Sabtu, 10 Mei 2014

(Kamukah) Tempat Singgah yang Baru?

Lagi-lagi kamu. Kamu jago sekali rupa-rupanya dalam hal usik mengusik. Sama seperti yang lalu-lalu, aku tidak mau menebak-nebak dan berharap lebih. Oh, tapi yasudahlah, aku tidak pula mampu mendustai segumpal daging dan darah yang dicipta untuk menciptakan serta merasakan ribuan rasa. Dan ternyata, (mungkin) memang iya, aku berjumpa kembali dengan euforia ini setelah menjumpai jeda yang cukup lama.

Ya, kamu, laki-laki yang selalu hadir dalam momentum krusial dalam hidupku. Kamu, yang tak selalu hadir dalam setiap detikku, apalagi menghadirkan ragamu di sebelahku. Kamu, yang (mungkin) sekaligus menghadirkan hati(ku) dalam setiap percakapan pun perjumpaan yang tak sengaja tercipta. Sekalipun tidak ada yang namanya ketidak sengajaan bagi-Nya, sebab, setiap peristiwa pasti terjadi atas kuasa-Nya dan aku percaya itu. 

Ini kali keberapa? Entahlah, aku mungkin saja lupa meskipun pasti mampu menyebutkan jika disuruh untuk menyebutkan. Sebab iya, tak ada satu detail-pun yang kulupa jika itu bersangkut-paut dengan momentum krusial yang ada dalam hidupku, yang juga sekaligus menghadirkan kamu di dalamnya. Kali ini, kamu hadir kembali, meski lagi-lagi, tidak untuk menghadirkan dirimu dalam setiap detik waktuku.

Percakapan singkat yang membawa pesan khusus, selalu begitu. Kamu tidak pernah bisa berbasa-basi. Hei, tapi taukah kamu? Apa-apa yang kamu bicarakan selalu tepat dan mengena, sesuai dengan apa yang kubutuhkan. Selalu menjawab setiap tanya dan kekhawatiran. 

Seperti percakapan yang menghadirkanmu di sepenggal malam panjang itu. Ya, saat ini aku memang sedang menghadapi momentum krusial yang baru dalam hidupku. Dimana banyak tanya dan kekhawatiran berkumpul jadi satu dan aku tak tahu harus mencari obat penenang apa yang tepat untuk menghilangkan semua kekhawatiran itu. Dan Allah pasti Maha Tahu, sebab Ia (mungkin) menghadirkanmu sebagai salah satu media untuk menjawab tanya dan kekhawatiran yang hadir memburuku.

"Tenang, dipikir santai saja." 
Begitu katamu. Respon singkat atas jawabanku saat kamu bertanya tentang kabar dariku. Padahal aku tak banyak bercerita, hanya sedikit mengeluh dengan gurauan. Tapi kamu menanggapinya sesuai porsimu, dan kamu tahu? Aku hanya membutuhkan jawaban itu daridulu. Jawaban yang menenangkan.

Lalu tiba giliranmu bertukar cerita. Haha, sama rupa-rupanya. Iya, momentum yang sedang kita hadapi sedang sama-sama krusialnya. Tapi kita berbeda dalam hal bagaimana menanggapi momentum itu. Jika aku memunculkan banyak tanya dan kekhawatiran, kamu justru tetap tenang, dan berusaha melewatinya dengan usaha dan do'a. Padahal aku tahu, porsi momentum krusial-mu pasti lebih berat dari momentum krusial-ku.

Ah...lagi-lagi... kamu tahu? Yang aku butuh bukanlah sekedar kata-kata, melainkan sebuah percontohan. Dan aku mendapatkannya, kata-kata sekaligus percontohan, dua dalam satu, kamu. Bagaimana aku bisa tidak berpikir bahwa kamu bukanlah media yang dikirimkan-Nya untuk menjawab tanya dan kekhawatiranku? Bagaimana pula aku bisa tidak bertanya bahwa (Kamukah) Tempat Singgah yang Baru, bagiku? 

Tapi apalah dayaku selain bertanya dan menunggu jawaban dari-Nya? Kecuali, lewat do'a. Bukan begitu? Ah, semoga kita sama-sama mampu melewati momentum krusial kita kali ini dan kali-kali selanjutnya ya, kamu. Tetap tenang, dan dipikir santai sembari tetap berusah serta berdo'a. Lalu kita cukupkan dengan berpasrah pada keputusan-Nya. Terimakasih, kamu, yang selalu hadir dalam momentum krusial-ku. :')

Senin, 05 Mei 2014

Tentang Kamu yang Lain

Ini tentang orang yang berbeda.
Yang ternyata hadirnya tanpa terduga.
Yang munculnya tanpa disangka-sangka.
Ah... mungkin ini hanya sebuah praduga.
Tapi, biarlah.. sebab aku menikmatinya.

Namamu? Biar aku dan Allah yang tahu. Tak perlu disebut sebab kamu belum tentu yang ditetapkan untukku dan aku untukmu. Biar namamu hanya aku yang menyebut, dalam tiap-tiap do'a seusai shalat fardhu. Aku sedang berharap? Mungkin iya... Sebab aku selalu dibutakan oleh sesuatu yang kuanggap mampu membimbingku pada-Nya, meski kebenarannya hanya Ia yang tahu. Ini bukan suka, apalagi cinta. Tidak, tidak, tidak... Aku hanya mengagumimu. Dalam diam, dalam perbincangan-perbincangan tak bertuan. 

Bagaimana tidak? Jika kamu selalu muncul dalam momentum krusial dalam hidupku. Empat tahun yang lalu misalnya, saat kebimbangan dan kebingungan luar biasa mendera. Aku berdo'a pada-Nya, dan mungkin kamu adalah salah satu media jawaban atas permintaanku kepada-Nya. Tentang kemana arah tujuanku setelah lulus SMA tepatnya... Aku dan kamu tak terlalu akrab, cenderung terlanjur mencintai debat malah. Aku batu, kamu batu. Kita sama-sama berkepala batu, watak keras, dan tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Tapi pada akhirnya, satu-satunya orang yang bisa kupercaya adalah orang yang sama, yang selama ini selalu kudebat dan tak ingin kuberikan kemenangan sedikitpun kepadanya. Dan taukah kamu, pada saat itu, aku sekaligus kalah, kalah dalam segala-galanya. 

Ya, aku bertanya kemana sebaiknya aku menuju. Dan kamu menjawab. Kamu berikan alternatif pilihan yang bisa menjadi tujuanku. Cukup panjang lebar dan akhirnya bulatlah keputusanku, karena pertimbanganmu. Saat pengumuman ujian dikeluarkan, kamu adalah satu diantara dua orang yang kupercaya untuk membuka pengumuman itu. Ya, hanya kamu, dan satunya? Satunya adalah adik dari Bapakku. Lalu kamu bilang selamat. Selamat karena aku diterima di fakultas kedokteran, fakultas kedokteran tumbuhan. Ahah, ya mungkin memang begitulah caramu yang selalu mampu membuatku kesal, sekaligus mengagumi. Dua hal dalam satu dan tak lagi mampu kulihat batas diantara keduanya. Ya, aku membenci sekaligus mengagumi.

Kali lain, aku juga memintamu untuk memberikan pendapatmu saat aku hendak membeli sesuatu. Singkat padat dan jelas, itu jawaban yang kudapat darimu. Ah, selalu begitu. Selalu kau beri aku jawaban diluar batas kemampuanku. Iya, sebab aku tidak tahu menahu tentang bidang yang kau kuasai, dan aku cemburu. Oh, lebih halus, ini bukan cemburu, melainkan rasa iri positif yang menjadi pemicuku untuk lebih maju. Kamu bisa berbicara tentang apa saja yang tidak aku bisa. Tentang agama, tentang politik, tentang tehnik, matematika, fisika, sejarah, dan apalah itu yang menjadi duniamu, bukan duniaku. Aku selalu mendebat, dan kamu tahu? Dibelakang debatan-debatan kosong itu aku selalu mencibir diriku sendiri, sebab tak satupun debatanku itu yang 'berisi' seperti debatanmu. Iya, aku kosong, dan kamu penuh. Lalu, bagaimana bisa aku tidak mengagumimu dengan gagasan-gagasanmu itu? Kita berbeda, meski tidak dalam segala hal. Iya, tidak dalam segala hal, sebab satu-satunya persamaan diantara kita adalah kepala batu. Hanya itu.

Terakhir kali, sebab kepala batumu dan kepala batuku tak kunjung bertransformasi menjadi yang lebih lunak serta lebih bijak, maka kita tak lagi saling berbincang dalam ketidak pentingan. Ya, debat kusir itu telah berakhir. Tak ada lagi perbincangan untuk meminta pertimbangan seperti dulu. Dan semuanya berjalan begitu damai. Beberapa waktu yang lalu kamu muncul lagi dalam momentum krusial di hidupku. Saat kekhawatiran terlahir dan tak tau harus berbagi kepada siapa. Saat rumah dan kota kesayangan diguyur pasir dan abu dari letusan Gunung Kelud. Dan di saat itu pula hanya kamu, hanya kamu, yang menanyaiku dengan kalimat singkatmu, "Rumah aman?" Kalimat singkat dan sekaligus menenangkan, bagiku. Sebab aku sedang ingin berbincang dan menumpahkan kekhawatiran, lalu engkau hadir dengan begitu saja, menjadi sebuah media.

Aku tidak mengerti, tidak pula memahami. Berharap dan berusaha mengubur harap. Lalu berucap dalam tiap-tiap do'a, "Allah, jangan biarkan kali ini aku salah langkah. Dan berikan petunjuk-Mu atas kekhawatiranku. Tiadakan ia dengan bijaksana jika ia bukan media penjawab tanya. Atau... munculkan ia dengan utuh melalui ridho-Mu, sebagai jawaban atas tiap-tiap tanya yang tak kunjung menemukan jawabnya. Aamiin".

***

Minggu, 04 Mei 2014

(Mungkin) Hanya Sekedar Do'a

Kali ini ada lagi yang mengusik. Ah, lelah sekali rasanya. Sudah penghabisan, setelah ini hanya akan ada segelintir usaha kecil dan doa saja yang diperbanyak. Berkali-kali salah orang. Jika kemarin aku menemukan sepasang mata baru. Kini mungkin aku sedang tersadar. Meski belum pasti, sepertinya aku baru saja tersasar. Entah sudah untuk yang keberapa kali. Satu, dua, tiga? Atau justru tak terhingga.

Haha, bagaimana tidak lelah jika sedang dalam perjalanan dan tak kunjung sampai di tempat tujuan? Bahkan tak hanya sekali dua kali berbelok pada tempat yang tak dituju. Semakin lama semakin terasa panjang, panjang, dan mungkin tak berujung. 

Ah, tapi aku tetap percaya pada kuasa Tuhan yang pasti tidak akan pernah ingkar. Akan tetap kususuri meski kini aku tak setangguh yang dulu. Tidak apa, setidaknya jika fisik tidak lagi setangguh itu, namun jiwa justru tak serapuh yang dulu. Ini sebuah ke-resistensi-an, jiwaku terlanjur kebal terhadap salah tujuan.

Tak ada peta yang bisa dipegang. Bertanya pada orang pun kini tak lagi bisa menjadi andalan. Punya apalagi aku selain Tuhan? Maka kini aku berserah, berpasrah. (Mungkin) Ini adalah do'a yang tak akan kunjung berakhir. Atau.. ketika pun sudah mencapai ujung, aku tidak akan pernah mencoba mengakhirinya, melainkan hanya akan sekedar mentransformasikannya menjadi do'a yang baru. 

Baiklah.. bisa jadi kali ini aku juga berbelok pada tempat yang salah. Tapi yasudahlah... Sekedar berdo'a bolehkan? 
"Wahai pencipta alam semesta dan seisinya... Jika ia yang sedang bercokol dalam diam di suatu sudut yang tak terlihat ini adalah benar merupakan tempat yang harus hamba tuju, permudahlah. Jadikan ia sebagai tempat yang baik untuk hamba, dan hamba sebagai tempat yang baik untuk ia, jadikan kami sebagai tempat berpulang dan menjadi rumah bagi masing-masing. Dan jika bukan, berilah petunjuk-Mu akan tempat yang seharusnya kami tuju. Jangan jadikan rasa kecewa ini sebagai pengutuk pun pemerburuk suasana wahai Rabb yang tak ada duanya... Jangan jadikan pula ia sebagai penghalang bagi tempat yang seharusnya kutuju, pun yang seharusnya menujuku."