Senin, 05 Mei 2014

Tentang Kamu yang Lain

Ini tentang orang yang berbeda.
Yang ternyata hadirnya tanpa terduga.
Yang munculnya tanpa disangka-sangka.
Ah... mungkin ini hanya sebuah praduga.
Tapi, biarlah.. sebab aku menikmatinya.

Namamu? Biar aku dan Allah yang tahu. Tak perlu disebut sebab kamu belum tentu yang ditetapkan untukku dan aku untukmu. Biar namamu hanya aku yang menyebut, dalam tiap-tiap do'a seusai shalat fardhu. Aku sedang berharap? Mungkin iya... Sebab aku selalu dibutakan oleh sesuatu yang kuanggap mampu membimbingku pada-Nya, meski kebenarannya hanya Ia yang tahu. Ini bukan suka, apalagi cinta. Tidak, tidak, tidak... Aku hanya mengagumimu. Dalam diam, dalam perbincangan-perbincangan tak bertuan. 

Bagaimana tidak? Jika kamu selalu muncul dalam momentum krusial dalam hidupku. Empat tahun yang lalu misalnya, saat kebimbangan dan kebingungan luar biasa mendera. Aku berdo'a pada-Nya, dan mungkin kamu adalah salah satu media jawaban atas permintaanku kepada-Nya. Tentang kemana arah tujuanku setelah lulus SMA tepatnya... Aku dan kamu tak terlalu akrab, cenderung terlanjur mencintai debat malah. Aku batu, kamu batu. Kita sama-sama berkepala batu, watak keras, dan tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Tapi pada akhirnya, satu-satunya orang yang bisa kupercaya adalah orang yang sama, yang selama ini selalu kudebat dan tak ingin kuberikan kemenangan sedikitpun kepadanya. Dan taukah kamu, pada saat itu, aku sekaligus kalah, kalah dalam segala-galanya. 

Ya, aku bertanya kemana sebaiknya aku menuju. Dan kamu menjawab. Kamu berikan alternatif pilihan yang bisa menjadi tujuanku. Cukup panjang lebar dan akhirnya bulatlah keputusanku, karena pertimbanganmu. Saat pengumuman ujian dikeluarkan, kamu adalah satu diantara dua orang yang kupercaya untuk membuka pengumuman itu. Ya, hanya kamu, dan satunya? Satunya adalah adik dari Bapakku. Lalu kamu bilang selamat. Selamat karena aku diterima di fakultas kedokteran, fakultas kedokteran tumbuhan. Ahah, ya mungkin memang begitulah caramu yang selalu mampu membuatku kesal, sekaligus mengagumi. Dua hal dalam satu dan tak lagi mampu kulihat batas diantara keduanya. Ya, aku membenci sekaligus mengagumi.

Kali lain, aku juga memintamu untuk memberikan pendapatmu saat aku hendak membeli sesuatu. Singkat padat dan jelas, itu jawaban yang kudapat darimu. Ah, selalu begitu. Selalu kau beri aku jawaban diluar batas kemampuanku. Iya, sebab aku tidak tahu menahu tentang bidang yang kau kuasai, dan aku cemburu. Oh, lebih halus, ini bukan cemburu, melainkan rasa iri positif yang menjadi pemicuku untuk lebih maju. Kamu bisa berbicara tentang apa saja yang tidak aku bisa. Tentang agama, tentang politik, tentang tehnik, matematika, fisika, sejarah, dan apalah itu yang menjadi duniamu, bukan duniaku. Aku selalu mendebat, dan kamu tahu? Dibelakang debatan-debatan kosong itu aku selalu mencibir diriku sendiri, sebab tak satupun debatanku itu yang 'berisi' seperti debatanmu. Iya, aku kosong, dan kamu penuh. Lalu, bagaimana bisa aku tidak mengagumimu dengan gagasan-gagasanmu itu? Kita berbeda, meski tidak dalam segala hal. Iya, tidak dalam segala hal, sebab satu-satunya persamaan diantara kita adalah kepala batu. Hanya itu.

Terakhir kali, sebab kepala batumu dan kepala batuku tak kunjung bertransformasi menjadi yang lebih lunak serta lebih bijak, maka kita tak lagi saling berbincang dalam ketidak pentingan. Ya, debat kusir itu telah berakhir. Tak ada lagi perbincangan untuk meminta pertimbangan seperti dulu. Dan semuanya berjalan begitu damai. Beberapa waktu yang lalu kamu muncul lagi dalam momentum krusial di hidupku. Saat kekhawatiran terlahir dan tak tau harus berbagi kepada siapa. Saat rumah dan kota kesayangan diguyur pasir dan abu dari letusan Gunung Kelud. Dan di saat itu pula hanya kamu, hanya kamu, yang menanyaiku dengan kalimat singkatmu, "Rumah aman?" Kalimat singkat dan sekaligus menenangkan, bagiku. Sebab aku sedang ingin berbincang dan menumpahkan kekhawatiran, lalu engkau hadir dengan begitu saja, menjadi sebuah media.

Aku tidak mengerti, tidak pula memahami. Berharap dan berusaha mengubur harap. Lalu berucap dalam tiap-tiap do'a, "Allah, jangan biarkan kali ini aku salah langkah. Dan berikan petunjuk-Mu atas kekhawatiranku. Tiadakan ia dengan bijaksana jika ia bukan media penjawab tanya. Atau... munculkan ia dengan utuh melalui ridho-Mu, sebagai jawaban atas tiap-tiap tanya yang tak kunjung menemukan jawabnya. Aamiin".

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar