Kamis, 23 Oktober 2014

Uncontrolled

Hai, kamu.
Betapa aku merindui kamu, dan betapa kamu tidak mengetahui itu.
Betapa aku ingin memberi tahumu, dan betapa kamu tidak ingin mengetahui itu.
Betapa aku ingin terdorong maju, dan betapa kamu ingin aku mundur.
Terkadang kita, seperti itu, unbalance.

Tapi betapa aku tak mampu menguasai diri.
Setiap percik rasa yang lahir begitu saja.
Ia tumbuh dan semakin berkembang hingga entah sudah sebesar apa.
Aku hanya tak bisa menguasainya, itu saja.
Kamu tahu?
Inilah yang disebut sebagai uncontrolled.
Sesuatu yang tumbuh diluar kuasaku.

Betapa aku ingin memberhentikan pertumbuhannya, membunuh, membuatnya lenyap.
Tapi semakin aku memaksa, semakin ia menguat pula.
Kekuatan apa yang membantunya?
Entahlah, aku hanya tak bisa menguasai kekuatan itu saja.
Sekali lagi, ia... uncontrolled.

Betapa menyerah akan terasa mudah bagiku.
Betapa perlawanan akan semakin membuatku lelah.
Betapa aku ingin menyudahi dan melepaskan saja, kamu.
Tapi ia tetap bersikukuh ingin memperjuangkan, ingin melawan, ingin melanjutkan, ingin memiliki, kamu.

Bila saja berlari akan terasa mudah, maka aku akan berlari.
Namun ia menuntutku untuk menghadapi.
Bila saja menyudahi akan terasa mudah, maka aku akan menyudahi.
Namun ia menuntunku untuk menyambung bagian demi bagian, merajut setiap kejadian, mengilhami.

Ada sejuta betapa dan aku tak tahu mengapa.
Kalau saja telah kudapati jawabnya, ada satu lagi betapa yang terlahir, yaitu betapa leganya.
Jiwaku hanya ingin menjiwai kamu.
Ah, betapa rasa bisa tumbuh sebegini liarnya.
Betapa ia tak tembus pandang, abstrak dan tak bisa dipegang.
Betapa ia bisa tumbuh hebat dan meracuni setiap detak waktuku yang menyatu bersama detak jantungku.
Betapa aku tak menguasai ia.
Betapa ia tak mudah dikendalikan olehku.

Iya, rasa ini... uncontrolled.

Rabu, 08 Oktober 2014

Surat yang Bukan untuk Kamu.

Siang ini kudapati kamu. Darimu kudapati perbincangan baru, ideologi baru, prinsip baru. Baru karena aku jarang menemuinya pada orang lain. Namun percayakah kamu? Bahwa aku berpikir kita serupa.

Kamu berbicara tentang kerja, peluang-peluang untuk menjadi sukses, dan bukannya seperti yang lain, yang mengharap untuk menjadi kuli pemerintah dan rela untuk melakukan segalanya demi itu. Kamu berjalan dalam sebuah ke-abnormalan, yang memilih untuk merantau ke arah barat demi menjadi ‘kuli’ lain yang berpotensi untuk segera membuat kantongmu penuh dengan pundi-pundi uang, untuk kemudian kembali pulang, di suatu waktu nanti. Dan aku tersenyum mendengarnya, sebab aku seperti merasa menemukan orang yang sama, sama-sama tak mau diikat dan ingin menemukan petualangan-petualangan baru.

Kali lain, kamu membicarakan politik, dan aku hanya menjadi pendengarmu, bertanya satu-dua, dengan batas kemampuanku. Makananmu adalah koran, dan makananku adalah nasi, itu beda kita. Sekali lagi, kamu abnormal, keabnormalan yang membuat orang normal ingin menjadi turut abnormal bersamamu.

Satu lagi. Kamu tahu? Ketika orang lain menanyai kita satu persatu tentang ‘kapan’? Lalu dia menebak bahwa aku akan menjadi yang pertama, sedang kamu yang kedua. Di saat itu pulalah aku berharap agar kita dipertemukan dalam satu waktu, hari yang sama, jam yang sama, menit yang sama, detik yang sama. Sama-sama mengucapkan ikrar untuk sehidup semati.

Aku tak secantik Ibunda Khumairoh, istri kesayangan Nabi Muhammad SAW. Tak setelaten dan se-serba bisa Mama, untuk Bapak-ku. Bahkan, aku tak pula sepintar Ibu Ainun yang bisa menyanding kegeniusan-mu Habibie-ku.

Tapi menyandingmu, walau hanya untuk beberapa saat. Kegugupan yang kurasa akan menyergapku saat menghadapimu seketika lenyap. Tak pula kurasakan debaran hebat, melainkan yang ada hanya rasa nyaman, damai, layaknya bertemu sahabat yang lebih dari sekedar sahabat.

Aku tak mengerti, tapi harapanku tumbuh liar bersama asaku membumbung membelah langit-langit rumah, menuju langit yang sebenarnya. Mendengarmu berbicara tentang berbagai hal, membaca prinsip-prinsip yang tersirat dari tiap apa yang kau bicarakan, kesigapan, kesiapan, kepercayaan yang ada bersamamu, dan keseluruhan elemen yang membentukmu membuatku hangat, lalu percaya...bahwa tumbuh menjadi tua bersamamu pun akan menjadi satu bagian impianku.

Kamu tak lagi seperti kanvas kosong. Kanvasmu itu telah ditorehi puluhan prinsip dan berbagai hal. Meski aku tak bisa menjanjikanmu bahwa aku akan meghiasi kanvasmu dengan yang manis-manis, tapi percayalah, aku akan menemanimu untuk menuntaskan lukisan dalam kanvas itu, dalam gelap dan terangmu, aku tahu untuk satu hal, bahwa aku tangguh untuk itu.

Menyandingmu dalam beberapa waktuku, membuatku seperti menemukan partner terhebat dalam berbincang. Mulai dari hal yang sepele, hingga yang genting sekalipun. Dari yang orang lain bicarakan, hingga yang orang lain tak sekalipun memikirkan. Dari yang orang lain memahami, hingga yang tak mereka pahami sekalipun. We’re in the same frequency.

Maka, jika aku boleh memohon, maka Allah, perbolehkan aku untuk yang kali ini, menjadi bertali dengannya. Menjadi penguat dan penambah hebatnya meski mungkin, sejatinya aku berkebalikan. Untuk kali ini, Allah, amini do’a salah satu ciptaan-Mu yang mulai lelah berlayar, dan tak sabar membuang sauh, berhenti pada sebuah tempat untuk berlabuh. Meski sejatinya, jikalaupun engkau mengkehendakiku untuk berlayar 50 hingga 100 tahun lagi, aku masih kuat. Namun sesungguhnya Allah, Yang Maha Kuat hanya Engkau dan aku tidak akan kuat untuk mendengar celoteh dunia terhadapku, pelayar yang tak kunjung mendapatkan tempat untuk berlabuh. Aku menuliskan rasaku pada benda ini Allah, dan tak menginginkan ia untuk membacanya...

Sungguh, surat ini bukan untuk kamu, bukan untuk kamu yang sebagai kamu saat ini. Suatu waktu nanti, bisa jadi kamu akan membacanya, karena aku yang akan membacakannya untukmu, maka, jikalaupun begitu, tersenyumlah. Jika tidak, maka, semoga kamu selalu berbahagia dengan yang lain. J

Selamat malam, kamu. Terimakasih untuk hari ini.