Selasa, 24 April 2012

Good Morning! :)

Selamat pagi! Selamat pagi untuk Bapak dan Mamah, yang aku tahu pagi ini sedang beraktivitas ditemani secangkir kopi. :) Selamat pagi kakak sulungku, 'Mbak Elly', yang pagi ini pun pasti sudah beraktivitas dan mengurus tiga kurcaci kecilku serta suaminya tersayang. Selamat pagi kakak keduaku, 'Mas Chalid', yang pagi ini, aku tahu, pasti masih tidur di huniannya tercinta, mengumpulkan tenaga baru untuk mencari nafkah jam 8 nanti dan tak jarang sampai malam. Selamat pagi kakak ketigaku, " Mas Taufiq" a.k.a "Mas Topik" a.k.a "Mas Petok" (hehe), yang pagi ini, mungkin, masih tidur juga di bumi Tanah abang. Selamat pagi kakak iparku yang tersayang, "Mas Rouf" dan "Mbak Diana". Selamat pagi juga tiga  kelima kurcaciku, "Rafa", "Abi", "Adyz", "Haidar" dan "Cindy". I have no words to say, but I have a thousand to write. Tapi kali ini bukan mau bermuluk-muluk nulis dengan kata-kata sok dramatis kok~ mehehe. I just wanna say thankyou, and love you guys. So much! :** 

Terimakasih Bapak dan Mamah, yang sudah jadi orangtua terhebat di dunia~ bagiku. :) Terimakasih kakak-kakakku, atas ajaran dan pengalaman hidup yang kalian turunkan kepadaku, baik secara tersurat maupun tersirat. Oh, saya suka jadi anak bungsu! Saya bisa belajar mengenai banyak hal dari kalian, dan ini sangat menolong. :) Terimakasih kakak-kakak iparku yang telah menjaga kakakku dan menjadi keluarga baruku. :) Terimakasih juga untuk ketiga kurcaci lucuku, yang sekaligus ~cerewet, bandel, gak bisa diatur, ngajak ribut, hahaha. You're my world! Kalo boleh milih, jangan cepet gede ya sayaaang *eh . Haha, enggak. Please grow up as a normally child. :) Belajar yang rajin, berbakti sama Abah, Ibuk, Ayah, Mama. Then, be extraordinary di dunia dan akhirat. :)) At last... Terimakasih, karena udah jadi keluarga yang baik, yang mau menerima aku bahkan meski dunia udah bosen sama aku. :') Really, you're my world. I wanna struggling because of you. My spirit, my passion, my hope, my treasure, my drugs and oh... MY EVERYTHING! You're the best ever! Love you love you love youuu, :*** :)))

Senin, 23 April 2012

Sebatang Kara

Sebatang kara,
aku tahu ini tak seberapa...
Bundaku di sana pasti lebih lelah di banding aku
Tapi tak pernah sedikitpun ia mengeluh
             Sebatang kara,
             aku tahu ini tak seberapa...
             Ayahku di sana pasti lebih letih dibanding aku
            Tapi tak pernah sedikitpun ia mengaduh
Sebatang kara,
Aku ini siapa?
Mengapa aku begitu ribut denganku dan tak menoleh ke arah mereka?
Ayah dan Bundaku yang bersahaja
Yang selalu menerimaku dengan tangan terbuka
Memberikan senyum terindah tanpa kuminta
Mengingatkan aku demi kebaikanku
Selalu memberi tanpa mengharap diberi...
              Sebatang kara,
              Bolehkan aku pulang?
              Aku ingin memeluk mereka
             Aku ingin bercerita banyak hal pada mereka
             Aku ingin berada di tengah mereka seperti kala aku kecil dulu
Tapi, tunggu...
Sebatang kara, batalkan saja
Aku tak apa menjadi engkau
Buat apa aku pulang jika aku belum menyelesaikan apa yang aku mulai
Tidak!
Aku rela menjadi engkau, sebatang kara..
Asal suatu hari nanti aku bisa menebus rasa lelah dan letih mereka
Ya... sebentar lagi...
Ketika waktunya tiba nanti, lepaskan aku ya, sebatang kara...
Aku ingin pulang ke pelukan Ayah dan Bundaku dan membangun cita dan cinta yang lebih besar lagi
Untuk mereka, demi mereka, Ayahanda dan Bunda tercinta...

Ayahanda Fanani dan Bunda Chusnul Chotimah-ku :)

Minggu, 22 April 2012

The Most Beautiful Star, :) Part II


Sejam kemudian di ruang tunggu…
            “Krieet…Cklek,” terdengar suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali.
Itu pasti suara pintu ruang periksa. Silvi sudah selesai diperiksa, dan dia tidak keluar sendiri. Terdengar ada langkah kaki lain, oh, mungkin suster Reni.
            “Kak Wanda, “ panggilnya.
            “Iya sayang, “ jawabku tersenyum.
            “Aku nggak sendiri nih Kak, hehe.”
            “Iya, kakak tau. Siapa yang di samping kamu? Suster Reni?,” tanyaku.
            “Bukan Kak, ini Kakak Dokter,” ucapnya.
Dokter itu tak bergeming, tak berucap sepatah kata pun.
            “Dokter, perkenalkan, saya Wanda Dianesty dari Yayasan Harapan Kasih, saya yang bertugas mendampingi Silvi,” ucapku.
Dokter itu tetap tak bergeming.
            “Ehm.. Dokter?,” aku memanggilnya.
            “Dokter Keeny? Kok diem?,” Tanya Silvi.
Aku terkesiap.
            “Dok…ter… Kee..ny..?,” aku meracau.
Dokter itu memegang telapak tanganku. Tangannya hangat. Aku bisa merasakannya. Itu tangan yang sama. Telapak tangan hangat yang sama milik Keeny.
            “Wanda, apa kabar?,” tanyanya. 
Ya… Dia Keeny, Keeny Alvaro. Cinta pertamaku dan satu-satunya.
            “Keeny? Kamu? Dokter.. mata? ,” tanyaku.
            “Yah...begitulah Wanda.”
            “Bukannya daridulu kamu nggak mau nerusin jejak Ayahmu? Dokter Raihan?”
Aku tahu dia sedang tersenyum sekarang.
            “Yah, semua bisa berubah bukan? Sayang, ikut suster Reni sebentar ya, kakak mau ngomong sama kakak cantik kamu,” ucapnya pada Silvi.
            “Iya Kak..,” jawab Silvi.
Terdengar ada sepasang langkah kaki menghampiri kami, kemudian bertambah sepasang lagi, dan keduanya melangkah menjauh. Kini, tinggal aku dan Keeny.
            “Kenapa? Kenapa kamu berubah pikiran? Dan… dan… Dokter mata..?”
            “Demi kamu Wanda, demi kamu yang gagal aku lindungi. Demi kamu, demi kamu yang gagal kumiliki. Dan… demi kamu,  yang masih aku cintai…, ” jawabnya.
            “Keeny… Kamu tidak pernah gagal dalam melindungi aku. Dan kamu tidak perlu melakukan semua itu demi aku. Kamu tahu? Aku sudah bahagia dengan hidupku saat ini. Bisa memberi sesuatu untuk orang lain, bisa memotivasi… Itu cukup. Jangan pernah merasa bersalah Keeny. Dan lagi, sudahilah cintamu untukku itu. Kamu harus mencari orang lain, yang lebih pantas untuk kamu, yang bisa memberikan kehidupan yang normal untuk kamu…”
            “Tidak Wanda, hidupku tidak akan pernah berjalan normal tanpa kamu. Kamu tahu itu. Dan, oh.. ayolah. Tidak bisakah kamu jujur terhadap perasaanmu sendiri? Kamu masih mencintai aku bukan? Daridulu, cuma aku yang kamu cintai, iya kan?”
Aku tersenyum kecut.
            “Darimana datangnya pikiran seperti itu? Aku? Aku sudah.. sudah..,” suaraku tercekat, namun dengan nada yang lebih rendah lagi, kucoba untuk melanjutkan, “aku sudah.. tidak mencintai kamu lagi..”
            “Kucel, kamu bo..”
Sebelum dia meneruskan kata-katanya, buru-buru aku menyela, “Sudahlah Keeny, ah, ma’af, dokter Keeny. Terimalah ini, Anda tidak lagi perlu bersusah payah untuk memikirkan saya… Saya baik-baik saja, tanpa Andapun, sama. Anda berhak untuk mendapatkan yang lebih dari saya dokter. Jadi.. saya mohon, sudahilah menyiksa diri Anda sendiri. ”
 Keeny diam, tak bergerak. Aku pun tak bergeming. Dan sebelum dia berkata-kata lagi, aku memutuskan untuk menjadi pihak yang pertama kali pergi. Kutinggalkan ia dengan mengucap empat patah kata, “ Ma’af… Selamat tinggal, Keeny...”
Rasanya pedih. Ya, dia laki-laki yang pertama dan satu-satunya yang aku cintai. Sampai sekarangpun masih. Namun, sudahlah… Dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa menjamin kebahagiaannya. Dia pantas untuk mendapatkan yang terbaik, dan itu bukan aku. Wanita buta, yang tentu, akan menjadi beban baginya.
***
Seminggu kemudian…
Semenjak pertemuanku dengannya di rumah sakit, aku tidak lagi mendengar kabar tentang dia. Mungkin dia sudah menyerah, dan oh.. semoga begitu. Biarlah… aku tak apa. Bukankah memang cinta itu tidak harus memiliki? Dan aku mau merelakannya hanya untuk melihat ia bahagia. Bukankah seperti ini harusnya cinta? Dan ya… pikiran ini yang aku peluk sampai detik ini, sebelum mereka datang menemuiku…
“Tok…tok…tok…,” terdengar suara pintu secara pelan diketuk.
Entah siapa yang datang. Pasti sekarang Bik Inah menghampiri pintu depan. Semenjak jadi relawan bagi penyandang tuna netra dan tinggal di Surabaya, aku hanya tinggal berdua dengan Bik Inah. Mama dan Papa masih di Bogor, aku tidak membolehkan mereka untuk turut pindah ke Surabaya hanya untuk aku. Aku pasti bisa dan akan terbiasa, mereka tidak boleh terlalu mengkhawatirkan aku.
            “Jeng, wonten tiang madosi panjenengan. Bapak-bapak kaliyan ibuk-ibuk, sampun kulo utus mlebet teng ndalem...”* (re: Mbak, ada orang yang mencari. Bapak-bapak sama Ibu-ibu, sudah saya suruh masuk ke dalam.) Ucapan Bik  Inah yang berbicara dalam bahasa Jawa halus menyadarkanku.
            “Oh, iya Bik. Habis ini aku ke depan,” jawabku yang mengerti bahasa Jawa tapi tidak bisa mempraktekkannya. Akupun berjalan ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku menyapa kedua tamuku.
            “Selamat siang… Emm… Ma’af, dengan siapa ya?,” tanyaku ragu.
Salah satu tamu datang menghampiriku dan memegang tanganku, mengajak bersalaman.
            “Nak Wanda.. masih ingat dengan tante?,” tanya tamu itu.
Deg! Suara ini…
            “I..iya… tante… saya gak mungkin lupa sama Tante. Dateng sama Om Raihan ya Tan?, “ tanyaku pada tamu itu, Tante Maya, mamanya Kenny.
Tamu satunya, yang ternyata benar Om Raihan, menjawab,” Iya Wanda, ini saya. Apa kabar?”
            “Baik Om…Gimana dengan Tante dan Om Sendiri? Dan, mmm… ada keperluan apa ya dengan saya?”
            “Kami juga baik Nak. Dan keperluan kami dating kemari… Karena ada yang kondisinya sedang tidak baik...,” jawab Om Raihan.
Deg! Yang kedua kali.
            “Ehm…Si..siapa Om..?,” tanyaku, sedikit khawatir.
            “Keeny…,” sahut Tante Maya.
Kedua orangtua Keeny menyampaikan maksud kedatangannya padaku. Mereka menceritakan keadaan Keeny yang membuat mereka khawatir. Keeny sedang dalam keadaan yang tidak baik. Namun bukan secara fisik, tapi psikis. Dari luar mungkin dia kelihatan baik-baik saja. Tapi Tante Maya dan Om Raihan tahu, ada yang salah dengan anaknya mereka. Sudah semingguan ini Keeny jarang pulang ke rumah. Dia menghabiskan waktunya di rumah sakit tempat ia bekerja. Waktu libur di hari Sabtu dan Minggu pun tidak ia ambil. Kata orang rumah sakit kenalan Papa Keeny, katanya anaknya ini menawarkan diri untuk mengambil jatah shift dokter lain yang sedang mengambil cuti. Keeny sudah dilarang oleh Papanya, karena jelas, kelelahan akan meningkatkan risiko kesalahan tindakan yang mungkin terjadi pada pasien dan ini berbahaya.
“Kami sudah menanyakan mengenai alasan Keeny melakukan itu Nak Wanda… Tapi dia tidak mau memberitahukannya kepada kami…Dan bahkan… ia merencanakan untuk menjadi relawan ke daerah endemis di Afrika…,” lanjut Tante Maya.
“Dan…dan.. hubungannya sama saya apa ya Om, Tante? Saya kan…”
Om Raihan tampaknya sudah mengerti dengan kesangsianku.
            “Kami tau Nak Wanda, kalian sudah tidak ada hubungan lagi semenjak empat tahun yang lalu… Tapi kami juga tau seberapa besar rasa sayang Keeny ke Nak Wanda. Dia tidak pernah, sedikitpun, berniat untuk benar-benar meninggalkan Nak Wanda. Dan kami yakin, sampai detik ini pun masih sama,” ucap Om Raihan.
Aku tak bergeming. Tenggorokanku tercekat, tak tahu harus menjawab apa. Aku juga sama, tapi… disini kondisinya…
            “Tolong difikirkan kembali ya Nak Wanda, bukannya kami melarang Keeny untuk menjadi relawan di Afrika, tapi kan Nak Wanda tahu sendiri kalau Keeny adalah anak kami satu-satunya. Kami akan sangat berterimakasih jika Nak Wanda mau membantu kami untuk menasihati Keeny,” ujar Tante Maya.
Sekali lagi aku tercekat.
            “Dan kami akan senang sekali kalau Nak Wanda mau menerima Keeny kembali. Kami sangat tidak keberatan dengan kondisi fisik Nak Wanda. Dan kami cukup tahu seberapa seriusnya Keeny kepada Nak Wanda, tolong difikirkan ya…”sahut Om Raihan.
Aku masih tercekat. Tapi di sini aku cukup sadar bahwa aku harus menjawab.
            “Ta..tapi, Tante.. Om.. sa…saya…”
Belum selesai aku menjawab, Tante Maya memelukku. Aku bisa merasakan perasaannya yang merambat perlahan ke ulu hatiku melalui sentuhan kulit itu. Lama-lama aku luluh juga… Tidak tega pada kedua orangtua Keeny yang baik ini. Kemudian aku melepaskan diri dari pelukan Tante Maya.
            “Baiklah Tante… akan saya coba… Tapi untuk masalah menerima kembali Keeny atau tidak, ma’af… saya belum bisa memastikan, “jawabku akhirnya.
***
Keesokan harinya…

            Pagi ini aku mendatangi sebuah kafe di daerah Basuki Rahmat. Kedai kopi tepatnya. Aku menghampiri sesosok laki-laki yang duduk di bangku dekat kaca yang menghadap ke jalan raya. Ya, dia… Keeny. Menurut suster Reni, ini tempat favoritnya. Dan aku tahu, semenjak dulu Keeny suka sekali minum kopi. Cukup menghilangkan stress katanya. Oh, dasar laki-laki… Dan sekarang aku sudah berada di dekatnya, aku merasakan kehadirannya.
            “Dokter Keeny…,” panggilku.
Aku bisa merasakan ada gerakan dari sesosok tubuh di hadapanku itu. Dia menoleh ke arahku.
            “Wanda?,” ucapnya dengan nada sedikit ragu.
            “Iya, aku,” jawabku.
            “Ada apa?,”tanyanya.
Aku menghela nafas.
            “Boleh aku duduk di sini?”
Dia diam sejenak.
            “Ya, tentu saja. Silahkan,”jawabnya sambil berdiri dan menata kursi di sebelahnya untukku.
Aku duduk di sebelahnya. Diam untuk beberapa saat. Bingung bagaimana memulainya, sampai dia yang memulai duluan.
            “Ada apa menemuiku?,” tanyanya sekali lagi.
Aku pun menghela nafas sekali lagi. Dan perlahan, kuutarakan maksud kedatanganku menemuinya.
            “Kudengar, kamu mau pergi ke Afrika, benar?,” tanyaku.
Kali ini dia yang menghela nafas.
            “Kalau iya, apa urusanmu?,” dia balik bertanya dengan nada sedikit tidak enak.
Aku memakluminya. Kata-kataku seminggu yang lalu itu pasti menyakitinya.
            “Ma’af… aku bukan bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi kemarin kedua orangtuamu menemuiku dokter,” aku mencoba menjelaskan.
            “Mama? Papa? Mereka…”
            “Iya, mereka keberatan kamu pergi ke Afrika. Dan kamu juga paham kenapa kan?”
Dia menghela nafas sekali lagi.
            “Iya…,“ jawabnya.
            “Dan bukan itu saja, mereka mengkhawatirkanmu yang nekat mengambil shift full di rumah sakit. Kenapa? “
            “Kenapa apanya?,” tanyanya pura-pura bodoh.
            “Alasannya,” jawabku ketus.
            “Kamu masih menanyakan itu, huh?,” dia balik bertanya.
Giliranku yang menghela nafas.
            “Kamu tahu posisiku. Kamu tahu aku ini hanya…”
Dia menyela ucapanku.
            “Aku tidak peduli seperti apa kamu sekarang. Aku hanya butuh kejujuran. Bagaimana perasaanmu padaku, hanya itu, tidak lebih.”
            “Tapi aku peduli dengan seperti apa aku sekarang. Aku..aku..,” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Pertahanan airmataku jebol begitu saja.
Dia sedikit mencibirku.
            “Eheh… Airmatamu ini sudah menjawab pertanyaanku. Kamu tidak perlu lagi berbohong untuk menutup-nutupi perasaanmu,” ucapnya. Diraihnya pundakku perlahan, dan diusap-usapnya rambutku dengan lembut.
            “Dok..dokter..,” aku masih sesenggukan.
            “Apa Kucel? Masih mau sok jaim-jaiman, huh?,” tanyanya sambil memencet hidungku.
            “Stop dokter Keenyy,” aku melepaskan diri dari dia. “A, aku tidak..”
            “Apa? Masih mau bilang tidak bisa?,”dia menghentikan kejahilannya.
Aku merasakan ada sepasang mata yang menatapku tajam.
            “Dengar Wanda Dianesty, sekali lagi, kamu hanya perlu jujur akan perasaanmu. Stop berfikir tentang kelemahanmu karena demi Tuhan, aku tidak pernah keberatan untuk menerima kekuranganmu.”
Aku terdiam. Tak menjawab.
            “Dan kamu tau? Itu justru letak kelebihanmu dibanding wanita-wanita lain,” ujarnya.
Aku tertegun, heran. “Eh, kok bisa?”
Aku bisa merasakannya sedang tersenyum.
            “Ya karena dengan begini, kamu hanya akan melihatku sebagai duniamu. Pakailah mataku untuk melihat dunia, aku akan menuntunmu kemanapun kamu pergi. Aku akan menemani kamu, menggambarkan warna dan bentuk dunia, dimanapun, dan kapanpun kamu memintaku.”
Aku tersenyum.
            “Ah, gombal…,” ucapku sambil berlagak memukulnya, pelan.
            “Eh, pake gak percaya.Susah tahu bikin gombalan kayak gitu. Empat tahun tuh bikinnya,” ucapnya berlagak marah.
Aku tertawa.
            “Ssst.. sekarang aku mau nanya serius. Kamu masih sayang aku?,” tanyanya, sekarang tanpa bercanda.
Aku terdiam. Kemudian tersenyum.
            “ Iya, dari awal, kamu tidak pernah tergantikan. Aku sayang kamu,” jawabku.
Kini kami berdua tersenyum. Bersamaan dengan itu, waitress mengantarkan secangkir kopi lagi untukku. Kopi yang pagi ini rasanya manis dan hangat, semanis dan sehangat hubungan kami.
***

            “Bintang, kini aku tahu. Kamu tidak perlu menjatuhkan dirimu meski kamu tidak lagi bisa se-bersinar yang dulu. Mengapa? Karena Tuhan pasti punya alasan tersendiri untuk tidak memutuskan menjatuhkanmu seketika. Mungkin, ada bintang lain, yang jauh di sana, yang masih menunggu kamu untuk berorbit di dekatnya dan mampu membuatmu bersinar kembali. Dan bagiku, bintang itu, kamu. The most beautiful star I ever have. “ J


THE END

Sabtu, 21 April 2012

The Most Beautiful Star , :) PART I


Bintang, pernahkah engkau jatuh dengan kemauanmu sendiri? Bintang… Akankah engkau tetap bersikeras untuk tetap bertahan di langit, meski cahayamu telah padam di suatu waktu nanti? Bukankah hidup kita tidak akan bermakna jika kita tidak mampu memberi? Masihkah engkau akan mempertahankan hidupmu, jika engkau tak bisa memberi manfaat untuk alam semesta ini…?Bintang, aku ingin.. aku ingin menjatuhkan diriku agar aku tidak lagi membebani mereka jika aku sudah tidak lagi bisa memberi manfaat, seperti saat ini…”
***
            Bogor, 9 Februari 2008
“Wanda…”
            Terdengar suara lembutnya memanggilku. Aku tahu suara siapa itu, ya, aku hafal suara lembut itu dan tidak akan mungkin melupakannya. Mama…
            “Tok…tok..tok…,” diketuknya pintu kamarku.
            “Keluar Nak… Keeny sudah menunggu kamu sejak sejam yang lalu..,” ucapnya.
Aku tak bergeming. Sudah sejak sebulan yang lalu aku dipanggil dengan alasan yang sama, dan sebulan itu juga aku tidak menjawab apa-apa. Keeny.. Dia cinta pertamaku sejak aku duduk di bangku SMA. Dia juga pacar pertamaku dan satu-satunya, sampai dua bulan yang lalu, saat kecelakaan itu merenggut penglihatanku, dia masih jadi pacarku. Ya… Sekarang aku buta, buta permanen. Aku tak lagi bisa melihat indahnya warna-warni dunia… Ah, rasanya aku ingin mati saja daripada tidak bisa melihat seperti ini… Aku ingin mati saja jika aku akan membebani orang-orang yang kusayangi…
Aku masih mencintai Keeny… Sangat  mencintainya. Tapi aku tidak mau jadi beban untuknya. Dia berhak mendapatkan hidup normalnya, dia berhak mendapatkan kekasih yang normal. Bukan aku. Bukan seorang tuna netra seperti aku. Meski dia tidak pernah menyatakan keberatannya untuk tetap jadi kekasihku, tapi aku tidak bisa… Aku tidak bisa jadi beban dan memburamkan masa depannya…
“Ma’af Keeny…, aku bukan lagi aku yang dulu…,” ucapku lirih.
***
Keesokan harinya…
“Kucel, buka pintu, aku mohon… Sekali saja….”
Aku terkesiap. Bukan Mama… Keeny, ya… Itu panggilan dari Kribo-ku…Oh, bukan, dia bukan lagi Kribo-ku…Sakit sekali rasanya… Dia berada di depan pintu, dan aku tidak akan membukakan pintu itu untuknya. Aku tidak lagi bisa melihat wajahnya… Senyumnya… Senyum Kribo-ku yang dulu…
            “Wanda Dianesty! Please… Beri aku kesempatan, kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri kan Kucel? Kamu masih mencintai aku kan? Kamu masih, tetap dan akan selalu jadi Kucel-ku sampai kapanpun. Please, Kucel-ku…”
Air mataku terjatuh. Aku merindukan panggilan itu, aku merindukan suaranya, aku rindu semua tentang dia. Dan aku tidak bisa membiarkannya memohon seperti itu padaku… Aku tau, cepat atau lambat, aku harus memberi jawaban padanya. Mungkin… Sekali ini, dan untuk terakhir kalinya.
            “Klik.. Krieet…,”suara pintu kamarku yang sedang aku buka.
Aku bisa merasakannya berdiri di balik pintu itu dan segera menyongsongku. Diberikannya sebuah pelukan hangat, yang mungkin merupakan pelukan terakhirnya untukku…
“Akhirnya kamu mau menemuiku juga, Kucel. Tega yaa kamu,” ucapnya.
“Keeny…,” panggilku sambil melepaskan pelukannya.
“Apa? Keeny? Kamu nggak kangen sama aku, Kucel?,”tanyanya dengan nada sedih.
Aku bisa merasakan airmatanya terjatuh, membasahi telapak tanganku yang sedang di pegangnya. Kulepaskan telapak tanganku dari genggamannya, dan kuraba wajahnya. Kucoba untuk mencari sumber airmata itu, lalu kuusap perlahan. Aku tersenyum padanya, senyum getir.
            “Jangan nangis ya Kribo… Jangan nangis lagi untuk aku. Dan jangan lagi membuang waktumu untuk menunggu aku mau menemuimu, Kribo…”
            “Kucel, kamu bercanda kan? Kamu nggak serius kan? Kamu masih sayang aku kan?”
Aku tersenyum lagi.
            “Kamu bisa ngeliat aku yang sekarang kan? Aku nggak pantas buat kamu Kribo, aku akan cuma jadi bebanmu…Aku nggak mau jadi beban…Aku nggak bisa…”
            “Kamu salah, kamu bukan beban buat aku. Kamu sinarku, bintangku. Segalanya buat aku. Kamu tau itu…”
            “Terima kasih Kribo, tapi kamu nggak akan pernah tau apa yang akan terjadi nanti. Aku nggak bisa jadi penghalang untukmu, beban, enggak Kribo…”
            “Kucel, kamu sa…”
Aku memotong perkataannya.
“Ssst… Cukup Kribo, ini terakhir kalinya aku memohon. Please… Jalani hidup kamu tanpa aku. Aku yakin kamu bisa dan akan terbiasa. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik dari aku yang hanya akan menjadi beban bagimu. Please, I beg you…“
            “Kucel…”
            “Please… Jangan buang waktumu demi aku ya…”
***
            Surabaya, 6 Januari 2012
Empat tahun kemudian di suatu Rumah Sakit…
            “Jangan pernah menyerah ya sayang, meski kita tidak berfisik sempurna, tapi percayalah, kita masih bisa mewujudkan impian kita. Kakak tahu, ini tidak mudah, kakak juga pernah mengalami kekecewaan ini,” ucapku sambil tersenyum.      
            “Gimana caranya kak Wanda?,” tanya anak perempuan berusia tujuh tahun itu.
            “Percaya saja cantik, Tuhan tidak menciptakanmu dan menetapkan takdir untukmu, apapun itu, tanpa suatu alasan. Mau contoh?”
             “Apa kak contohnya?”
            “Ya kakak ini dong. Hahaa.. Kalo kakak nggak buta, ya mungkin kakak nggak akan bisa ngasih semangat ke kamu,” ujarku tertawa.
            “Ah, kakak… Iya sih, kalo kakak nggak buta, mana mungkin kakak mau ada di sini nemenin aku, dan sama sih kak, kalo aku nggak buta, mungkin aku nggak akan ketemu sama orang yang baik hati seperti Kak Wanda, hehee. “
            “Hahaha, bisa aja kamu… Udah, sekarang waktunya kamu diperiksa tuh, cepetan masuk ke ruang dokter Ibran ya cantik, udah dijemput sama suster Reni tuh, “ ucapku.
            “Lho, kakak  nggak tau? Dokter Ibran seminggu yang lalu udah nggak kerja di Rumah Sakit ini kak. Digantiin sama kakak dokter, hehee.”
            “Oh ya? Kakak nggak tau Sil, kan udah dua mingguan ini kakak nggak ngejenguk kamu. Wah, salam aja buat dokter yang baru. Eh, kakak dokter? Ya udah deh siapa aja panggilannya, cepet masuk sana. Kakak tunggu di sini ya…”
            “Oke kak, ntar ya, aku kenalin sama kakak dokternya,” ucapnya sambil melenggang pergi. Lalu terdengarlah suara pintu yang dibuka, lalu ditutup kembali.
            “Kakak dokter?,” tanyaku di dalam hati.
***
Di dalam ruang periksa…
            “Hai Silvi cantik, apa kabar?,” tanya sang dokter pada anak perempuan berusia tujuh tahun tadi.
            “Baik kakak dokter…ehmm kakak dokter siapa ya namanya?,” dia bertanya balik.
“Ih, mau tau ajaa, hehee. Kenapa emangnya? Naksir sama kakak? Hehee,”
 ujar si dokter, jahil.
            “Yee, Silvi kan masih kecil kakak dokter, “ jawab Silvi sambil menjulurkan lidah.
            “Lho, lha terus?,” tanya dokter itu lagi, berpura-pura ingin tahu.
            “Kakak dokter mau aku kenalin sama Kakak Cantikku gak nih?”
            “Oh ya? Kakak Cantik? Hmm… Boleh doong,” jawab dokter tersebut sambil tersenyum geli.
            “Kalo gitu… Sebutin nama kakak Dokter duluu doong,” ujarnya puas.
            “Keeny, cantik.. Keeny Alvaro.”


*To be Continue, :p