Rabu, 18 Februari 2015

Bukan yang Terakhir

Sepasang muda-mudi beradu mata. Wajahnya kaku, yang satu tampak kuyu, sedang yang lain tampak malu.
            “Tak apa, Rendra. Aku tahu bahwa kamu masih belum bisa memiliki rencana jangka panjang. terserah, aku tidak berhak atas kamu sepenuhnya memang,” kata si perempuan. Meski tampak kuyu, masih ada kekuatan menyampaikan maksud hatinya.
            Lelaki itu, kini menatap teduh wajah perempuan yang berdiri di depannya. Tapi tetap tak bergeming.
            “Lalu mau kamu apa? Kita putus? Ah, menurutku itu lebih baik daripada kita punya ikatan, sedangkan kamu masih ingin membuat ikatan dengan yang lain. Bagaimana, kita putus?”
            Rendra masih tak bergeming.
            “Aku anggap jawabanmu iya. Kalau begitu, baiklah. Yang perlu kamu tahu, aku tidak mengapa jika selama ini kamu memperlakukanku seperti itu. Mungkin ada baiknya kita kembali seperti dahulu lagi, sebatas sahabat. Teruslah bercerita kepadaku tentang apapun yang terjadi padamu, ya. Sekalipun itu tentang persoalanmu dengan...Dyandra, misalnya. Beri tahu aku jika kabar baik datang menghampiri kalian berdua, ya.”
            Ada sepasang bola mata yang berkaca-kaca sekalipun mulutnya terus diberondongi untaian kata-kata. Ia tegar, menegar-negarkan diri lebih tepatnya. Perempuan itu, Sheila. Sedangkan lelaki yang berdiri di depannya tampak lebih rapuh. Dia lelaki, tetapi kini, ketegarannya tak lebih dari ketegaran yang tinggal seujung jari. Sheila baru saja mengambil keputusan, mencoba menyelesaikan masalah diantara mereka berdua. Beberapa hari yang lalu, Rendra dipergoki olehnya sedang bersama dengan wanita lain, Dyandra.
            “Kamu memaafkanku?,” giliran Rendra yang bertanya.
Sheila mengangguk pelan.
            “Maaf Sheila, aku..”
            “Sudahlah, dari awal juga aku tahu bahwa aku, hanyalah pelarianmu terhadap perasaanmu sendiri. Perasaan yang kau ciptakan hanya untuk Dyandra, dari awal memang begitu. Aku tahu, dan kamu tak perlu lagi memberikan penjelasan apapun padaku,” potong Sheila.
            “Dyandra? Kamu, tahu?”
            “Tentu saja, aku tahu bagaimana kamu masih berlaku baik terhadap Dyandra, selalu meluangkan waktumu untuk dia, selalu menyempatkan bertanya kabar di sela-sela kesibukanmu, sejak dulu. Aku tidak buta Ren, tidak pula tuli, aku juga punya banyak mata-mata dan telinga. Aku tahu semua tentang kamu dan Dyandra.”
            Kini Rendra tak mampu menjawab. Bingung sekaligus takjub. Perempuan yang disakitinya, yang tepat berdiri di hadapannya, telah tahu semua tentang dia dari awal. Tapi ia masih mau menerima, terlebih, memaafkannya berulang-ulang kali. Tapi Dyandra adalah persoalan lain. Dia cinta pertama sekaligus yang paling mengena bagi Rendra sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Rendra tak bisa begitu saja melepaskan Dyandra.
            “Mungkin kamu memang paling tahu tentang aku, Shei. Aku berterimakasih sekali padamu yang telah memaafkan segala kebusukanku. Maaf, beribu maaf. Dan tentang Dyandra, kamu benar adanya.. Percuma aku berbohong tentang dia dihadapanmu. Bahkan kamu, hanya dengan membaca raut wajahku saja sudah tahu mana yang benar, dan mana yang bohong. Terimakasih untuk segalanya, terimakasih karena telah mau kembali bersahabat denganku...”
            Ada airmata yang tak tertahan di sepasang bola mata bulat dengan bulu mata lentiknya. Setetes, dua tetes. Kemudian dihapuskannya dengan terburu-buru, lalu ditengadahkannyalah wajahnya agar air matanya tak lagi menetes. Dia, Sheila. Perempuan yang bukan kali pertama patah hati terhadap Rendra, mantan sahabat, mantan kekasih, yang kini kembali menjadi sahabatnya lagi.
“Mungkin aku memang bukanlah yang terakhir untuk Rendra, begitupun sebaliknya,” ucapnya lirih.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar