Kamis, 11 Desember 2014

Sepasang Kunci dan Gembok

Tebakanku dua tahun lalu meleset lagi. Ah, sudah yang keberapa kali aku menebak-nebak? Abi? Nanda? Mm.. Hendra? Ah.. siapa lagi? Sampai sudah susah mengingatnya. Aku kira dulu ketika dekat dengan Abi, Abi yang akan jadi jodohku suatu hari nanti. Ternyata meleset, kami kemudian menemukan ketidak cocokan dan yah.. bubar di tengah jalan. Begitu juga saat dekat dengan Nanda ataupun Hendra. Aku menebak, dan ternyata meleset. Sakit? Ah, tidak juga... karena semua sudah lewat. Memang bukan mereka yang namanya tertulis di Lauhul Mahfudz untuk mendampingiku, sepertinya sih. Dan seiring dengan waktu, aku bisa berdiri tegar kembali, menerima kalau bukan salah satu dari merekalah yang akan menjadi pendampingku. 

Nah, kini aku sedang mengenal seorang lelaki. Bukan kenalan baru sih, sudah sejak SMA kami saling mengenal. Tapi 'mengenal' yang ini sedikit berbeda, mungkin lebih tepatnya, saling menjajaki. Siapa yang menduga kalau aku bisa bertemu kembali dengan Dirga? Anak laki-laki yang dulu bahkan sering adu debat denganku. Siapa yang menyangka kalau akhirnya aku membuka hati untuk dia, dan dia untuk aku? Ah, sepertinya dia dikirim sekali lagi untuk aku. Tapi untuk cerita yang kali ini, aku tidak lagi mau asal menebak. Mungkin cinta memang tidak untuk ditebak-tebak, melainkan hanya perlu dijalani dan diyakini.

Aku dan dia kini hanya saling membuka hati, menjalani yang seadanya dengan beberapa rencana. Tak ada pernyataan sama sekali dari dia, pun dari ku akan perasaan tertentu yang mengusik. Tapi semua berjalan dengan asik. Dari hari ke hari, satu demi satu kecocokan terbaca dengan sendirinya. Tidak semuanya sih, tapi usia mungkin telah membuat kita menjadi dewasa dengan sendirinya. Kecocokan itu bukan selalu berarti plus bertemu dengan plus, tapi bisa jadi minus bertemu dengan plus. Saat berdebat, mungkin ada kalanya yang satu mengalah. Saat ada yang panas, yang lain mendinginkan. Saat ada yang tidak semangat, yang lainnya menyemangati. Begitu seterusnya. 

Lama-lama, dengan sendirinya kami seolah-olah berubah menjadi seperti sepasang kunci dan gembok. Yang ini alami, tanpa menebak, tanpa dibuat-buat pun memaksakan kehendak. Kami sama-sama keras kepala. Dan sebagai sepasang gembok dan kunci, seolah-olah hanya aku yang bisa mencairkan ke-keras kepala-annya, dan hanya dia yang bisa mencairkan ke-keras kepala-anku. Entahlah, mungkin dialah yang selama ini aku tunggu. Seseorang yang namanya telah tercatat di Lauhul Mahfudz untuk berdampingan dengan namaku.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar