikir, akhirnya hanya pesan ini yang aku kirimkan padanya.
Pesan balasannyapun kembali masuk, "Bagaimana caranya?"
"Tinggal minta maaf aja, beres," balasku.
"Apakah aku akan dimaafkan?" tanyanya lagi.
"Tentu, asalkan kamu tulus dan tidak mengulangi perbuatan yang sama," jawabku.
"Kalau gitu, aku minta maaf."
Aku tersenyum lagi.
"Hahaha, sebenarnya sudah lama kumaafkan. Aku minta maaf juga ya."
"Terimakasih :)," balasan terakhirnya, menutup percakapan kami lewat pesan.
 Saat itu kami sudah duduk di bangku kelas XII. Tak lama kemudian, kami harus menghadapi Ujian Akhir Nasional, dan segala macam ujian kelulusan. Hingga tibalah saatnya kami harus menentukan apakah kami harus melanjutkan pendidikan atau mungkin, bekerja? Kami menjadi sibuk dengan pemberkasan dan berbagai ujian masuk perguruan tinggi. Iya, aku dan dia sama-sama memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Kami sempat beberapa kali gagal mengikuti ujian masuk. Hingga akhirnya, terdengar kabar bahwa dia diterima di salah satu Institut Teknologi Negeri di kota Surabaya, jurusan Teknologi Informasi. Mungkin itu adalah salah satu impiannya, karena memang, semasa sekolahpun dia ahli urusan pemrograman, desain, dan tetek bengek yang berurusan dengan teknologi. Sedangkan aku? Gaptek, gagap teknologi. Dengan diterimanya dia di Institut tersebut, gugurlah keharusannya untuk berebut kursi dengan ribuan calon mahasiswa lain saat SNMPTN. Berbeda denganku yang saat itu belum diterima dimanapun, aku kemudian bertanya-tanya tentang probabilitas diterima di perguruan tinggi jika dilihat dari kuota serta passing grade. Aku ingin sekali masuk Kedokteran. Namun karena tidak yakin dengan kemampuanku, aku memilih Fakultas tersebut pada universitas dengan passing grade terendah di pilihan pertamaku untuk SNMPTN, meskipun kotanya jauh. Sedangkan pilihan keduaku, kujatuhkan pada jurusan Kesehatan Masyarakat di sebuah universitas negeri di kota Surabaya. Itupun setelah aku berdiskusi dengan banyak orang, termasuk dengan Abi. 
Setelah tiba waktu pengumuman, Abi bertanya tentang hasil ujianku. Saat itu aku sendiri bahkan belum melihat hasil ujian, hingga saat dia bertanya, aku tidak bisa memberikan jawaban. Koneksi internet di daerahku memang masih belum begitu baik, sehingga aku belum bisa mengakses pengumuman SNMPTN. Tapi, selain koneksi yang tidak baik itu, akupun juga sedikit takut untuk melihat pengumuman. Maka, ketika Abi menanyakan nomor pesertaku agar bisa melihat hasil pengumuman, aku memberikannya dengan sedikit pesan,"Jangan beritahukan hasilnya padaku dulu ya." Lalu dia menyetujuinya.
Tak lama kemudian, ada sebuah pesan masuk lagi, dari Abi.
"Selamat, kamu diterima di Kedokteran Tanaman."
Aku merutuki Abi. Berita buruknya, dengan membaca pesan itu, aku jadi tahu, bahwa aku tidak diterima di jurusan Kedoteran. Namun, berita baiknya, meski tidak diterima di Kedokteran, aku pasti diterima di pilihan keduaku. Aku yakin, sebab Abi tidak akan mungkin setega itu, memberi selamat saat aku tidak berhasil. Tak apa bagiku, sebab, sebenarnya jika melihat dari soal SNMPTN yang diberikan, diterima saja sudah alhamdulillah. Dan ternyata benar, aku diterima di jurusan Kesehatan Masyarakat, pilihan keduaku. 
Begitulah, akhirnya kami sama-sama menjadi mahasiswa di dua perguruan tinggi negeri yang berbeda di kota Surabaya. Namun, mulai saat itu juga, intensitas komunikasi kami berkurang. Aku sibuk dengan dunia kuliahku, dan diapun begitu.
Semuanya berjalan begitu saja setelahnya, aku bahkan sudah berhasil tidak memikirkan Abi lagi. Dan Abi, yang sedari awal mungkin tidak pernah memikirkanku, jadi semakin tidak memperdulikanku. Beberapa komunikasi dengannya terjalin lagi di waktu-waktu tertentu. Terutama saat aku yang gaptek, membutuhkan bantuan untuk mencari tahu tentang program komputer dan sebagainya. Ya begitulah, komunikasi terjadi dengan aku yang menghubunginya terlebih dahulu. Artinya? Dia memang sama sekali tidak pernah memikirkanku. Meskipun begitu, aku tidak ambil pusing karena yah.. aku menganggap bahwa memang tidak mungkin kami menjadi lebih dari sekedar teman. Hingga... datanglah hari dimana aku merubah mindset-ku dan mulai berharap padanya. Diawali dari peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Kami yang berasal dari kota Kediri menjadi was-was saat itu, dan jadilah berkirim kabar satu sama lain. Tapi seingatku, hanya dia yang tiba-tiba mengirim pesan padaku,"Rumah aman?" Ya, menanyakan kondisi rumahku. Bagaimanapun, terimakasih untuk itu. Sebab, saat itu aku khawatir dengan kondisi rumah dan sedang ingin berbagi, lalu dia hadir dengan begitu saja. Kebetulan? Jika memang hanya kebetulan, itu adalah sebuah kebetulan yang menyenangkan sekaligus melegakan.
Aku sering sekali mencari-cari bahan perbincangan dengannya. Kadang-kadang perbincangan kami menjadi 'hidup'. Tidak selalu aku yang bertanya dan dia menjawab lagi, melainkan saling tanya jawab. Herannya, dia selalu menanyaiku tentang sesuatu yang sedang membuatku khawatir. Seperti misalnya, tentang pengerjaan tugas akhir. Seketika itu pula aku langsung mengeluh padanya, lalu jawabnya cuma, "Tenang, dipikir santai saja." Jawaban yang pendek dan menyebalkan sekali memang, jika belum mengenal dia. Tapi kami sudah mengenal tidak hanya sebulan dua bulan saja, jadi aku sudah dengan begitu saja meyakini bahwa niatnya baik. Kali lain, aku bertanya tentang kandidat calon presiden karena akan diadakan pemilihan umum untuk pemimpin nomor satu Indonesia. Saat itu media memang sedang tidak bisa dipercaya, cenderung saling menjatuhkan malah. Perdebatan terjadi di mana-mana. Aku mengeluh padanya bahwa aku sudah memiliki pilihan tapi menjadi bingung dengan perdebatan di berbagai media, dan dia hanya bilang," Tenang, kalau masih ragu, ikuti Kyai-mu. Karena penerus Nabi itu ulama. Perdebatan itu terjadi karena masing-masing dari mereka menganggap kalau calonnya adalah Nabi." Jawaban yang bagus, meskipun bukan jawaban pasti. Bukan tak beralasan aku bertanya pada dia, sebab, sudah sedari SMA aku melihatnya mengikuti perkembangan politik. Jangankan politik, sejarah saja dikuasainya.
Seingatku, itu adalah perbincangan terakhir kami. Setelahnya, memang tidak ada perbincangan lain lewat pesan, tapi sudah dua kali kami bertemu langsung. Yang pertama, saat acara buka bersama dengan teman SMA di bulan Ramadhan tahun kemarin, dan yang satunya, saat salah satu teman kami ada yang menikah. Saat itulah, aku menjadi lebih terkagum-kagum padanya. Acara buka bersama kami hanya dihadiri oleh 5 orang, dan dia salah satu diantaranya. Sedangkan di acara pernikahan teman kami, hanya dihadiri oleh 4 orang, dan dia salah satu diantaranya. Padahal sepertinya dia sibuk, tapi niatnya baik, terlihat dari kepulangannya ke Kediri yang dikhususkan untuk kedua acara tersebut. Menyambung tali silaturahmi katanya. Tidak seperti teman yang lain, ketika undangan acara kukirimkan pada Abi, Abi menjawabnya dengan kata, "Insya'Allah". Tapi kemudian dia benar-benar mengusahakannya. Jika ditanya kenapa bersusah payah hadir padahal sedang berada di luar kota? "Menghormati yang mengundang," jawabnya. Kesimpulannya, dia memegang perkataannya, dan itulah yang menjadikannya berbeda.

Hujan masih turun dengan begitu derasnya, padahal ini sudah pukul 20.00 WIB. Kurang lebih sudah 3 jam hujan mengguyur Surabaya. Di luar kamar kost, terlihat jalan raya tergenang oleh air hujan yang tingginya mungkin sudah sebetis. Beberapa kendaraan bermotor ada yang menepi, mogok. Jadi merasa bersalah, sebab aku justru melihat mereka yang bersusah payah menyalakan kendaraannya sambil menikmati hujan. Hujan yang selalu menawaniku. Hujan yang tidak hanya menghadirkan genangan, tetapi juga kenangan. Meskipun begitu, hujan selalu menjadi candu untukku. Aku menyukai aku yang bercumbu dengan kenangan dalam rintik hujan. Apalagi, ini malam. Dua perpaduan maha dahsyat, hujan dan petang.
Pikiranku kembali liar menerawang, "Sedang apa dia di sana? Apakah ia sama-sama melihat hujan, sepertiku?" Ah, 6-9 bulan berada di Makassar, katanya. Itu waktu yang tidak sebentar. Iya, beberapa bulan yang lalu setelah kelulusannya, dia berhasil diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia. Dan sekarang, dia sedang menjalani on the job training di Makassar. Katanya lagi, setelah training-nya selesai, baru akan ada penempatan, dan itu di-rolling hingga dia pensiun. Aku tahu itu semua setelah berkomunikasi dengan dia via WhatsApp. Salah satu aplikasi chatting yang sudah banyak dimanfaatkan oleh orang kebanyakan saat ini. Dia juga menanyakan kabarku, kesibukanku. Ah, tapi jawaban apa yang bisa kuberi, jika memiliki pekerjaan tetap saja belum. Jangankan pekerjaan, ijazah saja belum di tangan. Yah...meskipun aku sudah lulus sebulan yang lalu, tapi ijazahku belum juga jadi. Kembali lagi ke Abi, aku mengeluh padanya, “Wah, pasti nanti pas reuni beneran bakal nggak ada yang datang ya.”
Dia kemudian tertawa, dan berkata,”Pas hari raya saja, kan pulang.”
Aku mengeluh lagi,” Emmh.. tapi kapok ah ngurusin acara begituan, buka bareng yang kemarin kayaknya yang terparah.”
Dia tertawa lagi,” Haha, tenang, yang penting kan niatnya sudah baik.”
Aku tersenyum. Kata ‘tenang’ lagi, sepertinya itu kata-kata andalannya. Tapi, meskipun singkat dan padat, jawaban-jawaban darinya selalu ajaib, selalu benar-benar menenangkan. Ah, Abimanyu Setiayuhadi, kamu benar-benar berhasil menawanku dalam kata-kata sederhanamu, dan aku? Seperti aku yang selalu mencandui hujan, aku kini juga turut mencandui kata-katanya. Seperti air hujan yang selalu mendinginkan panasnya tanah dan udara, kata-katanya selalu mendinginkanku. Seperti air hujan yang selalu membawa ketenangan dan keteduhan, kata-katanya selalu menenangkan dan meneduhkan. Tetaplah seperti itu, menghujaniku dengan kata-katamu. Asal jangan pakai petir, kilat dan angin ya, Abi!

Kamis, 11 Desember 2014

Liliana yang Mempesona

Perempuan yang berada di sampingku ini bernama Liliana. Aku mengenalnya sejak masih kanak-kanak. Ah, tapi aku curiga, bahkan mungkin kami telah berkenalan dan sedekat ini sejak belum dilahirkan. Kedua orangtuanya telah tiada, dan dia sudah tinggal bersama keluargaku sudah entah berapa tahun yang lalu. Dia tetap periang meski telah kehilangan kedua orangtuanya. Dan bahkan, aku yang mempunyai sepasang orangtua utuh, seperti disirami cahaya matahari oleh dia untuk bertumbuh. Aku tanpa dia? Entahlah akan menjadi apa.

Liliana yang mengajarkanku untuk menjadi kuat waktu itu, kala umurku masih delapan tahun. Bahkan dia pula yang telah melindungi aku dari keusilan temanku yang lain. Badannya memang lebih besar daripada aku di kala itu. Aku bahkan ingat apa kata-katanya padaku waktu aku sedang sekali lagi diusili oleh temanku yang lain. Katanya, "Jadilah kuat Edward. Kamu punya segalanya, yang tidak kamu punya cuma satu: Keberanian. Jadilah kuat dan lawan mereka, jangan diam saja."
Seketika itu aku mulai menjadi lebih berani. Saat ada yang datang mengusiliku, aku menatap mata mereka, menjawab perkataan mereka, bahkan sesekali menepis keusilan tangan-tangan mereka. Liliana tak lagi perlu membantuku untuk mengusir anak-anak nakal itu. Aku belajar berbagai macam olahraga dan menjadi yang terbaik di dalamnya. Aku berubah, bermetamorfosa.

Kini aku dan Liliana sudah dewasa. Kebersamaan kami tampaknya sudah digariskan dari awal. Sejak umur delapan tahun itu pula aku terkesima dengan Liliana. Kini Liliana tak lebih kuat dari aku. Dia bertumbuh menjadi gadis yang cantik, lembut, dan mempesona. Mungkin, sepuluh tahun lagipun sama, aku akan terkesima dengan dia yang lain, yang meski tak secantik ini namun tetap memiliki seribu kebaikan. Ya, Liliana yang selalu mempesona. Dan mungkin dia akan terus seperti itu: membuatku terkesima hingga kami sama-sama tiada.. Ah, dengan ini aku ingin mengutarakan pada dunia, bahwa dia adalah milikku seorang, dan tak ada yang bisa merebutnya dariku. 

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Sepasang Kunci dan Gembok

Tebakanku dua tahun lalu meleset lagi. Ah, sudah yang keberapa kali aku menebak-nebak? Abi? Nanda? Mm.. Hendra? Ah.. siapa lagi? Sampai sudah susah mengingatnya. Aku kira dulu ketika dekat dengan Abi, Abi yang akan jadi jodohku suatu hari nanti. Ternyata meleset, kami kemudian menemukan ketidak cocokan dan yah.. bubar di tengah jalan. Begitu juga saat dekat dengan Nanda ataupun Hendra. Aku menebak, dan ternyata meleset. Sakit? Ah, tidak juga... karena semua sudah lewat. Memang bukan mereka yang namanya tertulis di Lauhul Mahfudz untuk mendampingiku, sepertinya sih. Dan seiring dengan waktu, aku bisa berdiri tegar kembali, menerima kalau bukan salah satu dari merekalah yang akan menjadi pendampingku. 

Nah, kini aku sedang mengenal seorang lelaki. Bukan kenalan baru sih, sudah sejak SMA kami saling mengenal. Tapi 'mengenal' yang ini sedikit berbeda, mungkin lebih tepatnya, saling menjajaki. Siapa yang menduga kalau aku bisa bertemu kembali dengan Dirga? Anak laki-laki yang dulu bahkan sering adu debat denganku. Siapa yang menyangka kalau akhirnya aku membuka hati untuk dia, dan dia untuk aku? Ah, sepertinya dia dikirim sekali lagi untuk aku. Tapi untuk cerita yang kali ini, aku tidak lagi mau asal menebak. Mungkin cinta memang tidak untuk ditebak-tebak, melainkan hanya perlu dijalani dan diyakini.

Aku dan dia kini hanya saling membuka hati, menjalani yang seadanya dengan beberapa rencana. Tak ada pernyataan sama sekali dari dia, pun dari ku akan perasaan tertentu yang mengusik. Tapi semua berjalan dengan asik. Dari hari ke hari, satu demi satu kecocokan terbaca dengan sendirinya. Tidak semuanya sih, tapi usia mungkin telah membuat kita menjadi dewasa dengan sendirinya. Kecocokan itu bukan selalu berarti plus bertemu dengan plus, tapi bisa jadi minus bertemu dengan plus. Saat berdebat, mungkin ada kalanya yang satu mengalah. Saat ada yang panas, yang lain mendinginkan. Saat ada yang tidak semangat, yang lainnya menyemangati. Begitu seterusnya. 

Lama-lama, dengan sendirinya kami seolah-olah berubah menjadi seperti sepasang kunci dan gembok. Yang ini alami, tanpa menebak, tanpa dibuat-buat pun memaksakan kehendak. Kami sama-sama keras kepala. Dan sebagai sepasang gembok dan kunci, seolah-olah hanya aku yang bisa mencairkan ke-keras kepala-annya, dan hanya dia yang bisa mencairkan ke-keras kepala-anku. Entahlah, mungkin dialah yang selama ini aku tunggu. Seseorang yang namanya telah tercatat di Lauhul Mahfudz untuk berdampingan dengan namaku.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku