Jumat, 19 Desember 2014

Hujan, Genangan, dan Kenangan

Tentang dia yang akhir-akhir ini meracuni otak. Sudah kali yang keberapa? Entahlah.. Bukannya dulu tak punya rasa, hanya saja, belum sekuat ini. Kata orang, hujan selalu meresonansi kenangan. Hujan sebagai media. Hujan sebagai perantara antara masa lalu dan masa kini. Mungkin itu benar adanya. Sama halnya dengan malam ini, Kamis, 18 Desember 2014. Hujan yang datang di kala senja dengan derasnya, ikut memanggil kenangan-kenangan di kala itu.
Umurku masih 16 tahun mungkin, saat kami, aku dan Abimanyu Setiayuhadi, ditakdirkan untuk menjadi teman sekelas di kelas XI IPA 5. Awalnya tidak ada yang khusus, semua berjalan biasa saja. Akupun juga hanya mengamati dia sebatas teman sekelas melalui cara yang sama seperti aku yang mengamati teman yang lain. Memang, dia tidak begitu mencolok. Sering menghilang di kala jam kosong atau jam bebas saat istirahat malah. Tapi aku yakin, itu karena kegiatannya di SKI, atau Seksi Kerohanian Islam, ekstakurikuler yang, yah... tidak perlu dijelaskan di sini bukan? Iya, dia memang aktif dalam kegiatan remaja masjid di sekolahku waktu itu. Ya begitulah, kami tidak terlalu dekat saat di awal-awal kelas sebelas karena aku lebih sering menghabiskan waktu di kelas, bahkan tidak mengikuti ekstrakurikuler sama sekali, sedangkan dia? Sebaliknya.
Tapi, meskipun begitu, dia tergolong anak yang rajin di kelas. Apalagi jika dilihat kalau ia seorang siswa laki-laki. Biasanya sih, kebanyakan siswa laki-laki sering datang telat, atau menganggap tidak masuk sekolah itu biasa. Berbeda dengan dia. Aku tidak pernah melihat dia datang terlambat, bahkan, dia sering datang lebih dulu daripada aku. Padahal, aku tahu, jarak rumahnya dengan sekolah cukup jauh dan memakan waktu. Mungkin, dia tidak bermasalah dengan waktu dan sudah terbiasa bangun serta berangkat pagi buta. Selain rajin datang tepat waktu, dia juga pandai sekali mengolah tehnik bicaranya di depan kelas, komunikatif. Sudah berbakat jadi public speaker mungkin. Dan, aku ingat, saat pelajaran sejarah, dia selalu lebih tahu daripada aku. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, wajar jika pengetahuan tentang politiknya lebih baik daripada aku, ataupun anak lain seumuran kami. Yang terakhir, dia jago sekali mengasah otak di ilmu eksak. Matematika dan fisika, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya. Padahal bagiku, kedua mata pelajaran itu adalah musuh besar. Otakku selalu gagal mengolah rumus-rumus dengan baik, entah kenapa. Aku selalu meng-iri-i dia saat ujian matematika ataupun fisika, sebab, tampaknya tanpa belajarpun dia sudah bisa meraih nilai yang bagus. Aku? Jangan harap mendapat nilai bagus jika tanpa latihan. Itu sebuah kemustahilan.
Kemudian kami menjadi dekat saat teman sebangku kami memutuskan untuk 'jadian'. Kami jadi sering duduk dengan posisi depan-belakang. Tapi anehnya, posisi duduk seperti itu membuat kami menjadi sering berdebat. Terkadang, malah menjadi sering bersaing. Entahlah, kata teman kami: kami sama-sama berkepala-batunya. Karena itulah, pada akhirnya, teman-teman sering mengolok kami dan menyuruh kami untuk jadian. Mana mungkin, pikirku waktu itu. 
Hubungan kami bahkan sempat merenggang. Aku sempat marah sekali pada Abi yang sering memanggilku dengan panggilan menyebalkan: Monyet! Kami sempat tidak berbicara berhari-hari, dan aku tidak menyapa serta menghindarinya. Dia tahu aku marah, sangat tahu. Hingga.. suatu malam dia mengirim pesan kecil untukku yang isinya: permohonan maaf. Tapi, pesan permohonan maaf itu isinya aneh. Dia tidak langsung mengutarakan permohonan maafnya padaku, tapi membuat sebuah pertanyaan. 
Tanyanya,"Apakah seseorang yang telah membuat kesal orang lain masih bisa dimaafkan?" 
Saat membaca pesan itu, aku tertawa. Aku sebenarnya sudah memaafkannya, bahkan merasa bersalah atas sikapku. 
"Ya, tentu saja," setelah lama berpikir, akhirnya hanya pesan ini yang aku kirimkan padanya.
Pesan balasannyapun kembali masuk, "Bagaimana caranya?"
"Tinggal minta maaf aja, beres," balasku.
"Apakah aku akan dimaafkan?" tanyanya lagi.
"Tentu, asalkan kamu tulus dan tidak mengulangi perbuatan yang sama," jawabku.
"Kalau gitu, aku minta maaf."
Aku tersenyum lagi.
"Hahaha, sebenarnya sudah lama kumaafkan. Aku minta maaf juga ya."
"Terimakasih :)," balasan terakhirnya, menutup percakapan kami lewat pesan.
 Saat itu kami sudah duduk di bangku kelas XII. Tak lama kemudian, kami harus menghadapi Ujian Akhir Nasional, dan segala macam ujian kelulusan. Hingga tibalah saatnya kami harus menentukan apakah kami harus melanjutkan pendidikan atau mungkin, bekerja? Kami menjadi sibuk dengan pemberkasan dan berbagai ujian masuk perguruan tinggi. Iya, aku dan dia sama-sama memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Kami sempat beberapa kali gagal mengikuti ujian masuk. Hingga akhirnya, terdengar kabar bahwa dia diterima di salah satu Institut Teknologi Negeri di kota Surabaya, jurusan Teknologi Informasi. Mungkin itu adalah salah satu impiannya, karena memang, semasa sekolahpun dia ahli urusan pemrograman, desain, dan tetek bengek yang berurusan dengan teknologi. Sedangkan aku? Gaptek, gagap teknologi. Dengan diterimanya dia di Institut tersebut, gugurlah keharusannya untuk berebut kursi dengan ribuan calon mahasiswa lain saat SNMPTN. Berbeda denganku yang saat itu belum diterima dimanapun, aku kemudian bertanya-tanya tentang probabilitas diterima di perguruan tinggi jika dilihat dari kuota serta passing grade. Aku ingin sekali masuk Kedokteran. Namun karena tidak yakin dengan kemampuanku, aku memilih Fakultas tersebut pada universitas dengan passing grade terendah di pilihan pertamaku untuk SNMPTN, meskipun kotanya jauh. Sedangkan pilihan keduaku, kujatuhkan pada jurusan Kesehatan Masyarakat di sebuah universitas negeri di kota Surabaya. Itupun setelah aku berdiskusi dengan banyak orang, termasuk dengan Abi. 
Setelah tiba waktu pengumuman, Abi bertanya tentang hasil ujianku. Saat itu aku sendiri bahkan belum melihat hasil ujian, hingga saat dia bertanya, aku tidak bisa memberikan jawaban. Koneksi internet di daerahku memang masih belum begitu baik, sehingga aku belum bisa mengakses pengumuman SNMPTN. Tapi, selain koneksi yang tidak baik itu, akupun juga sedikit takut untuk melihat pengumuman. Maka, ketika Abi menanyakan nomor pesertaku agar bisa melihat hasil pengumuman, aku memberikannya dengan sedikit pesan,"Jangan beritahukan hasilnya padaku dulu ya." Lalu dia menyetujuinya.
Tak lama kemudian, ada sebuah pesan masuk lagi, dari Abi.
"Selamat, kamu diterima di Kedokteran Tanaman."
Aku merutuki Abi. Berita buruknya, dengan membaca pesan itu, aku jadi tahu, bahwa aku tidak diterima di jurusan Kedoteran. Namun, berita baiknya, meski tidak diterima di Kedokteran, aku pasti diterima di pilihan keduaku. Aku yakin, sebab Abi tidak akan mungkin setega itu, memberi selamat saat aku tidak berhasil. Tak apa bagiku, sebab, sebenarnya jika melihat dari soal SNMPTN yang diberikan, diterima saja sudah alhamdulillah. Dan ternyata benar, aku diterima di jurusan Kesehatan Masyarakat, pilihan keduaku. 
Begitulah, akhirnya kami sama-sama menjadi mahasiswa di dua perguruan tinggi negeri yang berbeda di kota Surabaya. Namun, mulai saat itu juga, intensitas komunikasi kami berkurang. Aku sibuk dengan dunia kuliahku, dan diapun begitu.
Semuanya berjalan begitu saja setelahnya, aku bahkan sudah berhasil tidak memikirkan Abi lagi. Dan Abi, yang sedari awal mungkin tidak pernah memikirkanku, jadi semakin tidak memperdulikanku. Beberapa komunikasi dengannya terjalin lagi di waktu-waktu tertentu. Terutama saat aku yang gaptek, membutuhkan bantuan untuk mencari tahu tentang program komputer dan sebagainya. Ya begitulah, komunikasi terjadi dengan aku yang menghubunginya terlebih dahulu. Artinya? Dia memang sama sekali tidak pernah memikirkanku. Meskipun begitu, aku tidak ambil pusing karena yah.. aku menganggap bahwa memang tidak mungkin kami menjadi lebih dari sekedar teman. Hingga... datanglah hari dimana aku merubah mindset-ku dan mulai berharap padanya. Diawali dari peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Kami yang berasal dari kota Kediri menjadi was-was saat itu, dan jadilah berkirim kabar satu sama lain. Tapi seingatku, hanya dia yang tiba-tiba mengirim pesan padaku,"Rumah aman?" Ya, menanyakan kondisi rumahku. Bagaimanapun, terimakasih untuk itu. Sebab, saat itu aku khawatir dengan kondisi rumah dan sedang ingin berbagi, lalu dia hadir dengan begitu saja. Kebetulan? Jika memang hanya kebetulan, itu adalah sebuah kebetulan yang menyenangkan sekaligus melegakan.
Aku sering sekali mencari-cari bahan perbincangan dengannya. Kadang-kadang perbincangan kami menjadi 'hidup'. Tidak selalu aku yang bertanya dan dia menjawab lagi, melainkan saling tanya jawab. Herannya, dia selalu menanyaiku tentang sesuatu yang sedang membuatku khawatir. Seperti misalnya, tentang pengerjaan tugas akhir. Seketika itu pula aku langsung mengeluh padanya, lalu jawabnya cuma, "Tenang, dipikir santai saja." Jawaban yang pendek dan menyebalkan sekali memang, jika belum mengenal dia. Tapi kami sudah mengenal tidak hanya sebulan dua bulan saja, jadi aku sudah dengan begitu saja meyakini bahwa niatnya baik. Kali lain, aku bertanya tentang kandidat calon presiden karena akan diadakan pemilihan umum untuk pemimpin nomor satu Indonesia. Saat itu media memang sedang tidak bisa dipercaya, cenderung saling menjatuhkan malah. Perdebatan terjadi di mana-mana. Aku mengeluh padanya bahwa aku sudah memiliki pilihan tapi menjadi bingung dengan perdebatan di berbagai media, dan dia hanya bilang," Tenang, kalau masih ragu, ikuti Kyai-mu. Karena penerus Nabi itu ulama. Perdebatan itu terjadi karena masing-masing dari mereka menganggap kalau calonnya adalah Nabi." Jawaban yang bagus, meskipun bukan jawaban pasti. Bukan tak beralasan aku bertanya pada dia, sebab, sudah sedari SMA aku melihatnya mengikuti perkembangan politik. Jangankan politik, sejarah saja dikuasainya.
Seingatku, itu adalah perbincangan terakhir kami. Setelahnya, memang tidak ada perbincangan lain lewat pesan, tapi sudah dua kali kami bertemu langsung. Yang pertama, saat acara buka bersama dengan teman SMA di bulan Ramadhan tahun kemarin, dan yang satunya, saat salah satu teman kami ada yang menikah. Saat itulah, aku menjadi lebih terkagum-kagum padanya. Acara buka bersama kami hanya dihadiri oleh 5 orang, dan dia salah satu diantaranya. Sedangkan di acara pernikahan teman kami, hanya dihadiri oleh 4 orang, dan dia salah satu diantaranya. Padahal sepertinya dia sibuk, tapi niatnya baik, terlihat dari kepulangannya ke Kediri yang dikhususkan untuk kedua acara tersebut. Menyambung tali silaturahmi katanya. Tidak seperti teman yang lain, ketika undangan acara kukirimkan pada Abi, Abi menjawabnya dengan kata, "Insya'Allah". Tapi kemudian dia benar-benar mengusahakannya. Jika ditanya kenapa bersusah payah hadir padahal sedang berada di luar kota? "Menghormati yang mengundang," jawabnya. Kesimpulannya, dia memegang perkataannya, dan itulah yang menjadikannya berbeda.

Hujan masih turun dengan begitu derasnya, padahal ini sudah pukul 20.00 WIB. Kurang lebih sudah 3 jam hujan mengguyur Surabaya. Di luar kamar kost, terlihat jalan raya tergenang oleh air hujan yang tingginya mungkin sudah sebetis. Beberapa kendaraan bermotor ada yang menepi, mogok. Jadi merasa bersalah, sebab aku justru melihat mereka yang bersusah payah menyalakan kendaraannya sambil menikmati hujan. Hujan yang selalu menawaniku. Hujan yang tidak hanya menghadirkan genangan, tetapi juga kenangan. Meskipun begitu, hujan selalu menjadi candu untukku. Aku menyukai aku yang bercumbu dengan kenangan dalam rintik hujan. Apalagi, ini malam. Dua perpaduan maha dahsyat, hujan dan petang.
Pikiranku kembali liar menerawang, "Sedang apa dia di sana? Apakah ia sama-sama melihat hujan, sepertiku?" Ah, 6-9 bulan berada di Makassar, katanya. Itu waktu yang tidak sebentar. Iya, beberapa bulan yang lalu setelah kelulusannya, dia berhasil diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia. Dan sekarang, dia sedang menjalani on the job training di Makassar. Katanya lagi, setelah training-nya selesai, baru akan ada penempatan, dan itu di-rolling hingga dia pensiun. Aku tahu itu semua setelah berkomunikasi dengan dia via WhatsApp. Salah satu aplikasi chatting yang sudah banyak dimanfaatkan oleh orang kebanyakan saat ini. Dia juga menanyakan kabarku, kesibukanku. Ah, tapi jawaban apa yang bisa kuberi, jika memiliki pekerjaan tetap saja belum. Jangankan pekerjaan, ijazah saja belum di tangan. Yah...meskipun aku sudah lulus sebulan yang lalu, tapi ijazahku belum juga jadi. Kembali lagi ke Abi, aku mengeluh padanya, “Wah, pasti nanti pas reuni beneran bakal nggak ada yang datang ya.”
Dia kemudian tertawa, dan berkata,”Pas hari raya saja, kan pulang.”
Aku mengeluh lagi,” Emmh.. tapi kapok ah ngurusin acara begituan, buka bareng yang kemarin kayaknya yang terparah.”
Dia tertawa lagi,” Haha, tenang, yang penting kan niatnya sudah baik.”
Aku tersenyum. Kata ‘tenang’ lagi, sepertinya itu kata-kata andalannya. Tapi, meskipun singkat dan padat, jawaban-jawaban darinya selalu ajaib, selalu benar-benar menenangkan. Ah, Abimanyu Setiayuhadi, kamu benar-benar berhasil menawanku dalam kata-kata sederhanamu, dan aku? Seperti aku yang selalu mencandui hujan, aku kini juga turut mencandui kata-katanya. Seperti air hujan yang selalu mendinginkan panasnya tanah dan udara, kata-katanya selalu mendinginkanku. Seperti air hujan yang selalu membawa ketenangan dan keteduhan, kata-katanya selalu menenangkan dan meneduhkan. Tetaplah seperti itu, menghujaniku dengan kata-katamu. Asal jangan pakai petir, kilat dan angin ya, Abi!

Kamis, 11 Desember 2014

Liliana yang Mempesona

Perempuan yang berada di sampingku ini bernama Liliana. Aku mengenalnya sejak masih kanak-kanak. Ah, tapi aku curiga, bahkan mungkin kami telah berkenalan dan sedekat ini sejak belum dilahirkan. Kedua orangtuanya telah tiada, dan dia sudah tinggal bersama keluargaku sudah entah berapa tahun yang lalu. Dia tetap periang meski telah kehilangan kedua orangtuanya. Dan bahkan, aku yang mempunyai sepasang orangtua utuh, seperti disirami cahaya matahari oleh dia untuk bertumbuh. Aku tanpa dia? Entahlah akan menjadi apa.

Liliana yang mengajarkanku untuk menjadi kuat waktu itu, kala umurku masih delapan tahun. Bahkan dia pula yang telah melindungi aku dari keusilan temanku yang lain. Badannya memang lebih besar daripada aku di kala itu. Aku bahkan ingat apa kata-katanya padaku waktu aku sedang sekali lagi diusili oleh temanku yang lain. Katanya, "Jadilah kuat Edward. Kamu punya segalanya, yang tidak kamu punya cuma satu: Keberanian. Jadilah kuat dan lawan mereka, jangan diam saja."
Seketika itu aku mulai menjadi lebih berani. Saat ada yang datang mengusiliku, aku menatap mata mereka, menjawab perkataan mereka, bahkan sesekali menepis keusilan tangan-tangan mereka. Liliana tak lagi perlu membantuku untuk mengusir anak-anak nakal itu. Aku belajar berbagai macam olahraga dan menjadi yang terbaik di dalamnya. Aku berubah, bermetamorfosa.

Kini aku dan Liliana sudah dewasa. Kebersamaan kami tampaknya sudah digariskan dari awal. Sejak umur delapan tahun itu pula aku terkesima dengan Liliana. Kini Liliana tak lebih kuat dari aku. Dia bertumbuh menjadi gadis yang cantik, lembut, dan mempesona. Mungkin, sepuluh tahun lagipun sama, aku akan terkesima dengan dia yang lain, yang meski tak secantik ini namun tetap memiliki seribu kebaikan. Ya, Liliana yang selalu mempesona. Dan mungkin dia akan terus seperti itu: membuatku terkesima hingga kami sama-sama tiada.. Ah, dengan ini aku ingin mengutarakan pada dunia, bahwa dia adalah milikku seorang, dan tak ada yang bisa merebutnya dariku. 

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Sepasang Kunci dan Gembok

Tebakanku dua tahun lalu meleset lagi. Ah, sudah yang keberapa kali aku menebak-nebak? Abi? Nanda? Mm.. Hendra? Ah.. siapa lagi? Sampai sudah susah mengingatnya. Aku kira dulu ketika dekat dengan Abi, Abi yang akan jadi jodohku suatu hari nanti. Ternyata meleset, kami kemudian menemukan ketidak cocokan dan yah.. bubar di tengah jalan. Begitu juga saat dekat dengan Nanda ataupun Hendra. Aku menebak, dan ternyata meleset. Sakit? Ah, tidak juga... karena semua sudah lewat. Memang bukan mereka yang namanya tertulis di Lauhul Mahfudz untuk mendampingiku, sepertinya sih. Dan seiring dengan waktu, aku bisa berdiri tegar kembali, menerima kalau bukan salah satu dari merekalah yang akan menjadi pendampingku. 

Nah, kini aku sedang mengenal seorang lelaki. Bukan kenalan baru sih, sudah sejak SMA kami saling mengenal. Tapi 'mengenal' yang ini sedikit berbeda, mungkin lebih tepatnya, saling menjajaki. Siapa yang menduga kalau aku bisa bertemu kembali dengan Dirga? Anak laki-laki yang dulu bahkan sering adu debat denganku. Siapa yang menyangka kalau akhirnya aku membuka hati untuk dia, dan dia untuk aku? Ah, sepertinya dia dikirim sekali lagi untuk aku. Tapi untuk cerita yang kali ini, aku tidak lagi mau asal menebak. Mungkin cinta memang tidak untuk ditebak-tebak, melainkan hanya perlu dijalani dan diyakini.

Aku dan dia kini hanya saling membuka hati, menjalani yang seadanya dengan beberapa rencana. Tak ada pernyataan sama sekali dari dia, pun dari ku akan perasaan tertentu yang mengusik. Tapi semua berjalan dengan asik. Dari hari ke hari, satu demi satu kecocokan terbaca dengan sendirinya. Tidak semuanya sih, tapi usia mungkin telah membuat kita menjadi dewasa dengan sendirinya. Kecocokan itu bukan selalu berarti plus bertemu dengan plus, tapi bisa jadi minus bertemu dengan plus. Saat berdebat, mungkin ada kalanya yang satu mengalah. Saat ada yang panas, yang lain mendinginkan. Saat ada yang tidak semangat, yang lainnya menyemangati. Begitu seterusnya. 

Lama-lama, dengan sendirinya kami seolah-olah berubah menjadi seperti sepasang kunci dan gembok. Yang ini alami, tanpa menebak, tanpa dibuat-buat pun memaksakan kehendak. Kami sama-sama keras kepala. Dan sebagai sepasang gembok dan kunci, seolah-olah hanya aku yang bisa mencairkan ke-keras kepala-annya, dan hanya dia yang bisa mencairkan ke-keras kepala-anku. Entahlah, mungkin dialah yang selama ini aku tunggu. Seseorang yang namanya telah tercatat di Lauhul Mahfudz untuk berdampingan dengan namaku.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Kamis, 23 Oktober 2014

Uncontrolled

Hai, kamu.
Betapa aku merindui kamu, dan betapa kamu tidak mengetahui itu.
Betapa aku ingin memberi tahumu, dan betapa kamu tidak ingin mengetahui itu.
Betapa aku ingin terdorong maju, dan betapa kamu ingin aku mundur.
Terkadang kita, seperti itu, unbalance.

Tapi betapa aku tak mampu menguasai diri.
Setiap percik rasa yang lahir begitu saja.
Ia tumbuh dan semakin berkembang hingga entah sudah sebesar apa.
Aku hanya tak bisa menguasainya, itu saja.
Kamu tahu?
Inilah yang disebut sebagai uncontrolled.
Sesuatu yang tumbuh diluar kuasaku.

Betapa aku ingin memberhentikan pertumbuhannya, membunuh, membuatnya lenyap.
Tapi semakin aku memaksa, semakin ia menguat pula.
Kekuatan apa yang membantunya?
Entahlah, aku hanya tak bisa menguasai kekuatan itu saja.
Sekali lagi, ia... uncontrolled.

Betapa menyerah akan terasa mudah bagiku.
Betapa perlawanan akan semakin membuatku lelah.
Betapa aku ingin menyudahi dan melepaskan saja, kamu.
Tapi ia tetap bersikukuh ingin memperjuangkan, ingin melawan, ingin melanjutkan, ingin memiliki, kamu.

Bila saja berlari akan terasa mudah, maka aku akan berlari.
Namun ia menuntutku untuk menghadapi.
Bila saja menyudahi akan terasa mudah, maka aku akan menyudahi.
Namun ia menuntunku untuk menyambung bagian demi bagian, merajut setiap kejadian, mengilhami.

Ada sejuta betapa dan aku tak tahu mengapa.
Kalau saja telah kudapati jawabnya, ada satu lagi betapa yang terlahir, yaitu betapa leganya.
Jiwaku hanya ingin menjiwai kamu.
Ah, betapa rasa bisa tumbuh sebegini liarnya.
Betapa ia tak tembus pandang, abstrak dan tak bisa dipegang.
Betapa ia bisa tumbuh hebat dan meracuni setiap detak waktuku yang menyatu bersama detak jantungku.
Betapa aku tak menguasai ia.
Betapa ia tak mudah dikendalikan olehku.

Iya, rasa ini... uncontrolled.

Rabu, 08 Oktober 2014

Surat yang Bukan untuk Kamu.

Siang ini kudapati kamu. Darimu kudapati perbincangan baru, ideologi baru, prinsip baru. Baru karena aku jarang menemuinya pada orang lain. Namun percayakah kamu? Bahwa aku berpikir kita serupa.

Kamu berbicara tentang kerja, peluang-peluang untuk menjadi sukses, dan bukannya seperti yang lain, yang mengharap untuk menjadi kuli pemerintah dan rela untuk melakukan segalanya demi itu. Kamu berjalan dalam sebuah ke-abnormalan, yang memilih untuk merantau ke arah barat demi menjadi ‘kuli’ lain yang berpotensi untuk segera membuat kantongmu penuh dengan pundi-pundi uang, untuk kemudian kembali pulang, di suatu waktu nanti. Dan aku tersenyum mendengarnya, sebab aku seperti merasa menemukan orang yang sama, sama-sama tak mau diikat dan ingin menemukan petualangan-petualangan baru.

Kali lain, kamu membicarakan politik, dan aku hanya menjadi pendengarmu, bertanya satu-dua, dengan batas kemampuanku. Makananmu adalah koran, dan makananku adalah nasi, itu beda kita. Sekali lagi, kamu abnormal, keabnormalan yang membuat orang normal ingin menjadi turut abnormal bersamamu.

Satu lagi. Kamu tahu? Ketika orang lain menanyai kita satu persatu tentang ‘kapan’? Lalu dia menebak bahwa aku akan menjadi yang pertama, sedang kamu yang kedua. Di saat itu pulalah aku berharap agar kita dipertemukan dalam satu waktu, hari yang sama, jam yang sama, menit yang sama, detik yang sama. Sama-sama mengucapkan ikrar untuk sehidup semati.

Aku tak secantik Ibunda Khumairoh, istri kesayangan Nabi Muhammad SAW. Tak setelaten dan se-serba bisa Mama, untuk Bapak-ku. Bahkan, aku tak pula sepintar Ibu Ainun yang bisa menyanding kegeniusan-mu Habibie-ku.

Tapi menyandingmu, walau hanya untuk beberapa saat. Kegugupan yang kurasa akan menyergapku saat menghadapimu seketika lenyap. Tak pula kurasakan debaran hebat, melainkan yang ada hanya rasa nyaman, damai, layaknya bertemu sahabat yang lebih dari sekedar sahabat.

Aku tak mengerti, tapi harapanku tumbuh liar bersama asaku membumbung membelah langit-langit rumah, menuju langit yang sebenarnya. Mendengarmu berbicara tentang berbagai hal, membaca prinsip-prinsip yang tersirat dari tiap apa yang kau bicarakan, kesigapan, kesiapan, kepercayaan yang ada bersamamu, dan keseluruhan elemen yang membentukmu membuatku hangat, lalu percaya...bahwa tumbuh menjadi tua bersamamu pun akan menjadi satu bagian impianku.

Kamu tak lagi seperti kanvas kosong. Kanvasmu itu telah ditorehi puluhan prinsip dan berbagai hal. Meski aku tak bisa menjanjikanmu bahwa aku akan meghiasi kanvasmu dengan yang manis-manis, tapi percayalah, aku akan menemanimu untuk menuntaskan lukisan dalam kanvas itu, dalam gelap dan terangmu, aku tahu untuk satu hal, bahwa aku tangguh untuk itu.

Menyandingmu dalam beberapa waktuku, membuatku seperti menemukan partner terhebat dalam berbincang. Mulai dari hal yang sepele, hingga yang genting sekalipun. Dari yang orang lain bicarakan, hingga yang orang lain tak sekalipun memikirkan. Dari yang orang lain memahami, hingga yang tak mereka pahami sekalipun. We’re in the same frequency.

Maka, jika aku boleh memohon, maka Allah, perbolehkan aku untuk yang kali ini, menjadi bertali dengannya. Menjadi penguat dan penambah hebatnya meski mungkin, sejatinya aku berkebalikan. Untuk kali ini, Allah, amini do’a salah satu ciptaan-Mu yang mulai lelah berlayar, dan tak sabar membuang sauh, berhenti pada sebuah tempat untuk berlabuh. Meski sejatinya, jikalaupun engkau mengkehendakiku untuk berlayar 50 hingga 100 tahun lagi, aku masih kuat. Namun sesungguhnya Allah, Yang Maha Kuat hanya Engkau dan aku tidak akan kuat untuk mendengar celoteh dunia terhadapku, pelayar yang tak kunjung mendapatkan tempat untuk berlabuh. Aku menuliskan rasaku pada benda ini Allah, dan tak menginginkan ia untuk membacanya...

Sungguh, surat ini bukan untuk kamu, bukan untuk kamu yang sebagai kamu saat ini. Suatu waktu nanti, bisa jadi kamu akan membacanya, karena aku yang akan membacakannya untukmu, maka, jikalaupun begitu, tersenyumlah. Jika tidak, maka, semoga kamu selalu berbahagia dengan yang lain. J

Selamat malam, kamu. Terimakasih untuk hari ini.

Selasa, 30 September 2014

Masih ingat note-ku yang "(Kamukah) Tempat Singgahku yang Baru?"
Hehe, entahlah, aku jadi sedikit meragu disatu pihak, dan ingin mencoba meyakini lagi di pihak lain.
Padahal apa fungsinya sekalipunberhasil meyakininya lagi?
Ah, hanya demi menenangkan diri sendiri (lagi) pasti.

Lampu hijau di sudut kotak chat itu (hampir) selalu menyala.
Tapi tak ada satupun dari kita yang berbicara.
Kenapa?
Padahal aku selalu mencuri-curi berita dari berandamu, tanpa kamu tahu tentu saja.

Lalu sekalinya ada tanda tanya, kenapa jawabnya begitu singkat-singkat saja.
Baik aku pun kamu.
Kenapa?
Padahal aku selalu punya seribu cerita yang ingin kusampaikan, seribu keluhan yang ingin kucarikan solusinya.

Sekalinya kita berbincang, kenapa bahasa kita berbeda?
Satu kata yang bisa menggambarkannya, kaku.
Kau sebut namaku dengan nama pertama, lengkap.
Ah, aku tak suka.
Kenapa?
Karena itu terbaca sangat formal.
Kenapa (lagi)?
Padahal dulu tidak, padahal dulu bahkan kamu memanggilku sesukamu.
Padahal dulu kamu dengan seenaknya memperlakukanku.
Padahal dulu ... kamu tidak begitu.
Kenapa?
Kenapa tak ada lagi aku dan kamu yang bahkan bisa bertengkar seenaknya?
Kenapa tak ada lagi aku dan kamu yang bahkan bisa saling meng-iri-i satu dengan yang lain?

Kini... bahkan hanya aku yang memandang ke arahmu, meng-iri-i mu.
Kini... bahkan hanya aku yang mencoba meluruhkan kekakuan itu.
Iya, hanya aku.

Padahal, mana bisa jika hanya ada satu hati yang bergerak.
Maka, sudah selayaknya jika dari awal aku berpikir tidak dan menolak pemikiranku yang tidak berkata tidak.
Ah, sudahlah, sudahlah, sudah.

WRITE THEM!

From now on, just wanna write and make the world knows, so they can being my reminder when i forget, and bring it back to me.

Ada yang bilang, kalau kita adalah apa yang kita baca. 

Menurut saya pribadi, pernyataan itu benar adanya: saya adalah apa yang saya baca.
Ada banyak buku yang menjelma menjadi saya. Yah, minimal saya ingin jadi tokoh yang ada di dalam buku itu. Dari buka A ke B, B ke C, campur aduk, semrawut. Tapi tak apa. Saya suka mereka. Saya suka dan tidak pernah menyesal membaca mereka yang telah saya baca. Kisah cinta, sejarah, biografi tokoh terkenal, cerita yang penuh mimpi, petualangan, pengejaran dan usaha mewujudkan passion, semuanya. Mereka menjadi satu dengan saya, meski saya tak sepenuhnya bisa menjadi mereka. Well, bagaimanapun, mereka telah berhasil menjadi jendela dunia bagi saya. Membantu saya mengenali dan menikmati sensasi jatuh cinta meski dalam kehidupan nyata saya tidak pernah benar-benar bermain cinta. Mengingatkan saya untuk terus berjuang mengejar mimpi. Menasihati saya tentang bagaimana baiknya menyikapi hidup. Menggoda saya hingga tertawa terpingkal-pingkal. Mencabik-cabik saya hingga saya menangis tersedu-sedu. Dunia ada dalam satu, buku. Cakrawala yang tak pernah saya kenal pun ada dalam dia. Saya mengenal Paris, Washington DC, Kanada, Jazirah Arab, Afrika, Hutan di Kalimantan, Endensor dan negara lain tanpa melihat dengan kedua mata, tapi hanya dengan membaca. 

Dari sana saya juga ingin mulai mengukir mimpi. Ya, dari kumpulan buku yang pernah saya baca.

Wanna see?

1. Pernah baca trilogi 5 Menara karya A. Fuadi? 
Haha, buku itu selalu membuat saya menyesal kenapa dulu saya tidak menuruti keinginan Bapak untuk masuk ke Pondok, atau minimal masuk sekolah islam-lah. Yah, sekolah islam yang saya enyam hanya sebatas Taman Kanak-kanak. Selebihnya? Karena tidak belajar bahasa Arab sejak Sekolah Dasar, saya mundur teratur untuk mendaftar ke Tsanawiyah pun ke Aliyah. Untuk sejenak, saya merasa mereka yang masuk ke Pondok sangatlah beruntung :))

Mimpi apa yang saya ingini untuk terwujud dari buku ini? 
Scholarship. Ke luar negeri. Kemana? Ke mana aja, toh pilihan untuk nglanjutin S2 Public Health juga nggak banyak. Tapi, khususon, sepertinya sih England or Washington DC (too).

2. Travelling and doing a job in one.
Nah, kalau ini sih kombinasi dari berbagai buku yang berhasil nge-deskripsi-in tempat-tempat indah di dunia biar bisa saya bayangin sendiri sebelum bisa datang ke sana. Kenapa kok pake embel-embel "-doing a job in one?". Yah, itu sih karena ada yang bilang:

When you love what you are doing, you do not look at the clock. It is just wonderful.

Ya gitu, kerja karena hobby bukan lagi kerja, tanpa dipaksa juga bakalan kerja, orang suka kok, haha.
Saya sendiri sih, nggak suka terikat. Jadi, satu-satunya yang bisa mewujudkannya yaaa being the boss with doing my passion. Bismillah, semoga suatu hari benar-benar kejadian ya.

Oh iya, mimpi yang ini mungkin terutama disponsori sama Partikel-nya Dee. Udah baca?
Yah, bantu ngebangunin ingetan dikit ya. Itu lhooooo, serial Supernova ke-4 nya Dee, yang tokoh utamanya Zarah Amalia. Biar novelnya lebih berbau Atheis karena Zarah memang sedang mencari jati diri dan tempat berpulang, sudut lain yang bisa ketangkep adaalaaaaaahh, Zarah kerja dengan sesuatu yang dia suka. Photography plus hobby kenalan sama alam, dan jadilah ia Phothographer wildlife. Satu sih yang perlu dicatat juga: DIA BERANI. 

- Berani pergi dari rumah dan mencari jati diri.
- Berani untuk mencari rumah baru untuk ditinggali.
- Berani untuk menjadi lebih berani.

Yah, pokoknya pengen aja travelling around the world!

3. Ngewujudin passion pribadi. 
Apa? Writing.
Sebenarnya ini nyerempet-nyerempet sama passion-nya A. Fuadi. Tapi kalau beliau lebih ke reporting, saya ke fiksi, atau nulis fiksi yang diambil dari kisah nyata (halah). Sebenarnya saya ingin nulis yang lebih berbobot. Aduh, tapi mengingat saya sendiri susah nelen buku berbau non-fiksi, yaaa sudahlah...
Masalah yang lain sih, saya nggak pernah nyeriusin buat nulis, kebiasaan cuman bikin coretan random. Atau kalo nggak, pernah sih nyoba bikin cerpen, novel juga pernah. Tapi ya gitu, selalu berhenti di tengah. Ending-nya sudah ada di otak, tapi sebelum sampai ke sana, udah berhenti duluan, ouch... --'

Emm... inspirasi lain sih datang dari Perahu Kertas-nya Dee. Inget dong sama tokoh Kugy yang suka bikin dongeng? Yaah, kayaknya asik aja punya sesuatu yang "khas". :))

4. Ngewujudin another passion pribadi.
Apa? Entahlaaah~ Semacam pengin buka usaha sendiri. Hehe. Kalo nggak di fashion, yaah, suka juga bikin handicraft. Yagitu, kalo di fashion, saya nggak bisa ngedesain, tapi suka nge-mix match baju. Jadi nih, dalam keseharian, saya itu paling maleeees kalau make baju itu-itu aja. Kemeja yang itu, dipakein jeans yang ini. Kalo nggak, kemeja yang ini, dipakein rok yang itu. Bosen ah. Eksperimen itu wajib! Alhasil, setiap harinya saya pasti eksperimen. Entah yang kemeja ini di mix match sama rok yang itu, dikasih blazer yang ini, atau minimal hijabnya yang diganti warna atau model. Hehe, bener-bener karena biar berasa kayak make sesuatu yang baru tiap hari, meskipun aslinya barang lawas semua. Kadang ada eksperimen yang gagal juga sih (eh, mungkin sering), tapi yaudah sih, alhamdulillah belum ada yang complain :3 

Sebenernya lagi nih, Mama bisa jahit baju. Dan saya selalu ngerasa amazing aja sama Mama. Pengen bisa kayak beliau juga. Aduh, kalau aja bisa ngejahit juga kayak Mama, udah bikin baju suka suka kali ya. Yang bagus nggak harus mahal dong ya. Nah, bikin baju sendiri itu salah satu alternatif jalan buat bisa punya baju yang, yah... minimal nggak ada yang nyamain! :p Udah beda, mayan murah, bangga lagi makenya. Yang kayak gini bukan lagi bangga karena made in Indonesia, tapi bangga karena made in diri sendiri! :3

Kalau handicraft sih sebelas dua belas juga ceritanya~ Yang ini sih karena kedua tangan suka usil aja buat bikin sesuatu. Pokoknya nih, apapun yang dibikin sendiri, dari ide sendiri, dijamin gak bakal pasaran~ Dan lagi, kalau ngasih sesuatu buat orang dari hasil tangan sendiri, menurut saya sih punya nilai lebih~ Bukan dari uang, tapi niat. Niat yang bener-bener niat, ya nggak? :')
Ya gitu, secara pribadi, saya menghargai barang buatan tangan sendiri meski kalau ditaksir dengan rupiah nggak begitu ada nilainya, hehe. Makanya, another passion yang pengen diwujudin itu adalah punya gerai handicraft! Di sini, orang nggak cuman bisa pesan 'barang' tapi juga bisa belajar bikin barang. :))

Yang ini disponsori sama buku apa? 
Emm... apa yaaa? Nggak ada. Kan udah bilang kalau ini passion pribadi, hehe.


Yaudah, segini aja. Sebenarnya sih masih ada banyak buku yang menginspirasi, tapi mungkin cukup segini dulu kali ya. Nggak ada hubungannya sama public health ya? Hehe, emang iya. Hiks. Tapi udah berusaha dikorelasikan kok, contohnya nih, mau diaplikasikan ke mimpi yang kedua, jadi, ngejobnya sebagai semacam researcher gitu, hehe. Bismillah, semoga bisa cepet ngewujudin, dan yang jelas, semoga bisa ngebanggain Mama sama Bapak juga kakak-kakak. Aaamiin.

Dibantu do'a yaa, reader! :')
Semoga mimpi kalian juga segera terwujud. Aamiin. :))

Just a wish

It's difficult to find some news about you.
No tweet or the other recent updates that i can read, steal some news from that social media.
But I can see that I was being the last people which had a conversation with you since 21th September on your timeline, althought just a little.
As like as that conversation.. 
I just have a little wish that i've send to Allah, for you.
I wish that one day, I'll being the last women too, in your life, which will you choose as yours.
I wish that one day, we can share each other about our daily life, about our dream and progress to reach it.
I wish that one day, there are no one which will being yours, or mine, just ours.
I know that you'll never find this note, but I believe that Allah see it and read it.
Then, I wish Allah wanna send it to you, don't know how, when, or where.
Just a wish, wish this wish will come true, someday.

And when you find this note, someday, please just smile to me, don't laugh.
Except, we're laughing togheter :D

Kamis, 11 September 2014

Seeing your new photos. 
A lil bit envy comes to me. 
Your dream almost come true, isn't it? 
But, however, I'm happy to seeing that. 
Happy to know that you'll become someone who you want.
And I believe that you'll be the best one too. 
I can imagine that one day i'll hear your name as the best one in  your profesion.
May Allah bless you, as always. 

Sabtu, 09 Agustus 2014

Karena rasa malu berlebih sama tidak baiknya dengan hal-hal berlebih yang lain. Seperti malu mengungkapkan rasa sayang, kepada Ayah, kepada Ibu, kepada Kakak.Terkadang kata kebiasaan menjadi kedok. Lalu beralasan bahwa tanpa ungkapan sayang dengan kata-kata pun kita sudah saling tahu satu sama lain. Katanya rasa sayang tidak harus diungkapkan dengan kata-kata. Katanya, rasa sayang ya rasa sayang, cukup dirasakan. Berjalan 22 tahun lebih, dan kini saya mulai meragu. Saya percaya bahwa kasih sayang mereka tiada tara, meski tanpa kata-kata. Perbuatannya, cukup menggambarkan itu. Namun bagaimana dengan rasa sayang seorang anak kepada mereka? Apakah juga tersampaikan meski tanpa kata-kata? Dan apakah tiap-tiap perbuatan yang seringkali membuat sakit hati juga tetap membuat mereka masih percaya?

Jumat, 08 Agustus 2014

Cemburu (?)

Tak kukenal apa nama rasa ini, dahulu, pun kini. Yang kutahu hanyalah bahwa aku meng-iri-i orang-orang disekitarmu. Bagaimana mereka bisa dekat denganmu, mungkin dalam separuh hari, seperempat, pun hanya 5 menit dalam setiap harimu. Sedangkan aku? Tidak sama sekali.

Aku mungkin tidak mengetahui siapa dan sedang dimana kamu. Bahkan bisa jadi engkau tidak berada di dunia, sebab Allah memang mengatakan bahwa tiap-tiap manusia pasti diciptakan-Nya berpasangan, namun tidak mengatakan bahwa setiap pasangan itu pasti bertemu di dunia. Tapi tetap saja, tiap-tiap dari manusia pasti mengharapkan untuk mendapat kesempatan dipertemukan dengan masing-masing belahan jiwanya di dunia.

Dan karena ketidak tahuanku itulah, aku meng-iri-i tiap-tiap yang dekat denganmu. Bahkan meski itu sekedar udara yang kau hembus. Sekali lagi, sebab aku tidak tahu siapa kamu. Jika bumi berotasi dalam sehari sebanyak 24 jam, tak sedetikpun dari 24 jam itu yang mendekatkanku denganmu. Bagaimana bisa aku tidak iri kepada udara yang tiap saat selalu kau hembus?

Kepada udara, dan berpasang-pasang mata yang melihatmu tertawa, kepada kumandang adzan yang tiap 5 kali sehari selalu kau dengar (semoga), kepada lantai tempatmu bersujud kepada-Nya, dan orang-orang di sisi samping kiri kananmu yang kau jabat tangannya selepas engkau tunaikan kewajiban, serta seluruh perihal yang menyertai dalam keseharianmu, mengisi 24 jam-mu. Aku meng-iri-i kesemuanya.

Inikah cemburu (?)
Jikapun ia, biarlah begitu. Tak apa meski aku masih menerkamu. Sebab (mungkin) ini belum waktu yang tepat. Dan biar aku menerka tiap-tiap kebaikan yang engkau perbuat, sebab dengan begitu aku pun akan berusaha memperbaiki diri. Ada yang bilang, bahwa tiap-tiap dari yang sepasang adalah berfungsi untuk menyeimbangkan. Biar aku menerka, dan biar aku yang menganggap bahwa kita belum seimbang, sehingga belum bisa menjadi sepasang. Buat apa menjadi sepasang, jika tidak bisa menyeimbangkan. Jika sebelah sayap akan menjadi beban bagi yang lain, bagaimana mungkin burung bisa terbang?
Biarlah aku menganggap begitu, terlepas dari benar atau salah. Jika pun anggapanku salah, namun jika bisa menjadikanku lebih baik, kenapa tidak bukan?

Kamis, 07 Agustus 2014

Hal Lain

Seperti judulnya, hal lain.
Hal lain adalah teruntuk hal-hal pengecualian. Hal lain adalah teruntuk hal-hal yang tidak biasa. Ukuran apa yang dipakai untuk menggolongkan hal yang biasa dengan yang tidak? Cukup perasaan, logika, dan kebiasaan. Sewajarnya. 

Seperti salah satu tulisan selebtwit yang berprofesi sebagai dokter tapi mempunyai profesi lain sebagai seorang penulis, menulis baginya adalah sebuah terapi. Bagi saya juga begitu. Allah Maha Adil ya. Kalau dulu saya bertanya-tanya kenapa orang lain bisa enteng saja mencurahkan isi hatinya pada orang lain dan saya tidak, kini tidak lagi. Ya karena (mungkin) itu media dari-Nya, dan sudah ketetapan-Nya. Mau dipaksa ngomong kayak gimana juga, saya nggak bakalan jadi pinter membahasakan perasaan secara lisan karena memang itu bukan media saya. Begitu juga sebaliknya. Ya meski nilai keadilan yang sebenarnya hanya Allah yang tahu, tapi bagi saya yang hanya manusia biasa, ini sudah cukup adil.

Ketika belum menyadari bahwa menulis adalah media saya, saya memang cenderung serampangan. Ya dasarnya emang gitu sih, hehe. Jadi, dikit-dikit mosting tulisan di media sosial. Nggak tau penting apa nggak, yang penting rasanya kalau udah pengen nulis, terus keposting itu lega aja. Pernyataan ini didukung oleh salah satu psikolog yang nggak sengaja muncul di televisi, sedang mengulas salah satu kasus yang lagi nge-hits, kasus seorang seleb yang ngupload tulisan dan video berisi curahan hati di youtube, you know who lah.. Katanya psikolognya, ya itu media dia buat menyalurkan uneg-uneg. Dia bakal lega aja kalau udah nulis, udah ngungkapin uneg-uneg via video lalu nge-posting itu dengan ekspektasi dunia bakal tahu apa yang sedang terjadi pada dia, apa yang difikirkan dan apa yang dirasakan.

Eh, ya lama-lama, ketika sudah mulai berpikir bahwa saya 'lain', akhir-akhir ini adakalanya tulisan yang abis keposting itu saya hapus-hapus sendiri setelah beberapa menit kemudian. Kenapa? Ya karena saya mulai berpikir tentang penting dan gak penting. Apa segitu pentingnya sih 'isi' pernyataan saya hingga seluruh dunia (seenggaknya dunia maya saya) tahu tentang hal itu? Apa yang saya posting itu first world problem? Ya enggaklah ya... Bisa dibilang itu pastilah semacam gempa bumi lokal yang terjadi di dalam diri sendiri saja. Gampangnya, gempa bagi saya, enggak buat yang lain.

Nah, tapi, karena tetap saja menulis adalah media terapi bagi saya, akhirnya saya (mulai) nyari alternatif lain. Finally, tanpa bertanya dan tanpa mencari tahu, melainkan cuman make logika, kayaknya sah-sah aja nulis-nulis sesuka hati, baik yang penting maupun yang enggak, dengan catatan... memilih media sosial yang tepat untuk tulisan itu. Maksudnya? Ya menilai sendiri ajalah (karena ini bukan ujian yang harus dinilai orang lain), ini privasi nggak? Ini penting nggak? Pada akhir yang kedua (karena tadi udah bilang finally), sampailah saya pada anggapan bahwa lingkaran sosial alias teman-teman di media sosial itu menentukan juga tentang isi pesan yang saya sampaikan ke mereka. Ya semisal nih, kalo lagi pengen ngoceh nggak jelas, semacam sampah, gampangnya sih ngoceh di twitter. Eh, ya tapi jangan yang sampah-sampah banget sih yang diposting, hehe. Nah, kalo tulisan khusus hasil inspirasi yang emang sering tetiba aja ngehampirin entah gegara hal-hal diluar dugaan, kasus yang ngetimpa orang lain or whatever , tapi pokoknya buat saya punya nilai khusus, dengan diksi khusus pula, simply, i'll post it on tumblr. Nah, yang tingkat agak lebih tinggi lagi, yang lebih privasi, yang lebih panjang lebar isinya, yang lebih nano-nano tema-nya, tapi dalam taraf orang lain boleh tahu, maka, saya akan memanfaatkan blog saya. Kenapa? Karena lingkaran teman yang ada lebih sedikit, lebih 'itu-itu' aja. Palingan, yang ngebuka blog saya adalah orang-orang yang niat nyari tau tentang...."what happened with ummu today?". That's it. 

Terakhir, kalau buat sesuatu yang nggak sembarang orang boleh tahu, atau bahkan sesuatu yang..."Cukup Allah dan saya saja yang tahu", chit chat dengan Allah itu recommended banget. Nah, kalau kurang, karena dasarnya lagi-lagi tulisan adalah terapi, yaudah, saya bakal nulis entah lewat secarik kertas, entah lewat new document, atau apapun lah, asal saya bisa nulis sesuka saya, yaudah, nulis aja. :) Mau nanti hilang, mau nanti kebuang, gak papa. Karena point-nya adalah seperti toksin yang keluar lewat terapi, nulis yang juga terapi bakal mengeluarkan toksin itu dari dalam otak, hati. Kalau udah kebuang? Yang namanya toksin, yaudahlah ya.... Good bye-in aja, haha.

Selasa, 01 Juli 2014

Chit chat

Hei resah, masih bercokol dan duduk manis saja kamu di otak.
Baiklah jika itu maumu, maka berbaik-baiklah kamu dengan otakku dan munculah dalam porsi yang sewajarnya, biar aku tetap baik-baik saja, ya? :))

Engh engh engh...akhir-akhir ini terasa berat, tapi aku sudah berusaha menjalaninya dengan kuat lho.
Boleh minta tepuk tanganmu, wahai resah? Biar rame dikitlah, hehe.
Ada banyak kekhawatiran yang kemudian aku berusaha untuk tidak memikirkan dan memilih untuk tetap berjalan.
Di depan sana? Mungkin masih ada banyak kekhawatiran dan ujian berat, maka, untuk apa aku berkeluh kesah pada tahap ini jika aku, yakin, bahwa aku, pasti bisa melaluinya.
Bukankah Allah yang berfirman bahwa Ia tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya?
Dan aku, percaya itu.
Meski terkadang, di saat masa masa berat datang, aku meragukan kemampuanku.
Iya, aku meragukan kemampuanku, dan bukan meragukan janji-Nya.
Padahal, jika aku percaya pada janji-Nya, maka aku seharusnya percaya pada kemampuanku pula.
Aku mampu, sebab itu Allah mengujiku.
Mungkin, kurang lebih begitu...

Hei, ini Ramadhan lho.
Bulan yang penuh berkah, alhamdulillah...
Sayang belum bisa pulang ke rumah.
Kewajiban di sini belum selesai rupa-rupanya..
Tak apa, yang jelas, aku masih berusaha maju terus kok. :)

By the way...
Siang tadi aku ke Ampel.
Di sela-sela waktu tunggu penelitian, hehe
Engh... kamu masih mau mendengarku wahai resah?
Kamu melihatku di sana?
Mungkin tidak bukan?
Iya, sebab, seketika itu kamu menghilang.
Pergi kemana kamu tadi? Hehe.
Makanya aku mau cerita, biar kamu jadi tahu. :p
Waktu dua jam cukup untuk menghadap pada-Nya dan menghabiskan satu juz Al-Qur'an lho.
Ya meski terkantuk kantuk, sebab entah kenapa masjid selalu terasa sejuk.

Di jaman dulu, daerah itu disebut Ampeldenta.
Salah satu tempat penyebaran agama islam yang didirikan oleh Sunan Ampel.
Masjid di sana cukup besar dan terlihat bahwa itu memang bangunan tua.
Pemugaran di sana sini mungkin sudah dilakukan, tapi kesan tuanya masih belum hilang.

Beberapa waktu sebelumnya aku sudah ke sana, mampir di sela-sela penelitian juga.
Jadi, selama masa penelitian ini, sudah dua kali ngungsi ke sana, hehe.
Ya tapi ngerasa bersalah juga sih.
Pergi ke sana juga karena ada maksud lain, yaitu mengenang masa lalu. Ehehehe...

Resah, sudah berapa tahun kamu bercokol dan menjadi satu denganku?
Sudah adakah kamu 4 atau 5 tahun yang lalu?
Atau kamu yang kini bukanlah kamu yang dulu?
Apa kamu yang sekarang adalah resah yang lain?
Engh... sepertinya iya sih.
Sebab, untuk suatu masa, aku merasa bahwa aku meresahkan hal yang berbeda.
Jadi mungkin, kamu memang sudah bermetaforsa atau bisa jadi sudah tergantikan dengan temanmu ya, hehe

Oke, aku bocorin lagi deh.
4-5 tahun lalu aku sempat mengikuti perjalanan ziarah wali lima.
Kegiatan yang diadakan oleh sekolah.
Ya makam Sunan Ampel ini salah satu tujuannya.
Entahlah.. Semenjak itu jadi tertarik membaca ulang kisah para walisongo.
Mungkin waktu kecil dulu sudah, ya tapi sudah lupa.
Yang diingat kan cuma para penyebar agama islam di tanah jawa ini adalah WALISONGO.

Engh.. tapi bukan poin itu yang ingin aku sampaikan ke kamu, resah.
Dibalik ini semua, ada satu lagi pemicu yang membuatku untuk ingin mengetahui perjalanan para wali.
Pimpinan rombongan ziarah wali di kala itu.
Ya, aku banyak belajar darinya.
Belajar bagaimana menghargai sejarah, belajar bagaimana menghargai asal mula dan bagaimana menjawab semua keingin tahuan.
Kali lain, aku juga belajar kesederhanaan dan kepercayaan diri yang seperlunya darinya.
Belajar bagaimana dia hidup dengan tidak bermewah-mewahan, padahal aku tahu, dia lebih dari sekedar mampu.
Belajar bagaimana dia menguasai perdebatan dan berbicara di hadapan khalayak banyak, dengan tenang, dan sangat meyakinkan.

Kali lain lagi, aku belajar untuk menjadi tenang, dan menggantungkan semua harapan hanya kepada-Nya.
Yang ini bukan belajar darinya, melainkan lebih pada sekedar kesimpulan yang nyatanya, harus dijalani.
Ah, yasudahlah, cukup sampai di sini yak, resah.
Kalo mau tahu lebih banyak, tanya saja pada temanmu, keresahan-keresahan lain yang juga pernah bercokol di otakku. :)

Selasa, 17 Juni 2014

Create by you.

Well done.
A half of me is gone.
Aku beberapa waktu yang lalu telah kembali utuh.
Tapi kini sudah kembali berlubang.
Terlubangi dengan sangat amat halus, hingga lubang yang kecil itu semakin membesar tanpa tersadar.
Dan kini, hati yang utuh tinggal separuh.
Yeah, it's create by you.
Tapi kini aku sudah belajar banyak dari yang sudah-sudah.
Tak akan membiarkan yang tinggal separuh kian meruntuh.
Aku sedang berjaga, bersiap.
Bahkan memantau dari jauh bisa membuatku segila ini, ya?
Bahkan tiap statement yang terlahir dari pola pikirmu dapat meracuniku seakut ini, ya?
Haha, iya! Segila dan seakut itu, kamu, seperti virus.

Lalu tiba-tiba aku bertanya-tanya.
Apa iya?
Dan mengapa?
Mengapa kita masih sekaku ini, padahal dengan yang lain tidak.
Mengapa kita masih sangat berhati-hati dalam berkata-kata, padahal dengan yang lain tidak.
Mengapa kita masih enggan saling menyapa lalu berbincang, padahal dengan yang lain tidak.
Mengapa kita ...
Ah, keganjilan itu banyak sekali, dan semakin membuatku bertanya.
Teman, atau musuh?
Meski tidak tidak tidak, aku tidak pernah menganggapmu sebagai musuh.
Pengganggu mungkin iya, tapi dulu.
Percayalah, jika kamu dulu meminta maaf kepadaku untuk suatu perkara, aku telah memaafkanmu sedari itu dan justru tak bisa memaafkan diriku sendiri, hingga kini.

Well well well, these condition was created by you, and i accept it without a regret, even if the answer is yes, or not.
Actually, i take it as a lesson.
Yeah, very thanks for the lesson, hey you.
Yes, you. Thankyou.

Minggu, 08 Juni 2014

Abu-abu

Hei.
Lama tak menyentuh tuts keyboard laptop.
Haha, sekarang laptop menjadi barang yang sensitif.
Malas menyentuh karena syarat akan #kode skripsi :p
Selain itu? Tidak ada akses internet, tentu saja.
Lagipula, memang tidak ada yang harus dituliskan.
Kecuali hal-hal datar yang biasa saja.
Meski tidak ada hal yang demikian ketika kamu menghargai waktu :')

Ah, abu-abu.
Ya skripsi, ya hidup, ya masa depan, ya kamu.
Semuanya sama saja bagiku, abu-abu.
Mungkin aku yang tidak pandai menyembunyikan ekspresi dan terlalu meledak-ledak.
Yang jelas, berada di posisi abu-abu bukan posisi yang menyenangkan, heheh.
Aku sedang tidak baik-baik saja.
Meski ketika kamu mau mendengar sekalipun, tak akan ada banyak kata yang dapat keluar dari mulutku.
Ah, betapa akan sangat mudahnya jika telepati itu benar-benar ada..
Jika kamu bertanya, "Kamu gimana? Lancar?"
Jawabnya : tidak.
Meski yang keluar adalah kata : ya.
Demikianlah, wahai kamu yang abu-abu.
Memelihara kepercayaan dan harapan, ternyata tidaklah mudah.
Dan aku hampir habis akal untuk mempertahankannya, mempertahankan kamu salah satunya.
Yah, sudahlah.
Tidak ada banyak kata yang ingin kusampaikan memang.
Kata orang: love never fail.
Kataku : love is something... enghhh. Unidentified.
Terakhir, mungkin ya, untuk sesuatu yang tidak pasti, memang tidak seharusnya kita menjatuhkan hati~

Sabtu, 10 Mei 2014

(Kamukah) Tempat Singgah yang Baru?

Lagi-lagi kamu. Kamu jago sekali rupa-rupanya dalam hal usik mengusik. Sama seperti yang lalu-lalu, aku tidak mau menebak-nebak dan berharap lebih. Oh, tapi yasudahlah, aku tidak pula mampu mendustai segumpal daging dan darah yang dicipta untuk menciptakan serta merasakan ribuan rasa. Dan ternyata, (mungkin) memang iya, aku berjumpa kembali dengan euforia ini setelah menjumpai jeda yang cukup lama.

Ya, kamu, laki-laki yang selalu hadir dalam momentum krusial dalam hidupku. Kamu, yang tak selalu hadir dalam setiap detikku, apalagi menghadirkan ragamu di sebelahku. Kamu, yang (mungkin) sekaligus menghadirkan hati(ku) dalam setiap percakapan pun perjumpaan yang tak sengaja tercipta. Sekalipun tidak ada yang namanya ketidak sengajaan bagi-Nya, sebab, setiap peristiwa pasti terjadi atas kuasa-Nya dan aku percaya itu. 

Ini kali keberapa? Entahlah, aku mungkin saja lupa meskipun pasti mampu menyebutkan jika disuruh untuk menyebutkan. Sebab iya, tak ada satu detail-pun yang kulupa jika itu bersangkut-paut dengan momentum krusial yang ada dalam hidupku, yang juga sekaligus menghadirkan kamu di dalamnya. Kali ini, kamu hadir kembali, meski lagi-lagi, tidak untuk menghadirkan dirimu dalam setiap detik waktuku.

Percakapan singkat yang membawa pesan khusus, selalu begitu. Kamu tidak pernah bisa berbasa-basi. Hei, tapi taukah kamu? Apa-apa yang kamu bicarakan selalu tepat dan mengena, sesuai dengan apa yang kubutuhkan. Selalu menjawab setiap tanya dan kekhawatiran. 

Seperti percakapan yang menghadirkanmu di sepenggal malam panjang itu. Ya, saat ini aku memang sedang menghadapi momentum krusial yang baru dalam hidupku. Dimana banyak tanya dan kekhawatiran berkumpul jadi satu dan aku tak tahu harus mencari obat penenang apa yang tepat untuk menghilangkan semua kekhawatiran itu. Dan Allah pasti Maha Tahu, sebab Ia (mungkin) menghadirkanmu sebagai salah satu media untuk menjawab tanya dan kekhawatiran yang hadir memburuku.

"Tenang, dipikir santai saja." 
Begitu katamu. Respon singkat atas jawabanku saat kamu bertanya tentang kabar dariku. Padahal aku tak banyak bercerita, hanya sedikit mengeluh dengan gurauan. Tapi kamu menanggapinya sesuai porsimu, dan kamu tahu? Aku hanya membutuhkan jawaban itu daridulu. Jawaban yang menenangkan.

Lalu tiba giliranmu bertukar cerita. Haha, sama rupa-rupanya. Iya, momentum yang sedang kita hadapi sedang sama-sama krusialnya. Tapi kita berbeda dalam hal bagaimana menanggapi momentum itu. Jika aku memunculkan banyak tanya dan kekhawatiran, kamu justru tetap tenang, dan berusaha melewatinya dengan usaha dan do'a. Padahal aku tahu, porsi momentum krusial-mu pasti lebih berat dari momentum krusial-ku.

Ah...lagi-lagi... kamu tahu? Yang aku butuh bukanlah sekedar kata-kata, melainkan sebuah percontohan. Dan aku mendapatkannya, kata-kata sekaligus percontohan, dua dalam satu, kamu. Bagaimana aku bisa tidak berpikir bahwa kamu bukanlah media yang dikirimkan-Nya untuk menjawab tanya dan kekhawatiranku? Bagaimana pula aku bisa tidak bertanya bahwa (Kamukah) Tempat Singgah yang Baru, bagiku? 

Tapi apalah dayaku selain bertanya dan menunggu jawaban dari-Nya? Kecuali, lewat do'a. Bukan begitu? Ah, semoga kita sama-sama mampu melewati momentum krusial kita kali ini dan kali-kali selanjutnya ya, kamu. Tetap tenang, dan dipikir santai sembari tetap berusah serta berdo'a. Lalu kita cukupkan dengan berpasrah pada keputusan-Nya. Terimakasih, kamu, yang selalu hadir dalam momentum krusial-ku. :')

Senin, 05 Mei 2014

Tentang Kamu yang Lain

Ini tentang orang yang berbeda.
Yang ternyata hadirnya tanpa terduga.
Yang munculnya tanpa disangka-sangka.
Ah... mungkin ini hanya sebuah praduga.
Tapi, biarlah.. sebab aku menikmatinya.

Namamu? Biar aku dan Allah yang tahu. Tak perlu disebut sebab kamu belum tentu yang ditetapkan untukku dan aku untukmu. Biar namamu hanya aku yang menyebut, dalam tiap-tiap do'a seusai shalat fardhu. Aku sedang berharap? Mungkin iya... Sebab aku selalu dibutakan oleh sesuatu yang kuanggap mampu membimbingku pada-Nya, meski kebenarannya hanya Ia yang tahu. Ini bukan suka, apalagi cinta. Tidak, tidak, tidak... Aku hanya mengagumimu. Dalam diam, dalam perbincangan-perbincangan tak bertuan. 

Bagaimana tidak? Jika kamu selalu muncul dalam momentum krusial dalam hidupku. Empat tahun yang lalu misalnya, saat kebimbangan dan kebingungan luar biasa mendera. Aku berdo'a pada-Nya, dan mungkin kamu adalah salah satu media jawaban atas permintaanku kepada-Nya. Tentang kemana arah tujuanku setelah lulus SMA tepatnya... Aku dan kamu tak terlalu akrab, cenderung terlanjur mencintai debat malah. Aku batu, kamu batu. Kita sama-sama berkepala batu, watak keras, dan tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Tapi pada akhirnya, satu-satunya orang yang bisa kupercaya adalah orang yang sama, yang selama ini selalu kudebat dan tak ingin kuberikan kemenangan sedikitpun kepadanya. Dan taukah kamu, pada saat itu, aku sekaligus kalah, kalah dalam segala-galanya. 

Ya, aku bertanya kemana sebaiknya aku menuju. Dan kamu menjawab. Kamu berikan alternatif pilihan yang bisa menjadi tujuanku. Cukup panjang lebar dan akhirnya bulatlah keputusanku, karena pertimbanganmu. Saat pengumuman ujian dikeluarkan, kamu adalah satu diantara dua orang yang kupercaya untuk membuka pengumuman itu. Ya, hanya kamu, dan satunya? Satunya adalah adik dari Bapakku. Lalu kamu bilang selamat. Selamat karena aku diterima di fakultas kedokteran, fakultas kedokteran tumbuhan. Ahah, ya mungkin memang begitulah caramu yang selalu mampu membuatku kesal, sekaligus mengagumi. Dua hal dalam satu dan tak lagi mampu kulihat batas diantara keduanya. Ya, aku membenci sekaligus mengagumi.

Kali lain, aku juga memintamu untuk memberikan pendapatmu saat aku hendak membeli sesuatu. Singkat padat dan jelas, itu jawaban yang kudapat darimu. Ah, selalu begitu. Selalu kau beri aku jawaban diluar batas kemampuanku. Iya, sebab aku tidak tahu menahu tentang bidang yang kau kuasai, dan aku cemburu. Oh, lebih halus, ini bukan cemburu, melainkan rasa iri positif yang menjadi pemicuku untuk lebih maju. Kamu bisa berbicara tentang apa saja yang tidak aku bisa. Tentang agama, tentang politik, tentang tehnik, matematika, fisika, sejarah, dan apalah itu yang menjadi duniamu, bukan duniaku. Aku selalu mendebat, dan kamu tahu? Dibelakang debatan-debatan kosong itu aku selalu mencibir diriku sendiri, sebab tak satupun debatanku itu yang 'berisi' seperti debatanmu. Iya, aku kosong, dan kamu penuh. Lalu, bagaimana bisa aku tidak mengagumimu dengan gagasan-gagasanmu itu? Kita berbeda, meski tidak dalam segala hal. Iya, tidak dalam segala hal, sebab satu-satunya persamaan diantara kita adalah kepala batu. Hanya itu.

Terakhir kali, sebab kepala batumu dan kepala batuku tak kunjung bertransformasi menjadi yang lebih lunak serta lebih bijak, maka kita tak lagi saling berbincang dalam ketidak pentingan. Ya, debat kusir itu telah berakhir. Tak ada lagi perbincangan untuk meminta pertimbangan seperti dulu. Dan semuanya berjalan begitu damai. Beberapa waktu yang lalu kamu muncul lagi dalam momentum krusial di hidupku. Saat kekhawatiran terlahir dan tak tau harus berbagi kepada siapa. Saat rumah dan kota kesayangan diguyur pasir dan abu dari letusan Gunung Kelud. Dan di saat itu pula hanya kamu, hanya kamu, yang menanyaiku dengan kalimat singkatmu, "Rumah aman?" Kalimat singkat dan sekaligus menenangkan, bagiku. Sebab aku sedang ingin berbincang dan menumpahkan kekhawatiran, lalu engkau hadir dengan begitu saja, menjadi sebuah media.

Aku tidak mengerti, tidak pula memahami. Berharap dan berusaha mengubur harap. Lalu berucap dalam tiap-tiap do'a, "Allah, jangan biarkan kali ini aku salah langkah. Dan berikan petunjuk-Mu atas kekhawatiranku. Tiadakan ia dengan bijaksana jika ia bukan media penjawab tanya. Atau... munculkan ia dengan utuh melalui ridho-Mu, sebagai jawaban atas tiap-tiap tanya yang tak kunjung menemukan jawabnya. Aamiin".

***

Minggu, 04 Mei 2014

(Mungkin) Hanya Sekedar Do'a

Kali ini ada lagi yang mengusik. Ah, lelah sekali rasanya. Sudah penghabisan, setelah ini hanya akan ada segelintir usaha kecil dan doa saja yang diperbanyak. Berkali-kali salah orang. Jika kemarin aku menemukan sepasang mata baru. Kini mungkin aku sedang tersadar. Meski belum pasti, sepertinya aku baru saja tersasar. Entah sudah untuk yang keberapa kali. Satu, dua, tiga? Atau justru tak terhingga.

Haha, bagaimana tidak lelah jika sedang dalam perjalanan dan tak kunjung sampai di tempat tujuan? Bahkan tak hanya sekali dua kali berbelok pada tempat yang tak dituju. Semakin lama semakin terasa panjang, panjang, dan mungkin tak berujung. 

Ah, tapi aku tetap percaya pada kuasa Tuhan yang pasti tidak akan pernah ingkar. Akan tetap kususuri meski kini aku tak setangguh yang dulu. Tidak apa, setidaknya jika fisik tidak lagi setangguh itu, namun jiwa justru tak serapuh yang dulu. Ini sebuah ke-resistensi-an, jiwaku terlanjur kebal terhadap salah tujuan.

Tak ada peta yang bisa dipegang. Bertanya pada orang pun kini tak lagi bisa menjadi andalan. Punya apalagi aku selain Tuhan? Maka kini aku berserah, berpasrah. (Mungkin) Ini adalah do'a yang tak akan kunjung berakhir. Atau.. ketika pun sudah mencapai ujung, aku tidak akan pernah mencoba mengakhirinya, melainkan hanya akan sekedar mentransformasikannya menjadi do'a yang baru. 

Baiklah.. bisa jadi kali ini aku juga berbelok pada tempat yang salah. Tapi yasudahlah... Sekedar berdo'a bolehkan? 
"Wahai pencipta alam semesta dan seisinya... Jika ia yang sedang bercokol dalam diam di suatu sudut yang tak terlihat ini adalah benar merupakan tempat yang harus hamba tuju, permudahlah. Jadikan ia sebagai tempat yang baik untuk hamba, dan hamba sebagai tempat yang baik untuk ia, jadikan kami sebagai tempat berpulang dan menjadi rumah bagi masing-masing. Dan jika bukan, berilah petunjuk-Mu akan tempat yang seharusnya kami tuju. Jangan jadikan rasa kecewa ini sebagai pengutuk pun pemerburuk suasana wahai Rabb yang tak ada duanya... Jangan jadikan pula ia sebagai penghalang bagi tempat yang seharusnya kutuju, pun yang seharusnya menujuku."

Rabu, 23 April 2014

Seperti Dulu

Namanya Muhammad Abi Ya'la, kakak kelasku saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku mengenalnya karena dia salah satu anggota OSIS dan menjadi panitia orientasi penerimaan siswa/i baru. Karakternya tegas, berwibawa, tapi lembut. Dan satu lagi yang kusuka dari dia, dia bukanlah tipe laki-laki yang suka bermain perempuan seperti teman lain seusianya. Tahu darimana? Ah, lagu lama... Saat jaman dulu, aku tentulah masih seperti remaja yang lain, yang suka bergosip, dan ingin mencari tahu segala sesuatu tentang orang yang dikagumi. Termasuk, Mas Abi. Ya, Mas Abi, begitulah aku memanggilnya dulu.

Awalnya hanya ingin iseng. Tapi berlanjut, hingga aku benar-benar mengagumi sosoknya, sampai sekarang. Dulu waktu masih remaja, aku sama seperti beberapa gadis remaja lain, yang berani bergerak untuk mendekati siapa laki-laki yang disuka. Dan itulah mengapa kini aku tak hanya sekedar 'mengenal' Mas Abi, tapi benar-benar mengenal, seperti kakak-adik malah. Mas Abi baik, tidak marah atau menjauh saat dulu aku begitu ingin mengenal dan mencoba mendekatinya. Dulu bahkan aku sempat mengutarakan perasaan sukaku kepadanya. Iya, pernah, sekali.

Diterima? Tidak, ditolak. Ya, ditolak dengan caranya yang sangat halus dan aku tahu pasti bahwa dia tidak pernah bermaksud menyakiti sedikitpun. Dan itu terakhir kalinya aku mendekatinya dengan cara yang sangat tidak bijaksana, sebab dari jawabannya, kini aku tahu, dan malu dengan caraku yang pernah kulakukan dulu, terhadapnya. Lalu bagaimana kelanjutannya? Sejak Mas Abi yang berada di dua tingkat di atasku itu lulus, kami sempat hilang kontak. Tetapi tidak lantas aku lupa padanya. Sebab semenjak ditolak saat itu, dan mendengar tiap-tiap perkataannya, justru aku semakin yakin, bahwa aku sedang jatuh cinta pada sosok yang luar biasa.

Lalu waktu itu kusebut sebagai 'jeda'. Aku berusaha memantaskan diri saat kami tidak lagi berdekatan walau hanya sekedar dekat di lingkungan sekolah. Aku memperbaiki diri, baik dalam hal akademis maupun dalam hal yang lebih penting lagi, perilaku dan 'isi' di dalam diriku. Semuanya berusaha kuperbaiki. Bukan... bukan hanya sekedar demi Mas Abi. Melainkan aku tahu bahwa itu baik untuk diriku sendiri.

Dan tepat 2 tahun setelah kelulusanku, yang itu berarti setahun yang lalu, kami bertemu lagi. Dia tetap menjadi Mas Abi yang aku kenal dulu. Yang berubah hanyalah perawakannya yang kini jauh terlihat lebih berwibawa. Saat itu, aku tahu bahwa aku masih menyayangi Mas Abi. Tapi aku tak lagi se-berani atau semaunya sendiri seperti yang dulu. Aku menyayangi Mas Abi, tapi tidak lagi menunjukkannya dengan vulgar seperti dulu. Meski begitu aku tahu, bahwa dia juga tahu bahwa aku masih menyukainya, seperti dulu. 

Dua hari yang lalu, Mas Abi datang kepadaku. Lalu dia mengutarakan maksud kedatangannya kepadaku. Aku tertegun mendengar ucapannya yang sembari mengeluarkan sebuah kotak cincin berbentuk hati. Ditawarkannya sebuah cincin manis yang berada di dalamnya kepadaku. Menanyakan apakah aku bersedia mengenakannya di jari manisku beberapa bulan lagi, di depan penghulu, jika aku mau. Kali ini, aku tidak tahu dia tahu perasaanku atau tidak. Yang aku tahu, aku sangat bahagia sekali waktu itu. Ah, tiba juga akhirnya! Kini bukan aku yang memintanya menjadi pendampingku, melainkan ia yang memintaku. Aku tersenyum, dan mengiyakan.

Tahu apa yang dia katakan saat dulu ia menolakku? Sederhana. Ia hanya berkata, " Aku masih belum bisa menerima satupun wanita di dalam hidupku, Kalila. Dan aku tidak ingin mencoba-coba apa yang seharusnya tidak kucoba. Kamu masih sangat muda, begitupun dengan aku, dan banyak yang masih harus kita pelajari. Mari belajar banyak hal dulu. Pasti ada banyak hal yang jauh menyenangkan dari sekedar mengikat hubungan di usia muda bukan? Apalagi untuk sekedar main-main. Masih ada banyak hal yang harus diperbaiki, mari kita bersama-sama memperbaiki diri terlebih dahulu. Satu lagi, kamu terlalu terhormat untuk meminta seorang lelaki menjadi pendampingmu Lila. Suatu hari nanti, biarkan ia yang benar-benar serius datang kepadamu dan memintamu menjadi pendampingnya".  

Teruntuk #FF2in1 yang telat dikirimkan~ 

Kamis, 17 April 2014

BERPULANG


Sebuah kerinduan yang akan selalu menyusup nakal di dalam benak saat penat menghampiri. Rindu kehangatan, kenyamanan, senyuman, dan semua yang pernah didapatkan, dulu. Berharap akan mendapatkannya kembali saat berpulang. Dan ya, aku mendapatkan semuanya saat ini. Menjumpai senyum seisi orang rumah adalah kebahagiaan, bahan bakar semangat untuk kembali mengadu nasib, berjibaku dengan hidup, yang belum... ini semua belum bisa kusebut keras, sama sekali belum pantas.

Ketika tiba waktunya, tak hanya sekedar raga yang kembali berpulang ke 'rumah'. Keping-keping kenangan dan pikiran liar yang sempat berpencarpun turut serta bersamaku. Aku berpulang membawa sekantong rindu, lalu berusaha menyusun kepingan-kepingan kenangan menjadi satu. Tak lagi seperti yang dulu memang, tidak akan pernah ada yang sama. Kini dan dulu, selalu berbeda. Berkat pelari tercepat ciptaan Tuhan yang bernama WAKTU.

Kedua orangtua yang dulu terlihat muda saat aku masih belajar mengenal dunia kini mulai terlihat gurat-guratan garis keriput di wajahnya. Tangannya yang dulu memegang kedua tanganku dengan kuat saat mengajariku berjalan, kini tak lagi sekuat dulu. Jalannya yang dulu diperlambat hanya untuk menyejajariku saat berjalan, kini tak lagi secepat yang dulu. Rambutnya yang dulu hitam lebat, kini putih sempurna. Tidak, tidak ada lagi yang sama, kecuali kasih sayang mereka...

Kakak? Kakak ada di mana? Oh... tentu saja mereka sedang bersama dengan keluarga kecil barunya. Bahkan mereka kini telah menjadi Ibu dan Ayah dari keponakan-keponakan lucuku. Berusia sama seperti kedua orangtuaku saat mengasuhku waktu kecil dulu. Tidak, tidak ada lagi yang sama, kecuali kasih sayang mereka kepada saudara...

Teman? Dimana mereka? Para pelari handal, pemukul bola kasti terbaik, penyepak bola kaki tertepat, atau pemain petak umpet yang super susah untuk ditemukan saat bersembunyi? Bahkan di rumah-rumah mereka pun kini sudah tak diisi oleh orang yang sama. Atau mungkin satu dua dari mereka kini sedang berada di luar kota. Eheh, sekali lagi tidak, tidak ada lagi yang sama, kecuali kenangan masa kecil yang pernah kami lewati yang masih tersimpan dalam benak kami...

Dan kamu. Lelaki kecil penyemangatku dulu. Apa kabar? Sepertinya tanpa perlu kukhawatirkan kamu akan selalu baik-baik saja bukan? Semoga begitu, dan selalu begitu. Tampaknya kini aku tidak perlu bersusah-susah mengingat episode yang berisi kamu ya, atau mengandai-andaikan sesuatu yang tidak akan pernah terwujud. Dan tenang saja, semuanya sudah kukunci dalam kotak khusus dan kukubur dalam-dalam. Tak akan kubuka, meski ya, belum ada kotak pengganti yang berisi bahagia sepertimu, dulu. Ah, tak apa, setidaknya mengetahuimu sedang berbahagia membuatku cukup tenang untuk melakukan misi ini. Sebab semua tak lagi sama sepeti dulu, dalam hal ini, yang tak sama adalah isi hati. Kali ini, benar-benar tak ada lagi yang sama, serta tidak akan pernah ada pengecualian terhadap hal yang mungkin saja saat ini masih sama. Berbeda, TOTAL.

Sudahlah... Aku berpulang untuk menjemput suasana baru bukan? Meski demikian, aku tidak pernah menyesal pernah dan masih diberi kesempatan untuk hidup dan mengenal arti kata 'kenangan' yang di dalamnya terdiri dari dua hal, bahagia dan kesedihan, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Satu yang pasti, semua itu sudah SKENARIO dari-Nya, jalan cerita TERBAIK. Tumbuh dan berkembang untuk melalui sebuah proses kehidupan, proses pembelajaran, dan aku, sangat menghargai kenangan serta orang-orang yang berada di dalamnya. Jika ada kata yang lebih dari sekedar terimakasih, kata itulah yang akan kuberikan kepada mereka. Dan yang lebih berhak mendapat ucapan terimakasih, tentu adalah Sang Sutradara sekaligus Sang Maha Segala-galanya. Terimakasih, Allah, atas kesempatan untuk hidup dan kesempatan untuk berpulang, kali ini. Suatu hari, ketika aku berpulang dalam keabadian, semoga Engkau membukakan pintu rumah-Mu dengan lebar dan mengijinkanku untuk bertemu dengan mereka kembali, aamiin... :))

Rabu, 16 April 2014

A Joy that They Bring to Me



            Sudah hampir sebulan penuh, dan masih bertemu jenuh. Kabur dari hari-hari kerja, lalu mengasingkan diri ke tempat seindah ini hanya untuk mengadu keberuntungan, berharap bertemu dengan kebahagiaan sekali lagi. Ocean Walk yang sedang kususuri tampak lengang. Langit malam cerah, bulan bersinar malu-malu di balik awan yang bergantian berjalan menutupi wajahnya. Seolah-olah sedang bermain petak umpet, dan aku menjadi saksi mereka yang sedang asyik bermain. Bahkan bulan dan awan saja sedang tampak bahagia. Lalu tiba-tiba aku merasa kosong… Kupalingkan wajahku dari dua benda ciptaan Tuhan yang sedang berbahagia itu. Pandanganku kini tertumbuk pada lampu-lampu temaram di sepanjang Ocean Walk. Sudah hampir seminggu aku mengasingkan diri di sini. Tiga minggu sebelumnya aku berpindah-pindah, seminggu di Labuan Bajo, seminggu kemudian di Mataram dan seminggu yang lalu di Lombok. Kini giliran The Bay Bali yang menjadi tumpuan harapanku, minggu terakhirku. Dan aku berharap bertemu damai sekali lagi. Bertemu kebahagiaan yang dulu sempat berada di sepasang tanganku, lalu memudar seiring dengan waktu. Dan aku menyangka kebahagiaan itu adalah… kebebasan.
            Tetapi tidak. The Bay Bali ini memang indah. Aku bisa memandang lautan lepas dan langit bebas kapanpun aku mau. Taburan bintang serta deburan ombak yang menjadi lukisan dan musik orkestra terindah. Makan enak di Bebek Bengil yang selalu nagih. Memudarkan kesendirian dengan menenggalamkan diri pada keramaian Nusa Dua Fiesta yang kebetulan diadakan dua hari yang lalu. Kurang apalagi coba? Hal-hal yang selama ini ingin kutemui sudah kutemui, bahkan aku mendapat lebih. Kebebasan? Aku bebas. Tidak ada aturan, tidak ada orang yang kukenal yang bisa mengikatku lewat permintaan ini itu. Bebas, sungguh bebas. Aku tidak tunduk kepada siapapun kecuali Tuhanku. Tapi, masih saja sama… Aku masih bertemu kosong dan tidak menemui kebahagiaan seperti tiga tahun yang lalu.
            Saat mengurai perjalanan hampir sebulan ini, tiba-tiba saja aku disadarkan suara debur ombak. Tepi pantai… Ternyata kakiku melangkah tanpa diperintah. Segera saja kulepas alas kakiku. Bersentuhan dengan pasir pantai selalu menjadi kesenangan tersendiri bagi kakiku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas hamparan pasir, menengadah menghadap langit, melihat taburan bintang yang tak sendirian, bersama bulan. Ah! Itu dia… Tiba-tiba saja aku mengingat sesuatu. Kebersamaan… Sesuatu yang hilang itu… Bernama kebersamaan. Dan tanpa diperintah untuk kedua kali, otakku langsung bekerja dengan cepat. Ia membuka laci-laci ingatan yang bertumpuk-tumpuk jumlahnya secara otomatis. Mencari laci yang di dalamnya berisi ingatan tentang masa tiga tahun yang lalu, saat kebahagiaan berada dalam genggaman sepasang tanganku. Tak berapa lama, laci itu terbuka dan memuntahkan seluruh isinya…
***
            Ini pantai yang berbeda. Dikelilingi batu tebing tinggi dan curam, terjal. Hutan di belakang sana, hijau dan lebat. Aku berada di sebuah tenda camping. Tidak sendiri. Kami bertujuh, tiga putri dan empat putra dalam dua tenda yang berbeda. Tenda yang kami bangun berhadap-hadapan. Di sebelah kami? Tak terhitung lagi jumlah tenda yang sudah didirikan. Tempat yang sedang kami jejak adalah sebuah area camping di tengah pulau kecil di daerah Malang, Jawa Timur. Tadi siang kami baru sampai di tempat ini, tepat pukul 13.00 WIB. Setelah melewati jalanan berbukit yang naik turun di hutan belakang sana, tentu saja. Lelah? Tidak. Aku menikmatinya. Apalagi momen setelah kami sampai. Birunya laut, putihnya pasir dan hijaunya bukit berhutan. Ini bukan kali pertama kami ke sana. Iya, berjumpa dengan alam selalu membuat ketagihan.
            “Meth, Na… Ya ampun, bintangnya udah pada keliatan. Wih, nggak keitung deh jumlahnya. Lima menit sekali ganti formasi lagi. Hahahaa, udah kayak cheerleaders aja ya.”
Suara Kirana. Aku keluar dari tenda dan mendapatinya sedang tersenyum sumringah memandang langit serta bergantian menunjuki bintang di atas sana.
            “Hah? Cheerleaders? Apa hubungannya cheerleaders sama bintang Ki?” tanya Ratna. Dia memandang Kirana dan bintang secara bergantian, tampak bingung setengah mati.
            “Ah, elu Na, gitu aja nggak tahu. Ya maksudnya, bintang sama cheerleaders sama-sama menyuguhkan pemandangan yang cantik dengan berganti-ganti formasi,” sahut Arman yang baru keluar dari tenda.
            “Nah! Itu.. Arman aja tau, masak elu nggak tau-tau sih Na, capeeek deeehhh,”cibir Kirana.
            “Ah, itu mah bisa-bisanya kalian aja. Ya mana gue tahu, gue kan nggak sehati kayak kalian,” jawab Ratna, membalas cibiran Kirana.
Sontak aku tertawa, lalu ikut menyahut.
            “Ih, rating lu naik Na, tumben bisa nge-bully orang, hahahaha,”selorohku.
Ratna diam seketika, lalu terlihat bibirnya sedikit dimonyongkan. Dan serempak kami semua tertawa, termasuk para lelaki yang tetiba saja sudah duduk rapi di depan tenda, entah kapan keluarnya. Saking seriusnya memandang langit, aku jadi tidak memperhatikan sekitar.
            Begitulah, perbincangan malam itu hangat. Sehangat api unggun yang dinyalakan beberapa menit setelah gelap secara sempurna membatasi pandangan mata. Seloroh-seloroh tidak penting terucap silih berganti. Dan voila, secara sempurna membuat bibir tidak bisa terkatup. Mulut terbuka lebar, mata menyipit dan tulang pipi terangkat. Kami sama-sama tertawa. Di bawah langit, di atas pasir pantai, bersama-sama…
***
            Aku tersenyum mengingat momen tiga tahun lalu itu. Dan tiba-tiba saja hati terasa hangat. Ajaib… Hanya dengan mengingat sesuatu yang dapat membuat tersenyum, lalu hati terasa hangat. Apalagi jika bisa menjumpai mereka? Kirana, Ratna, Arman, Sakti, Rendra dan Abimanyu. Teman-teman terbaik semasa kuliahku yang sekaligus gila dan mengajariku untuk menjadi gila bersama mereka. Ya, kami menjadi gila dalam kewarasan secara bersama-sama. Jika anak-anak lain suka nongkrong di kafe, kami lebih suka nongkrong di warung kopi lesehan. Jika anak-anak lain suka berlibur dengan transportasi seperti kereta, bus, atau pesawat, kami lebih memilih touring dengan bersepeda motor. Jika anak-anak lain berlomba berwisata ke luar negeri, kami lebih memilih menikmati keindahan alam negeri sendiri. Meski tidak boleh mengatakan bahwa tempat yang kita kunjungi adalah tempat terindah sebelum kita mengunjungi seluruh dunia, biarlah. Setidaknya Indonesia mutlak eksotis dengan seluruh keunikan tempat wisatanya.
Momen tiga tahun yang lalu di pulau kecil daerah Malang bukanlah perjalanan pertama kami untuk bertemu dengan alam, tapi ya, itu adalah perjalanan terakhir kami. Dilaksanakan di tengah-tengah masa sibuk sidang skripsi, sebuah sidang penentu dicantumkan atau tidaknya gelar sarjana di belakang nama kami. Setelah itu, satu persatu dari kami lulus dari sidang, lalu dikukuhkan menjadi seorang sarjana secara bersama-sama. Rasanya? Bahagia sekaligus sedih. Kerja keras selama tiga tahun dalam menuntut ilmu akhirnya usai. Bahagia bukan, mampu memenuhi tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk orang tua yang sudah bersusah payah membiayai kuliah? Kalau aku, sangat. Namun aku langsung menyadari di saat itu juga. Bahwa kelulusan juga berarti bahwa kami akan kembali ke kampung kami masing-masing, kecuali aku yang asli Surabaya. Ah, tapi yasudahlah. Konsekuensi dari pertemuan bisa jadi adalah perpisahan. Dan perpisahan tidak akan selalu menyedihkan kok. Begitu pikirku, waktu itu.
Namun nyatanya, setahun pertama setelah kelulusan, kami memang masih saling berhubungan. Bertemu di media sosial tiap malam, bercengkerama lewat kata-kata yang terangkai dari huruf-huruf. Atau terkadang aku menghubungi satu atau dua orang dari mereka via telephone. Tetap berkomunikasi, namun tetap saja ada yang berbeda. Tahun kedua, kami tidak berjumpa secara lengkap lagi via media sosial. Satu dua dari kami pasti ada saja yang absen, terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tahun ketiga? Hmm… mungkin sudah hampir genap setahun kami tidak lagi berhubungan meski hanya sekedar berbincang-bincang. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan hampir lupa dengan masa tiga tahun yang lalu. Kegilaan yang dulu membuat kami merasa bebas tiba-tiba saja padam sedikit demi sedikit. Kami dipaksa untuk menjadi waras. Diikat oleh peraturan-peraturan, tunduk kepada atasan yang lebih ‘atas’ lagi dari kami. Ah… dan itu yang membuatku terdampar di The Bay Bali malam ini. Mengambil cuti selama sebulan untuk melarikan diri dengan alasan yang dibuat-buat hanya demi sebuah kebahagiaan yang semula kukira bernama kebebasan. Dan aku baru menyadari bahwa aku keliru…
Spontan aku mengambil handphone di saku celanaku. Kemudian secara spartan jemariku mengetik sebuah pesan di layar.
“Hai, The Red Bulls, para banteng merah gila yang hobby nyeruduk aturan, para pecinta kebebasan. Nggak kangen nih sama jaman muda? Gue lagi di The Bay Bali nih. Bagus banget sih, tapi bakal lebih bagus kalau ada kalian. J Bulan depan ada long weekend di tengah bulan. Mau nemenin gue buat ngeliat keindahan The Bay Bali lagi nggak? Ah, masak mau nolak… biasanya juga libur di tengah ujian kalian mau aja diajak cabut ke tempat yang WOW. So, how guys? *Big hope* J
Lalu jemariku mengarah kepada sebuah group di contact handphone, The Red Bulls. Send.
            Tak beberapa lama kemudian, beberapa pesan balasan masuk tanpa tahu antrian. Satu persatu kubuka pesan tersebut.
            “Oke Meth, kangen banget nih sama The Red Bulls, pasti joint lah gue. Tapi kali ini nggak pakai pesawat mabur lagi dong kita yaaa, hahahaa”.
Ardian. Aku tersenyum membaca sms balasannya. Pesawat mabur? Motor deh ini pasti, haha.
Sms kedua, Kirana.
            Whoaaaaa, you save my life Meth!!! I need that, a kind of crazy stuff for having fun. Ahhh, yukkk nge-crazy bareng lagii :***”
Ah, Kirana agak berlebihan sih, as always. Hehe.
Next. Ratna.
            “Helloooo, kalian aja ya yang suka nabrak peraturan, gue enggak dong, paling waras diantara kalian lah pasti gue, hehe. Eh, tapi gue butuh kegilaan semacam itu di tengah kewarasan gue yang semakin di atas batas normal ini nih. Thanks Meeeth undangannya, joint!”
“Paling waras? Yaudahlah iya, asal kamu seneng Na…,” bisikku dalam hati sambil ngakak.
Satu lagi sms yang masuk. Abimanyu.
           Wish me joint nggak Meth? If you wish, I will… Hehe.”
Ah, Abi. Of course I wish-lah… Wish you were here with me right know malah, hehe.
Dua sms terakhir, Sakti dan Rendra berbunyi sama.
            “Joint!!!!!!!!!!!!!!!”
Aku tersenyum puas. Lalu mengetik sebuah pesan lagi untuk mereka.
            “Thanks for the fast response guys! Everyone will joint with this trip. Prepare it well yeah. Oh, d*mn I can’t wait the times come to us! Ketemu di The Bay Bali ya, Itinerary dan tetek bengek yang lain gue kirim nyusul. Once again, thanks guys, miss you. :’)))”
I           Ah, The Bay Bali… Next time aku akan mengunjungimu dengan lebih “sempurna” lagi ya… Bersama dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan sekedar kebebasan, melainkan kebersamaan. Dan bebas bersama mereka itu kebahagiaan yang sempurna, untukku. Yeah, Togetherness is A Joy That They Bring to Me. I’m happy when they make me laugh and when I make them laugh. More happy, when we laugh together…



-The End-



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: www.thebaybali.com).