Sabtu, 21 April 2012

The Most Beautiful Star , :) PART I


Bintang, pernahkah engkau jatuh dengan kemauanmu sendiri? Bintang… Akankah engkau tetap bersikeras untuk tetap bertahan di langit, meski cahayamu telah padam di suatu waktu nanti? Bukankah hidup kita tidak akan bermakna jika kita tidak mampu memberi? Masihkah engkau akan mempertahankan hidupmu, jika engkau tak bisa memberi manfaat untuk alam semesta ini…?Bintang, aku ingin.. aku ingin menjatuhkan diriku agar aku tidak lagi membebani mereka jika aku sudah tidak lagi bisa memberi manfaat, seperti saat ini…”
***
            Bogor, 9 Februari 2008
“Wanda…”
            Terdengar suara lembutnya memanggilku. Aku tahu suara siapa itu, ya, aku hafal suara lembut itu dan tidak akan mungkin melupakannya. Mama…
            “Tok…tok..tok…,” diketuknya pintu kamarku.
            “Keluar Nak… Keeny sudah menunggu kamu sejak sejam yang lalu..,” ucapnya.
Aku tak bergeming. Sudah sejak sebulan yang lalu aku dipanggil dengan alasan yang sama, dan sebulan itu juga aku tidak menjawab apa-apa. Keeny.. Dia cinta pertamaku sejak aku duduk di bangku SMA. Dia juga pacar pertamaku dan satu-satunya, sampai dua bulan yang lalu, saat kecelakaan itu merenggut penglihatanku, dia masih jadi pacarku. Ya… Sekarang aku buta, buta permanen. Aku tak lagi bisa melihat indahnya warna-warni dunia… Ah, rasanya aku ingin mati saja daripada tidak bisa melihat seperti ini… Aku ingin mati saja jika aku akan membebani orang-orang yang kusayangi…
Aku masih mencintai Keeny… Sangat  mencintainya. Tapi aku tidak mau jadi beban untuknya. Dia berhak mendapatkan hidup normalnya, dia berhak mendapatkan kekasih yang normal. Bukan aku. Bukan seorang tuna netra seperti aku. Meski dia tidak pernah menyatakan keberatannya untuk tetap jadi kekasihku, tapi aku tidak bisa… Aku tidak bisa jadi beban dan memburamkan masa depannya…
“Ma’af Keeny…, aku bukan lagi aku yang dulu…,” ucapku lirih.
***
Keesokan harinya…
“Kucel, buka pintu, aku mohon… Sekali saja….”
Aku terkesiap. Bukan Mama… Keeny, ya… Itu panggilan dari Kribo-ku…Oh, bukan, dia bukan lagi Kribo-ku…Sakit sekali rasanya… Dia berada di depan pintu, dan aku tidak akan membukakan pintu itu untuknya. Aku tidak lagi bisa melihat wajahnya… Senyumnya… Senyum Kribo-ku yang dulu…
            “Wanda Dianesty! Please… Beri aku kesempatan, kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri kan Kucel? Kamu masih mencintai aku kan? Kamu masih, tetap dan akan selalu jadi Kucel-ku sampai kapanpun. Please, Kucel-ku…”
Air mataku terjatuh. Aku merindukan panggilan itu, aku merindukan suaranya, aku rindu semua tentang dia. Dan aku tidak bisa membiarkannya memohon seperti itu padaku… Aku tau, cepat atau lambat, aku harus memberi jawaban padanya. Mungkin… Sekali ini, dan untuk terakhir kalinya.
            “Klik.. Krieet…,”suara pintu kamarku yang sedang aku buka.
Aku bisa merasakannya berdiri di balik pintu itu dan segera menyongsongku. Diberikannya sebuah pelukan hangat, yang mungkin merupakan pelukan terakhirnya untukku…
“Akhirnya kamu mau menemuiku juga, Kucel. Tega yaa kamu,” ucapnya.
“Keeny…,” panggilku sambil melepaskan pelukannya.
“Apa? Keeny? Kamu nggak kangen sama aku, Kucel?,”tanyanya dengan nada sedih.
Aku bisa merasakan airmatanya terjatuh, membasahi telapak tanganku yang sedang di pegangnya. Kulepaskan telapak tanganku dari genggamannya, dan kuraba wajahnya. Kucoba untuk mencari sumber airmata itu, lalu kuusap perlahan. Aku tersenyum padanya, senyum getir.
            “Jangan nangis ya Kribo… Jangan nangis lagi untuk aku. Dan jangan lagi membuang waktumu untuk menunggu aku mau menemuimu, Kribo…”
            “Kucel, kamu bercanda kan? Kamu nggak serius kan? Kamu masih sayang aku kan?”
Aku tersenyum lagi.
            “Kamu bisa ngeliat aku yang sekarang kan? Aku nggak pantas buat kamu Kribo, aku akan cuma jadi bebanmu…Aku nggak mau jadi beban…Aku nggak bisa…”
            “Kamu salah, kamu bukan beban buat aku. Kamu sinarku, bintangku. Segalanya buat aku. Kamu tau itu…”
            “Terima kasih Kribo, tapi kamu nggak akan pernah tau apa yang akan terjadi nanti. Aku nggak bisa jadi penghalang untukmu, beban, enggak Kribo…”
            “Kucel, kamu sa…”
Aku memotong perkataannya.
“Ssst… Cukup Kribo, ini terakhir kalinya aku memohon. Please… Jalani hidup kamu tanpa aku. Aku yakin kamu bisa dan akan terbiasa. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik dari aku yang hanya akan menjadi beban bagimu. Please, I beg you…“
            “Kucel…”
            “Please… Jangan buang waktumu demi aku ya…”
***
            Surabaya, 6 Januari 2012
Empat tahun kemudian di suatu Rumah Sakit…
            “Jangan pernah menyerah ya sayang, meski kita tidak berfisik sempurna, tapi percayalah, kita masih bisa mewujudkan impian kita. Kakak tahu, ini tidak mudah, kakak juga pernah mengalami kekecewaan ini,” ucapku sambil tersenyum.      
            “Gimana caranya kak Wanda?,” tanya anak perempuan berusia tujuh tahun itu.
            “Percaya saja cantik, Tuhan tidak menciptakanmu dan menetapkan takdir untukmu, apapun itu, tanpa suatu alasan. Mau contoh?”
             “Apa kak contohnya?”
            “Ya kakak ini dong. Hahaa.. Kalo kakak nggak buta, ya mungkin kakak nggak akan bisa ngasih semangat ke kamu,” ujarku tertawa.
            “Ah, kakak… Iya sih, kalo kakak nggak buta, mana mungkin kakak mau ada di sini nemenin aku, dan sama sih kak, kalo aku nggak buta, mungkin aku nggak akan ketemu sama orang yang baik hati seperti Kak Wanda, hehee. “
            “Hahaha, bisa aja kamu… Udah, sekarang waktunya kamu diperiksa tuh, cepetan masuk ke ruang dokter Ibran ya cantik, udah dijemput sama suster Reni tuh, “ ucapku.
            “Lho, kakak  nggak tau? Dokter Ibran seminggu yang lalu udah nggak kerja di Rumah Sakit ini kak. Digantiin sama kakak dokter, hehee.”
            “Oh ya? Kakak nggak tau Sil, kan udah dua mingguan ini kakak nggak ngejenguk kamu. Wah, salam aja buat dokter yang baru. Eh, kakak dokter? Ya udah deh siapa aja panggilannya, cepet masuk sana. Kakak tunggu di sini ya…”
            “Oke kak, ntar ya, aku kenalin sama kakak dokternya,” ucapnya sambil melenggang pergi. Lalu terdengarlah suara pintu yang dibuka, lalu ditutup kembali.
            “Kakak dokter?,” tanyaku di dalam hati.
***
Di dalam ruang periksa…
            “Hai Silvi cantik, apa kabar?,” tanya sang dokter pada anak perempuan berusia tujuh tahun tadi.
            “Baik kakak dokter…ehmm kakak dokter siapa ya namanya?,” dia bertanya balik.
“Ih, mau tau ajaa, hehee. Kenapa emangnya? Naksir sama kakak? Hehee,”
 ujar si dokter, jahil.
            “Yee, Silvi kan masih kecil kakak dokter, “ jawab Silvi sambil menjulurkan lidah.
            “Lho, lha terus?,” tanya dokter itu lagi, berpura-pura ingin tahu.
            “Kakak dokter mau aku kenalin sama Kakak Cantikku gak nih?”
            “Oh ya? Kakak Cantik? Hmm… Boleh doong,” jawab dokter tersebut sambil tersenyum geli.
            “Kalo gitu… Sebutin nama kakak Dokter duluu doong,” ujarnya puas.
            “Keeny, cantik.. Keeny Alvaro.”


*To be Continue, :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar