Minggu, 22 April 2012

The Most Beautiful Star, :) Part II


Sejam kemudian di ruang tunggu…
            “Krieet…Cklek,” terdengar suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali.
Itu pasti suara pintu ruang periksa. Silvi sudah selesai diperiksa, dan dia tidak keluar sendiri. Terdengar ada langkah kaki lain, oh, mungkin suster Reni.
            “Kak Wanda, “ panggilnya.
            “Iya sayang, “ jawabku tersenyum.
            “Aku nggak sendiri nih Kak, hehe.”
            “Iya, kakak tau. Siapa yang di samping kamu? Suster Reni?,” tanyaku.
            “Bukan Kak, ini Kakak Dokter,” ucapnya.
Dokter itu tak bergeming, tak berucap sepatah kata pun.
            “Dokter, perkenalkan, saya Wanda Dianesty dari Yayasan Harapan Kasih, saya yang bertugas mendampingi Silvi,” ucapku.
Dokter itu tetap tak bergeming.
            “Ehm.. Dokter?,” aku memanggilnya.
            “Dokter Keeny? Kok diem?,” Tanya Silvi.
Aku terkesiap.
            “Dok…ter… Kee..ny..?,” aku meracau.
Dokter itu memegang telapak tanganku. Tangannya hangat. Aku bisa merasakannya. Itu tangan yang sama. Telapak tangan hangat yang sama milik Keeny.
            “Wanda, apa kabar?,” tanyanya. 
Ya… Dia Keeny, Keeny Alvaro. Cinta pertamaku dan satu-satunya.
            “Keeny? Kamu? Dokter.. mata? ,” tanyaku.
            “Yah...begitulah Wanda.”
            “Bukannya daridulu kamu nggak mau nerusin jejak Ayahmu? Dokter Raihan?”
Aku tahu dia sedang tersenyum sekarang.
            “Yah, semua bisa berubah bukan? Sayang, ikut suster Reni sebentar ya, kakak mau ngomong sama kakak cantik kamu,” ucapnya pada Silvi.
            “Iya Kak..,” jawab Silvi.
Terdengar ada sepasang langkah kaki menghampiri kami, kemudian bertambah sepasang lagi, dan keduanya melangkah menjauh. Kini, tinggal aku dan Keeny.
            “Kenapa? Kenapa kamu berubah pikiran? Dan… dan… Dokter mata..?”
            “Demi kamu Wanda, demi kamu yang gagal aku lindungi. Demi kamu, demi kamu yang gagal kumiliki. Dan… demi kamu,  yang masih aku cintai…, ” jawabnya.
            “Keeny… Kamu tidak pernah gagal dalam melindungi aku. Dan kamu tidak perlu melakukan semua itu demi aku. Kamu tahu? Aku sudah bahagia dengan hidupku saat ini. Bisa memberi sesuatu untuk orang lain, bisa memotivasi… Itu cukup. Jangan pernah merasa bersalah Keeny. Dan lagi, sudahilah cintamu untukku itu. Kamu harus mencari orang lain, yang lebih pantas untuk kamu, yang bisa memberikan kehidupan yang normal untuk kamu…”
            “Tidak Wanda, hidupku tidak akan pernah berjalan normal tanpa kamu. Kamu tahu itu. Dan, oh.. ayolah. Tidak bisakah kamu jujur terhadap perasaanmu sendiri? Kamu masih mencintai aku bukan? Daridulu, cuma aku yang kamu cintai, iya kan?”
Aku tersenyum kecut.
            “Darimana datangnya pikiran seperti itu? Aku? Aku sudah.. sudah..,” suaraku tercekat, namun dengan nada yang lebih rendah lagi, kucoba untuk melanjutkan, “aku sudah.. tidak mencintai kamu lagi..”
            “Kucel, kamu bo..”
Sebelum dia meneruskan kata-katanya, buru-buru aku menyela, “Sudahlah Keeny, ah, ma’af, dokter Keeny. Terimalah ini, Anda tidak lagi perlu bersusah payah untuk memikirkan saya… Saya baik-baik saja, tanpa Andapun, sama. Anda berhak untuk mendapatkan yang lebih dari saya dokter. Jadi.. saya mohon, sudahilah menyiksa diri Anda sendiri. ”
 Keeny diam, tak bergerak. Aku pun tak bergeming. Dan sebelum dia berkata-kata lagi, aku memutuskan untuk menjadi pihak yang pertama kali pergi. Kutinggalkan ia dengan mengucap empat patah kata, “ Ma’af… Selamat tinggal, Keeny...”
Rasanya pedih. Ya, dia laki-laki yang pertama dan satu-satunya yang aku cintai. Sampai sekarangpun masih. Namun, sudahlah… Dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa menjamin kebahagiaannya. Dia pantas untuk mendapatkan yang terbaik, dan itu bukan aku. Wanita buta, yang tentu, akan menjadi beban baginya.
***
Seminggu kemudian…
Semenjak pertemuanku dengannya di rumah sakit, aku tidak lagi mendengar kabar tentang dia. Mungkin dia sudah menyerah, dan oh.. semoga begitu. Biarlah… aku tak apa. Bukankah memang cinta itu tidak harus memiliki? Dan aku mau merelakannya hanya untuk melihat ia bahagia. Bukankah seperti ini harusnya cinta? Dan ya… pikiran ini yang aku peluk sampai detik ini, sebelum mereka datang menemuiku…
“Tok…tok…tok…,” terdengar suara pintu secara pelan diketuk.
Entah siapa yang datang. Pasti sekarang Bik Inah menghampiri pintu depan. Semenjak jadi relawan bagi penyandang tuna netra dan tinggal di Surabaya, aku hanya tinggal berdua dengan Bik Inah. Mama dan Papa masih di Bogor, aku tidak membolehkan mereka untuk turut pindah ke Surabaya hanya untuk aku. Aku pasti bisa dan akan terbiasa, mereka tidak boleh terlalu mengkhawatirkan aku.
            “Jeng, wonten tiang madosi panjenengan. Bapak-bapak kaliyan ibuk-ibuk, sampun kulo utus mlebet teng ndalem...”* (re: Mbak, ada orang yang mencari. Bapak-bapak sama Ibu-ibu, sudah saya suruh masuk ke dalam.) Ucapan Bik  Inah yang berbicara dalam bahasa Jawa halus menyadarkanku.
            “Oh, iya Bik. Habis ini aku ke depan,” jawabku yang mengerti bahasa Jawa tapi tidak bisa mempraktekkannya. Akupun berjalan ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku menyapa kedua tamuku.
            “Selamat siang… Emm… Ma’af, dengan siapa ya?,” tanyaku ragu.
Salah satu tamu datang menghampiriku dan memegang tanganku, mengajak bersalaman.
            “Nak Wanda.. masih ingat dengan tante?,” tanya tamu itu.
Deg! Suara ini…
            “I..iya… tante… saya gak mungkin lupa sama Tante. Dateng sama Om Raihan ya Tan?, “ tanyaku pada tamu itu, Tante Maya, mamanya Kenny.
Tamu satunya, yang ternyata benar Om Raihan, menjawab,” Iya Wanda, ini saya. Apa kabar?”
            “Baik Om…Gimana dengan Tante dan Om Sendiri? Dan, mmm… ada keperluan apa ya dengan saya?”
            “Kami juga baik Nak. Dan keperluan kami dating kemari… Karena ada yang kondisinya sedang tidak baik...,” jawab Om Raihan.
Deg! Yang kedua kali.
            “Ehm…Si..siapa Om..?,” tanyaku, sedikit khawatir.
            “Keeny…,” sahut Tante Maya.
Kedua orangtua Keeny menyampaikan maksud kedatangannya padaku. Mereka menceritakan keadaan Keeny yang membuat mereka khawatir. Keeny sedang dalam keadaan yang tidak baik. Namun bukan secara fisik, tapi psikis. Dari luar mungkin dia kelihatan baik-baik saja. Tapi Tante Maya dan Om Raihan tahu, ada yang salah dengan anaknya mereka. Sudah semingguan ini Keeny jarang pulang ke rumah. Dia menghabiskan waktunya di rumah sakit tempat ia bekerja. Waktu libur di hari Sabtu dan Minggu pun tidak ia ambil. Kata orang rumah sakit kenalan Papa Keeny, katanya anaknya ini menawarkan diri untuk mengambil jatah shift dokter lain yang sedang mengambil cuti. Keeny sudah dilarang oleh Papanya, karena jelas, kelelahan akan meningkatkan risiko kesalahan tindakan yang mungkin terjadi pada pasien dan ini berbahaya.
“Kami sudah menanyakan mengenai alasan Keeny melakukan itu Nak Wanda… Tapi dia tidak mau memberitahukannya kepada kami…Dan bahkan… ia merencanakan untuk menjadi relawan ke daerah endemis di Afrika…,” lanjut Tante Maya.
“Dan…dan.. hubungannya sama saya apa ya Om, Tante? Saya kan…”
Om Raihan tampaknya sudah mengerti dengan kesangsianku.
            “Kami tau Nak Wanda, kalian sudah tidak ada hubungan lagi semenjak empat tahun yang lalu… Tapi kami juga tau seberapa besar rasa sayang Keeny ke Nak Wanda. Dia tidak pernah, sedikitpun, berniat untuk benar-benar meninggalkan Nak Wanda. Dan kami yakin, sampai detik ini pun masih sama,” ucap Om Raihan.
Aku tak bergeming. Tenggorokanku tercekat, tak tahu harus menjawab apa. Aku juga sama, tapi… disini kondisinya…
            “Tolong difikirkan kembali ya Nak Wanda, bukannya kami melarang Keeny untuk menjadi relawan di Afrika, tapi kan Nak Wanda tahu sendiri kalau Keeny adalah anak kami satu-satunya. Kami akan sangat berterimakasih jika Nak Wanda mau membantu kami untuk menasihati Keeny,” ujar Tante Maya.
Sekali lagi aku tercekat.
            “Dan kami akan senang sekali kalau Nak Wanda mau menerima Keeny kembali. Kami sangat tidak keberatan dengan kondisi fisik Nak Wanda. Dan kami cukup tahu seberapa seriusnya Keeny kepada Nak Wanda, tolong difikirkan ya…”sahut Om Raihan.
Aku masih tercekat. Tapi di sini aku cukup sadar bahwa aku harus menjawab.
            “Ta..tapi, Tante.. Om.. sa…saya…”
Belum selesai aku menjawab, Tante Maya memelukku. Aku bisa merasakan perasaannya yang merambat perlahan ke ulu hatiku melalui sentuhan kulit itu. Lama-lama aku luluh juga… Tidak tega pada kedua orangtua Keeny yang baik ini. Kemudian aku melepaskan diri dari pelukan Tante Maya.
            “Baiklah Tante… akan saya coba… Tapi untuk masalah menerima kembali Keeny atau tidak, ma’af… saya belum bisa memastikan, “jawabku akhirnya.
***
Keesokan harinya…

            Pagi ini aku mendatangi sebuah kafe di daerah Basuki Rahmat. Kedai kopi tepatnya. Aku menghampiri sesosok laki-laki yang duduk di bangku dekat kaca yang menghadap ke jalan raya. Ya, dia… Keeny. Menurut suster Reni, ini tempat favoritnya. Dan aku tahu, semenjak dulu Keeny suka sekali minum kopi. Cukup menghilangkan stress katanya. Oh, dasar laki-laki… Dan sekarang aku sudah berada di dekatnya, aku merasakan kehadirannya.
            “Dokter Keeny…,” panggilku.
Aku bisa merasakan ada gerakan dari sesosok tubuh di hadapanku itu. Dia menoleh ke arahku.
            “Wanda?,” ucapnya dengan nada sedikit ragu.
            “Iya, aku,” jawabku.
            “Ada apa?,”tanyanya.
Aku menghela nafas.
            “Boleh aku duduk di sini?”
Dia diam sejenak.
            “Ya, tentu saja. Silahkan,”jawabnya sambil berdiri dan menata kursi di sebelahnya untukku.
Aku duduk di sebelahnya. Diam untuk beberapa saat. Bingung bagaimana memulainya, sampai dia yang memulai duluan.
            “Ada apa menemuiku?,” tanyanya sekali lagi.
Aku pun menghela nafas sekali lagi. Dan perlahan, kuutarakan maksud kedatanganku menemuinya.
            “Kudengar, kamu mau pergi ke Afrika, benar?,” tanyaku.
Kali ini dia yang menghela nafas.
            “Kalau iya, apa urusanmu?,” dia balik bertanya dengan nada sedikit tidak enak.
Aku memakluminya. Kata-kataku seminggu yang lalu itu pasti menyakitinya.
            “Ma’af… aku bukan bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi kemarin kedua orangtuamu menemuiku dokter,” aku mencoba menjelaskan.
            “Mama? Papa? Mereka…”
            “Iya, mereka keberatan kamu pergi ke Afrika. Dan kamu juga paham kenapa kan?”
Dia menghela nafas sekali lagi.
            “Iya…,“ jawabnya.
            “Dan bukan itu saja, mereka mengkhawatirkanmu yang nekat mengambil shift full di rumah sakit. Kenapa? “
            “Kenapa apanya?,” tanyanya pura-pura bodoh.
            “Alasannya,” jawabku ketus.
            “Kamu masih menanyakan itu, huh?,” dia balik bertanya.
Giliranku yang menghela nafas.
            “Kamu tahu posisiku. Kamu tahu aku ini hanya…”
Dia menyela ucapanku.
            “Aku tidak peduli seperti apa kamu sekarang. Aku hanya butuh kejujuran. Bagaimana perasaanmu padaku, hanya itu, tidak lebih.”
            “Tapi aku peduli dengan seperti apa aku sekarang. Aku..aku..,” aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Pertahanan airmataku jebol begitu saja.
Dia sedikit mencibirku.
            “Eheh… Airmatamu ini sudah menjawab pertanyaanku. Kamu tidak perlu lagi berbohong untuk menutup-nutupi perasaanmu,” ucapnya. Diraihnya pundakku perlahan, dan diusap-usapnya rambutku dengan lembut.
            “Dok..dokter..,” aku masih sesenggukan.
            “Apa Kucel? Masih mau sok jaim-jaiman, huh?,” tanyanya sambil memencet hidungku.
            “Stop dokter Keenyy,” aku melepaskan diri dari dia. “A, aku tidak..”
            “Apa? Masih mau bilang tidak bisa?,”dia menghentikan kejahilannya.
Aku merasakan ada sepasang mata yang menatapku tajam.
            “Dengar Wanda Dianesty, sekali lagi, kamu hanya perlu jujur akan perasaanmu. Stop berfikir tentang kelemahanmu karena demi Tuhan, aku tidak pernah keberatan untuk menerima kekuranganmu.”
Aku terdiam. Tak menjawab.
            “Dan kamu tau? Itu justru letak kelebihanmu dibanding wanita-wanita lain,” ujarnya.
Aku tertegun, heran. “Eh, kok bisa?”
Aku bisa merasakannya sedang tersenyum.
            “Ya karena dengan begini, kamu hanya akan melihatku sebagai duniamu. Pakailah mataku untuk melihat dunia, aku akan menuntunmu kemanapun kamu pergi. Aku akan menemani kamu, menggambarkan warna dan bentuk dunia, dimanapun, dan kapanpun kamu memintaku.”
Aku tersenyum.
            “Ah, gombal…,” ucapku sambil berlagak memukulnya, pelan.
            “Eh, pake gak percaya.Susah tahu bikin gombalan kayak gitu. Empat tahun tuh bikinnya,” ucapnya berlagak marah.
Aku tertawa.
            “Ssst.. sekarang aku mau nanya serius. Kamu masih sayang aku?,” tanyanya, sekarang tanpa bercanda.
Aku terdiam. Kemudian tersenyum.
            “ Iya, dari awal, kamu tidak pernah tergantikan. Aku sayang kamu,” jawabku.
Kini kami berdua tersenyum. Bersamaan dengan itu, waitress mengantarkan secangkir kopi lagi untukku. Kopi yang pagi ini rasanya manis dan hangat, semanis dan sehangat hubungan kami.
***

            “Bintang, kini aku tahu. Kamu tidak perlu menjatuhkan dirimu meski kamu tidak lagi bisa se-bersinar yang dulu. Mengapa? Karena Tuhan pasti punya alasan tersendiri untuk tidak memutuskan menjatuhkanmu seketika. Mungkin, ada bintang lain, yang jauh di sana, yang masih menunggu kamu untuk berorbit di dekatnya dan mampu membuatmu bersinar kembali. Dan bagiku, bintang itu, kamu. The most beautiful star I ever have. “ J


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar