Rabu, 16 April 2014

A Joy that They Bring to Me



            Sudah hampir sebulan penuh, dan masih bertemu jenuh. Kabur dari hari-hari kerja, lalu mengasingkan diri ke tempat seindah ini hanya untuk mengadu keberuntungan, berharap bertemu dengan kebahagiaan sekali lagi. Ocean Walk yang sedang kususuri tampak lengang. Langit malam cerah, bulan bersinar malu-malu di balik awan yang bergantian berjalan menutupi wajahnya. Seolah-olah sedang bermain petak umpet, dan aku menjadi saksi mereka yang sedang asyik bermain. Bahkan bulan dan awan saja sedang tampak bahagia. Lalu tiba-tiba aku merasa kosong… Kupalingkan wajahku dari dua benda ciptaan Tuhan yang sedang berbahagia itu. Pandanganku kini tertumbuk pada lampu-lampu temaram di sepanjang Ocean Walk. Sudah hampir seminggu aku mengasingkan diri di sini. Tiga minggu sebelumnya aku berpindah-pindah, seminggu di Labuan Bajo, seminggu kemudian di Mataram dan seminggu yang lalu di Lombok. Kini giliran The Bay Bali yang menjadi tumpuan harapanku, minggu terakhirku. Dan aku berharap bertemu damai sekali lagi. Bertemu kebahagiaan yang dulu sempat berada di sepasang tanganku, lalu memudar seiring dengan waktu. Dan aku menyangka kebahagiaan itu adalah… kebebasan.
            Tetapi tidak. The Bay Bali ini memang indah. Aku bisa memandang lautan lepas dan langit bebas kapanpun aku mau. Taburan bintang serta deburan ombak yang menjadi lukisan dan musik orkestra terindah. Makan enak di Bebek Bengil yang selalu nagih. Memudarkan kesendirian dengan menenggalamkan diri pada keramaian Nusa Dua Fiesta yang kebetulan diadakan dua hari yang lalu. Kurang apalagi coba? Hal-hal yang selama ini ingin kutemui sudah kutemui, bahkan aku mendapat lebih. Kebebasan? Aku bebas. Tidak ada aturan, tidak ada orang yang kukenal yang bisa mengikatku lewat permintaan ini itu. Bebas, sungguh bebas. Aku tidak tunduk kepada siapapun kecuali Tuhanku. Tapi, masih saja sama… Aku masih bertemu kosong dan tidak menemui kebahagiaan seperti tiga tahun yang lalu.
            Saat mengurai perjalanan hampir sebulan ini, tiba-tiba saja aku disadarkan suara debur ombak. Tepi pantai… Ternyata kakiku melangkah tanpa diperintah. Segera saja kulepas alas kakiku. Bersentuhan dengan pasir pantai selalu menjadi kesenangan tersendiri bagi kakiku. Lalu kurebahkan tubuhku di atas hamparan pasir, menengadah menghadap langit, melihat taburan bintang yang tak sendirian, bersama bulan. Ah! Itu dia… Tiba-tiba saja aku mengingat sesuatu. Kebersamaan… Sesuatu yang hilang itu… Bernama kebersamaan. Dan tanpa diperintah untuk kedua kali, otakku langsung bekerja dengan cepat. Ia membuka laci-laci ingatan yang bertumpuk-tumpuk jumlahnya secara otomatis. Mencari laci yang di dalamnya berisi ingatan tentang masa tiga tahun yang lalu, saat kebahagiaan berada dalam genggaman sepasang tanganku. Tak berapa lama, laci itu terbuka dan memuntahkan seluruh isinya…
***
            Ini pantai yang berbeda. Dikelilingi batu tebing tinggi dan curam, terjal. Hutan di belakang sana, hijau dan lebat. Aku berada di sebuah tenda camping. Tidak sendiri. Kami bertujuh, tiga putri dan empat putra dalam dua tenda yang berbeda. Tenda yang kami bangun berhadap-hadapan. Di sebelah kami? Tak terhitung lagi jumlah tenda yang sudah didirikan. Tempat yang sedang kami jejak adalah sebuah area camping di tengah pulau kecil di daerah Malang, Jawa Timur. Tadi siang kami baru sampai di tempat ini, tepat pukul 13.00 WIB. Setelah melewati jalanan berbukit yang naik turun di hutan belakang sana, tentu saja. Lelah? Tidak. Aku menikmatinya. Apalagi momen setelah kami sampai. Birunya laut, putihnya pasir dan hijaunya bukit berhutan. Ini bukan kali pertama kami ke sana. Iya, berjumpa dengan alam selalu membuat ketagihan.
            “Meth, Na… Ya ampun, bintangnya udah pada keliatan. Wih, nggak keitung deh jumlahnya. Lima menit sekali ganti formasi lagi. Hahahaa, udah kayak cheerleaders aja ya.”
Suara Kirana. Aku keluar dari tenda dan mendapatinya sedang tersenyum sumringah memandang langit serta bergantian menunjuki bintang di atas sana.
            “Hah? Cheerleaders? Apa hubungannya cheerleaders sama bintang Ki?” tanya Ratna. Dia memandang Kirana dan bintang secara bergantian, tampak bingung setengah mati.
            “Ah, elu Na, gitu aja nggak tahu. Ya maksudnya, bintang sama cheerleaders sama-sama menyuguhkan pemandangan yang cantik dengan berganti-ganti formasi,” sahut Arman yang baru keluar dari tenda.
            “Nah! Itu.. Arman aja tau, masak elu nggak tau-tau sih Na, capeeek deeehhh,”cibir Kirana.
            “Ah, itu mah bisa-bisanya kalian aja. Ya mana gue tahu, gue kan nggak sehati kayak kalian,” jawab Ratna, membalas cibiran Kirana.
Sontak aku tertawa, lalu ikut menyahut.
            “Ih, rating lu naik Na, tumben bisa nge-bully orang, hahahaha,”selorohku.
Ratna diam seketika, lalu terlihat bibirnya sedikit dimonyongkan. Dan serempak kami semua tertawa, termasuk para lelaki yang tetiba saja sudah duduk rapi di depan tenda, entah kapan keluarnya. Saking seriusnya memandang langit, aku jadi tidak memperhatikan sekitar.
            Begitulah, perbincangan malam itu hangat. Sehangat api unggun yang dinyalakan beberapa menit setelah gelap secara sempurna membatasi pandangan mata. Seloroh-seloroh tidak penting terucap silih berganti. Dan voila, secara sempurna membuat bibir tidak bisa terkatup. Mulut terbuka lebar, mata menyipit dan tulang pipi terangkat. Kami sama-sama tertawa. Di bawah langit, di atas pasir pantai, bersama-sama…
***
            Aku tersenyum mengingat momen tiga tahun lalu itu. Dan tiba-tiba saja hati terasa hangat. Ajaib… Hanya dengan mengingat sesuatu yang dapat membuat tersenyum, lalu hati terasa hangat. Apalagi jika bisa menjumpai mereka? Kirana, Ratna, Arman, Sakti, Rendra dan Abimanyu. Teman-teman terbaik semasa kuliahku yang sekaligus gila dan mengajariku untuk menjadi gila bersama mereka. Ya, kami menjadi gila dalam kewarasan secara bersama-sama. Jika anak-anak lain suka nongkrong di kafe, kami lebih suka nongkrong di warung kopi lesehan. Jika anak-anak lain suka berlibur dengan transportasi seperti kereta, bus, atau pesawat, kami lebih memilih touring dengan bersepeda motor. Jika anak-anak lain berlomba berwisata ke luar negeri, kami lebih memilih menikmati keindahan alam negeri sendiri. Meski tidak boleh mengatakan bahwa tempat yang kita kunjungi adalah tempat terindah sebelum kita mengunjungi seluruh dunia, biarlah. Setidaknya Indonesia mutlak eksotis dengan seluruh keunikan tempat wisatanya.
Momen tiga tahun yang lalu di pulau kecil daerah Malang bukanlah perjalanan pertama kami untuk bertemu dengan alam, tapi ya, itu adalah perjalanan terakhir kami. Dilaksanakan di tengah-tengah masa sibuk sidang skripsi, sebuah sidang penentu dicantumkan atau tidaknya gelar sarjana di belakang nama kami. Setelah itu, satu persatu dari kami lulus dari sidang, lalu dikukuhkan menjadi seorang sarjana secara bersama-sama. Rasanya? Bahagia sekaligus sedih. Kerja keras selama tiga tahun dalam menuntut ilmu akhirnya usai. Bahagia bukan, mampu memenuhi tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk orang tua yang sudah bersusah payah membiayai kuliah? Kalau aku, sangat. Namun aku langsung menyadari di saat itu juga. Bahwa kelulusan juga berarti bahwa kami akan kembali ke kampung kami masing-masing, kecuali aku yang asli Surabaya. Ah, tapi yasudahlah. Konsekuensi dari pertemuan bisa jadi adalah perpisahan. Dan perpisahan tidak akan selalu menyedihkan kok. Begitu pikirku, waktu itu.
Namun nyatanya, setahun pertama setelah kelulusan, kami memang masih saling berhubungan. Bertemu di media sosial tiap malam, bercengkerama lewat kata-kata yang terangkai dari huruf-huruf. Atau terkadang aku menghubungi satu atau dua orang dari mereka via telephone. Tetap berkomunikasi, namun tetap saja ada yang berbeda. Tahun kedua, kami tidak berjumpa secara lengkap lagi via media sosial. Satu dua dari kami pasti ada saja yang absen, terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tahun ketiga? Hmm… mungkin sudah hampir genap setahun kami tidak lagi berhubungan meski hanya sekedar berbincang-bincang. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan hampir lupa dengan masa tiga tahun yang lalu. Kegilaan yang dulu membuat kami merasa bebas tiba-tiba saja padam sedikit demi sedikit. Kami dipaksa untuk menjadi waras. Diikat oleh peraturan-peraturan, tunduk kepada atasan yang lebih ‘atas’ lagi dari kami. Ah… dan itu yang membuatku terdampar di The Bay Bali malam ini. Mengambil cuti selama sebulan untuk melarikan diri dengan alasan yang dibuat-buat hanya demi sebuah kebahagiaan yang semula kukira bernama kebebasan. Dan aku baru menyadari bahwa aku keliru…
Spontan aku mengambil handphone di saku celanaku. Kemudian secara spartan jemariku mengetik sebuah pesan di layar.
“Hai, The Red Bulls, para banteng merah gila yang hobby nyeruduk aturan, para pecinta kebebasan. Nggak kangen nih sama jaman muda? Gue lagi di The Bay Bali nih. Bagus banget sih, tapi bakal lebih bagus kalau ada kalian. J Bulan depan ada long weekend di tengah bulan. Mau nemenin gue buat ngeliat keindahan The Bay Bali lagi nggak? Ah, masak mau nolak… biasanya juga libur di tengah ujian kalian mau aja diajak cabut ke tempat yang WOW. So, how guys? *Big hope* J
Lalu jemariku mengarah kepada sebuah group di contact handphone, The Red Bulls. Send.
            Tak beberapa lama kemudian, beberapa pesan balasan masuk tanpa tahu antrian. Satu persatu kubuka pesan tersebut.
            “Oke Meth, kangen banget nih sama The Red Bulls, pasti joint lah gue. Tapi kali ini nggak pakai pesawat mabur lagi dong kita yaaa, hahahaa”.
Ardian. Aku tersenyum membaca sms balasannya. Pesawat mabur? Motor deh ini pasti, haha.
Sms kedua, Kirana.
            Whoaaaaa, you save my life Meth!!! I need that, a kind of crazy stuff for having fun. Ahhh, yukkk nge-crazy bareng lagii :***”
Ah, Kirana agak berlebihan sih, as always. Hehe.
Next. Ratna.
            “Helloooo, kalian aja ya yang suka nabrak peraturan, gue enggak dong, paling waras diantara kalian lah pasti gue, hehe. Eh, tapi gue butuh kegilaan semacam itu di tengah kewarasan gue yang semakin di atas batas normal ini nih. Thanks Meeeth undangannya, joint!”
“Paling waras? Yaudahlah iya, asal kamu seneng Na…,” bisikku dalam hati sambil ngakak.
Satu lagi sms yang masuk. Abimanyu.
           Wish me joint nggak Meth? If you wish, I will… Hehe.”
Ah, Abi. Of course I wish-lah… Wish you were here with me right know malah, hehe.
Dua sms terakhir, Sakti dan Rendra berbunyi sama.
            “Joint!!!!!!!!!!!!!!!”
Aku tersenyum puas. Lalu mengetik sebuah pesan lagi untuk mereka.
            “Thanks for the fast response guys! Everyone will joint with this trip. Prepare it well yeah. Oh, d*mn I can’t wait the times come to us! Ketemu di The Bay Bali ya, Itinerary dan tetek bengek yang lain gue kirim nyusul. Once again, thanks guys, miss you. :’)))”
I           Ah, The Bay Bali… Next time aku akan mengunjungimu dengan lebih “sempurna” lagi ya… Bersama dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan sekedar kebebasan, melainkan kebersamaan. Dan bebas bersama mereka itu kebahagiaan yang sempurna, untukku. Yeah, Togetherness is A Joy That They Bring to Me. I’m happy when they make me laugh and when I make them laugh. More happy, when we laugh together…



-The End-



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: www.thebaybali.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar