Rabu, 18 Februari 2015

Keputusan

            Senja memerah, dan Amanda masih berada di luar rumah. Dia sedang berada di Ranah Kopi, sebuah cafe di jalan Margonda, Depok. Di sebelahnya Kak Ali sedang bercerita panjang lebar, dan dia menjadi pendengar. Entah ini kali yang keberapa, Kak Ali, kakak tingkatnya, selalu menceritakan keluh kesahnya tentang hubungannya dengan Denada. Hubungan mereka kian lama kian meretak, dan dia mengaku sudah lelah serta ingin menyudahi. Amanda, seperti biasa, hanya menyampaikan kata-kata seperlunya, bahkan kalau boleh dibilang, dia justru meredam dan berusaha untuk membuat Kak Ali mengurungkan niatnya. Padahal, jauh di dalam sana, ada hati yang sedang goyah, dia justru melompat senang, namun perasaan itu disembunyikannya dalam-dalam. Hati itu, hati Amanda, dan dia merasa bersalah kemudian.
            Amanda, pada akhirnya harus tetap mendengar kabar bahwa hubungan Kak Ali dan Denada buyar di lain hari. Amanda, yang dari dulu mengagumi Kak Ali, lebih dari itu, menyukainya dalam diam, senang setengah mati. Tapi bagaimana, dia tahu bahwa dia sudah bagaikan adik sendiri di mata Kak Ali. Dia tetap diam kemudian, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan.
            Waktu terus berjalan, Amanda tetap bertahan pada kebersikukuhannya untuk menyimpan rapat perasaannya sendiri. Hingga kemudian, dia mendengar kabar bahwa ada seorang perempuan baru yang datang ke kehidupan Kak Ali, dan berhasil menyita perhatiannya, perasaannya. Lagi-lagi, kabar itu didengarnya sendiri dari mulut Kak Ali.
            “Ya Tuhan, ujian apa lagi ini?” bisik hatinya hingga tidak terdengar.
Hatinya tetap menyimpan rasa itu untuk Kak Ali, tapi lagi-lagi, dia tetap memilih untuk diam. Pada penghujung malam-malamnya, dia selalu mengucapkan sebuah do’a.
            “Tuhan, jika memang Kak Ali baik bagi hamba,dekatkanlah, berikanlah jalan untuk kami bersatu, dan jika dia tidak baik bagi hamba, jauhkan ia dengan cara yang baik... Berikanlah petunjukmu kepada hamba tentang apa yang harus hamba lakukan, Amin.”
            Tak seberapa lama, Tuhan seolah-olah memberikannya petunjuk. Tiba-tiba dengan begitu saja, perempuan yang telah berhasil mendapatkan perhatian Kak Ali mulai mengenalnya dan pada suatu hari, mengungkapkan bahwa ia mengagumi Kak Ali. Pucuk dicinta ulampun tiba, Amanda seolah tersadar, bahwa mungkin itu jawaban Tuhan. Mungkin, Kak Ali, dan perempuan itu, sudah diberikan jadwal untuk bersama, entah untuk sementara, atau selamanya. Tapi Amanda tetap masih menyimpan sebuah rasa yang besar untuk Kak Ali, dia tidak bisa membuangnya begitu saja. Pada akhirnya, dia mengambil sebuah keputusan besar, rasa itu, pada akhirnya tetap ia pendam dalam-dalam, dan dia memutuskan untuk menunggu. “Biarlah, sebelum janur kuning melengkung di pelaminan mereka, mungkin masih ada kesempatan untukku,” ucapnya. Ya, dia memutuskan untuk menunggu, tetap menjadi pendengar setia untuk setiap cerita Kak Ali, bahkan untuk perempuan yang baru hadir dikehidupan mereka. Terkadang, memberikan solusi sebisanya. Tapi keputusannya sudah bulat, dia akan tetap menunggu, meski hingga seribu tahun lamanya.



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar