Senin, 03 Maret 2014

Sepasang Guru Kehidupan (#LenteraHidup)

Berbicara tentang guru, mungkin tidak akan cukup menuliskannya hanya dalam satu buku. Sebab, bagi saya, guru tidak hanya mereka yang mengabdikan diri dalam kancah dunia pendidikan. Bagi saya, ilmu bisa didapat darimana saja, dan siapa saja bisa memberikan ilmu tanpa harus berbatas ruang bernama sekolah, title atau gelar sebagai pengajar. Bagi saya, guru adalah percontohan, sebuah panutan. Dan siapa saja bisa dijadikan sebagai percontohan, dijadikan panutan, dijadikan pelajaran. Oleh karenanya, bagi saya, mereka yang saya temui, mereka yang saya baca maupun saya dengar ceritanya, mereka yang saya lihat melalui indera mata dalam keseharian, kesemuanya adalah guru, guru kehidupan yang patut diambil baiknya pun buruknya sebagai sebuah percontohan.
            Pertemuan silih berganti. Jenjang kehidupan dalam ranah sekolah pun meningkat dari waktu ke waktu. Seiring dengannya, guru kehidupan yang saya temui pun begitu pula, turut berganti dengan sendirinya, meski tidak ilmunya. Namun, meski raga tak lagi bertemu, guru tetaplah guru, dan ilmu tetaplah ilmu. Dari ribuan guru kehidupan yang saya temui dalam keseharian saya, ada sepasang diantaranya yang merupakan ‘guru tetap’ bagi saya. Keduanya selalu ada dalam tiap perkembangan dan pertumbuhan saya, dari jenjang pendidikan A ke B, dari yang hanya hidup dalam gendongan menjadi seperti sekarang. Iya, mereka adalah kedua orang tua saya, Mama dan Bapak, begitu saya menyebut keduanya.
            Bagi saya, kedua orang tua saya adalah panutan ‘nyata’, yang pertama dan utama. Meski iya, tidak ada manusia yang sempurna, tentu saja. Tak terkecuali Mama dan Bapak. Namun demikian, layaknya anak yang lain, orang tua adalah guru yang membesarkan mulai dari usia 0 hingga tak terhingga. Ya, meski tidak semuanya beruntung, meskipun terkadang ada yang kehilangan salah satu dari mereka, atau malah keduanya. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya orang tua adalah ‘guru’ dan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan saya rasa, dalam hal ini, sekali lagi bagi saya, kedua orang tua saya cukup berhasil.
            Bapak saya dilahirkan di kota Tulungagung pada tanggal 10 Desember 1945, sedangkan Mama saya lahir di kota Kediri pada tanggal 16 Juni, sepuluh tahun kemudian. Keluarga saya adalah keluarga sederhana, dan kedua orang tua saya adalah guru besar kesederhanaan bagi anak-anaknya. Bahkan lebih dari itu, Mama dan Bapak adalah guru kehidupan bagi saya. Bapak merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Masa-masa mudanya berada dalam era negara yang meski mendeklarasikan diri telah merdeka, namun belum merdeka seutuhnya. Tak jauh berbeda, Mama yang usianya lebih muda sepuluh tahun dari Bapak juga berasal dari keluarga sederhana. Mungkin, Bapak dan Mama adalah salah satu korban ketidak beruntungan masa, meski tidak ada namanya ‘tidak beruntung’ jika sudah ketentuan Yang Maha Kuasa.
Enam orang adik, tentu saja Bapak dituntut dewasa sebelum waktunya. Namun mungkin itulah yang pada akhirnya mencetak Bapak untuk menjadi lebih mandiri dan berani menghadapi dunia di kala itu. Mendengar cerita dari beliau tentang masa mudanya, ya, saya akui masa-masa itu lebih keras daripada masa sekarang. Selepas dari menuntaskan masa Sekolah Menengah Atas (SMA) Bapak sempat mendaftar untuk mengikuti tes menjadi anggota militer. Sayang sekali, Bapak akhirnya ditolak karena bentuk kakinya yang O, sedangkan persyaratan peserta yang diterima adalah yang bentuk kakinya normal. Tak putus asa setelah ditolak, Bapak masih mencoba untuk mendaftar ke perguruan tinggi, meski beliau tidak tahu nantinya harus membayar memakai apa. Keenam adiknya masih sekolah dan butuh biaya, tentu saja. Bapak kemudian mendaftar di Jurusan Pendidikan Sejarah di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), output dari jurusan ini adalah mencetak guru ilmu sejarah. Tak berapa lama kemudian Bapak dinyatakan lolos. Namun pernyataan itu tak lantas membuat Bapak melenggang menjadi mahasiswa di universitas tersebut dengan mulus. Tak ada biaya yang cukup, bagaimana harus membayar biaya masuk dan biaya kuliah rutin, harus tinggal di mana nanti di sana, dan pertanyaan-pertanyaan lain menggelayut mesra dalam batin Bapak. Tak jadi mengambil kesempatan kuliah di Malang, begitulah akhir keputusannya.
Sekali lagi, Bapak masih belum menyerah. Pilihan dan kesempatannya lantas jatuh pada jurusan yang sama di Jogja, Universitas Islam Indonesia namanya. Pilihan itupun terlahir dari pertimbangan-pertimbangan Bapak tentang masa depan perkuliahan dan segala keperluan hidup selama tinggal di sana. Bapak akan tinggal bersama saudara jauh dari pamannya, bukan sebagai tamu yang diistimewakan tentu saja, melainkan sebagai penjaga toko batik. Berbekal sepucuk surat titipan pamannya untuk pemilik rumah yang dituju, berangkatlah Bapak ke kota Jogjakarta. Di sana ia tak digaji, hanya dibayari uang kuliah dan makan sehari-hari. Bapak kemudian hidup mandiri di sana, jauh dari keluarga, menjadi apa saja yang dibutuhkan sekaligus menjadi kepercayaan si empunya rumah. Begitulah masa kuliahnya, dijalani dengan tanpa ada keluh kesah. Bahkan Bapak masih menyempatkan diri mengajar anak-anak kecil untuk membaca Al-Qur’an di langgar atau mushola dekat tempat tinggalnya, daerah Kauman kata Bapak, dekat Malioboro.
Masa kuliahnya menjadi lebih panjang dari masa kuliah normal, enam tahun. Itupun akhirnya tanpa gelar sarjana ilmu sejarah, melainkan sarjana muda hukum. Iya, Bapak tidak berhasil menyelesaikan kuliah di jurusan Ilmu Sejarahnya, tapi berpindah ke jurusan D3 Hukum. Semua itu karena kelulusan Bapak dipersulit oleh salah satu dosen yang memergoki Bapak mengabsenkan temannya yang tidak masuk pada saat mata kuliah dosen tersebut. Setelah mengulang mata kuliah itu dan tidak dilulus-luluskan juga, akhirnya Bapak memutuskan pindah jurusan, daripada pulang ke kampong halaman tanpa membawa gelar, katanya. Semua tetap dijalani Bapak dengan tawakal. Satu pesan yang pernah disampaikan Bapak untuk saya saat giliran saya yang masuk perguruan tinggi adalah begini,
”Nggak perlu kamu khawatir dengan jurusanmu ini. Sarjana S.KM (Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, red.) memang banyak, tapi percaya saja kalau kamu juga bisa. Jangan terlalu tidak percaya diri. Ketika Bapak dulu kuliah, ada satu prinsip yang Bapak tegaskan pada teman-teman Bapak. Yaitu bahwa Bapak kuliah dengan niat untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari kerja. Titik. Pakailah prinsip itu juga, maka dengan demikian, kamu tidak perlu khawatir lagi akan pekerjaan apa yang akan kamu dapatkan kelak. Ingat? Lapangan pekerjaan itu banyak.”
Dan pesan tersebut masih saya pegang hingga sekarang.
            Bagi saya, Bapak adalah panutan dalam hal keagamaan. Dari kecil Bapak yangs selalu menanamkan  nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya, saya dan ketiga kakak saya. Bapak sempat menjadi ketua ta’mir masjid beberapa kali periode di masjid dekat rumah, pun di tempat tinggal keluarga saya saat di Jakarta dulu. Bapak yang mengundang guru untuk mengajari anak-anak kecil di sekitar masjid, sekaligus mengajari saya untuk membaca Al-Qur’an. Bapak saya tidak pernah mengajari anak-anaknya dengan jalur kekerasan, penyabar. Meski anak-anaknya pada akhirnya tidak ada yang mengikuti jejak beliau pun, Bapak tetap terlihat sabar, meski mungkin saja dalam hati kecewa besar.
            Satu lagi pelajaran yang bisa saya ambil dari Bapak, bahwa kesederhanaan itu bisa membuat tiap-tiap hati menjadi legowo (ikhlas). Bapak saya seorang purna pegawai negeri sipil dengan gaji tak seberapa. Apalagi dulu Bapak sempat untuk meminta dipindah kerja ke kampung halaman Mama demi menemani Mbah Kakung, tentu saja pangkat menjadi diturunkan. Bapak mengajari anak-anaknya untuk tidak konsumtif, membeli kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan saja dan tidak hidup bermewah-mewah. Dan kini pelajarannya masih saya pegang, sebisa mungkin tidak konsumtif. Jaman boleh berubah, kecanggihan tekhnologi boleh meningkat dengan pesat, tapi prioritas kebutuhan tidak boleh dijejali dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus itu. Handphone misalnya, hampir setiap tahun pasti ada saja keluaran yang terbaru. Bapak mengajari saya untuk tidak ikut terpengaruh dengan sekitar, setidaknya, ketika barang yang kami punya masih bisa berfungsi dan fungsi utamanya masih bisa digunakan, maka kami tidak perlu untuk selalu menggantinya dengan model-model keluaran baru. Bapak, bagi saya, adalah guru besar kesederhanaan yang harus saya jadikan panutan.
            Sedangkan Mama? Mama tidak kalah istimewa dari Bapak. Pendidikan Mama hanya sampai Sekolah Menengah Atas. Mama adalah anak ketiga dari lima bersaudara, dan ia tidak lagi melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA. Kesempatan itu ia berikan kepada dua adik laki-lakinya, itupun adik yang tepat di bawah Mama tidak lagi sempat menuntaskan perguruan tingginya, mengalah demi adik kedua Mama. Keluarga Mama mungkin sudah berjiwa dagang. Mbah Kakung, ayah Mama, adalah seorang pembuat furniture, memiliki toko sendiri. Sedangkan nenek, ibu Mama, adalah penjual nasi pecel dan sebangsanya di pasar dekat rumah mereka ketika pagi hari. Masakan nenek enak, dan keahlian itu diturunkan kepada  Mama dan Om saya,  adik pertama Mama. Karena sejak kecil sudah membantu nenek memasak, mereka akhirnya juga jago masak. Selera masakannya Om bahkan sangat istimewa. Sayangnya, bakat itu tidak menurun ke saya. Oh, belum mungkin, karena bisa jadi kalau saya rajin berlatih, saya juga akan jago memasak seperti Mama. Ah, ini mungkin adalah salah satu keinginan yang patut untuk saya wujudkan dengan segera. Ya, semoga.
Mama adalah wanita terlembut, terhangat, tersederhana, sekaligus yang terkuat bagi saya. Iya, Mama lembut dan hangat. Membesarkan anak-anaknya 24 jam penuh di rumah, sebagai ibu  rumah tangga. Mama sekaligus yang terkuat, bahkan pekerjaan laki-laki seperti membenahi rumah, memaku, memotong kayupun Mama bisa. Mama memenuhi kodratnya sebagai wanita, lembut, hangat, memberi keturunan untuk suaminya, dan membesarkan anak-anaknya dengan kasih saying penuh. Mama juga penurut, selalu menerima kesederhanaan dengan berlapang dada. Mama tidak memakai perhiasan di pergelangan tangan, leher, pun telinganya. Hanya sebuah cincin yang melingkari jari manis kanannya, pemberian Bapak, maskawin saat menikah dulu. Itupun sudah hilang beberapa waktu yang lalu karena Mama mendapat musibah, digendam orang. Meskipun demikian, Mama selalu menerima keadaannya, menerima pemberian Tuhan untuk kami, keluarga kecil yang hidup sederhana dibawah asuhan Bapak dan Mama.
Sekali lagi, Mama adalah wanita yang kuat. Menjadi ibu rumah tangga biasa tampaknya bukan satu-satunya pilihan Mama. Mama tidak ingin berpangku tangan, oleh sebab itu Mama sering sekali mengeksekusi ide-ide untuk mencari sesuap nasi dengan berdagang. Salah satu pekerjaan yang bisa dilakukan Mama tanpa meninggalkan anak-anaknya. Mama sempat berganti-ganti jenis dagangan. Mama sempat berjualan soto, gado-gado, bubur ayam, buah-buahan, perkakas pembersih rumah, toko alat tulis, baju, bahan-bahan masakan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Sayangnya, mungkin masih belum jodoh. Pasti ada saja yang membuat jualan Mama akhirnya sepi pembeli. Saat ini pun di usia Mama yang tak lagi muda, hamper 60 tahun, Mama masih mencari kesibukan. Setiap hari Mama membuat pudding ubi ungu, labu, kentang, atau puding campuran lain untuk dijual di pasar pada pagi hari. Untungnya tidak seberapa memang, tapi kata Mama, itu sudah cukup menyenangkan. Dan saya bisa membayangkan, Mama pasti senang puding-puding buatannya dibeli pelanggan dan malah ada banyak yang bilang kalo puding buatan Mama enak. Tapi terkadang saya tidak tega juga ketika Mama pulang membawa sisa puding yang belum terjual dikarenakan pagi itu hujan, sehingga tak banyak pengunjung yang dating ke pasar. Mama hanya menjalaninya, dan selalu tersenyum ketika pulang.
Pelajaran terpenting selanjutnya adalah tentang bagaimana mereka mengarungi rumah tangga. Mama dan Bapak tidak menikah lantaran pacaran, melainkan lamaran beberapa saat setelah dikenalkan. Usia kakak pertama saya 35 tahun, dan bisa dibayangkan berapa usia pernikahan mereka sekarang. Bapak menikahi Mama di usianya yang ke-33 tahun, dan Mama saat itu masih berusia 23 tahun. Namun pernikahan mereka masih bertahan hingga sekarang. Satu yang perlu saya pelajari dari Mama, menerima dan mengalah jika perlu. Mementingkan keegoisan masing-masing bukanlah hal yang harus dipertahankan, dan saya harus meniru itu. Saling mengisi, memenuhi kekurangan dengan kelebihan satu dengan yang lain. Begitulah rahasia keawetan pernikahan Mama dan Bapak.
Mama dan Bapak mungkin belum bertemu dengan kehidupan yang enak di hampir sepersekian usianya yang sudah tidak bisa dibilang muda. Kini usia saya, anak terakhir dari empat bersaudara, sudah 22 tahun. Saya masih kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Dan kedua orangtua sayalah yang membiayai setiap biaya hidup dan biaya kuliah saya yang tidak bisa dibilang sedikit. Dengan ngos-ngosan, saya tahu itu. Uang beasiswa saya ternyata tidak cukup untuk hidup di Surabaya, dan Mama juga Bapak berusaha membuat hidup saya nyaman.
“Kamu hanya harus fokus kuliah saja,” kata mereka.
Tapi saya menyadari, bahwa sudah pasti saya  banyak mengecewakan mereka.

            Sepasang guru kehidupan, sekali lagi begitulah saya memanggil mereka dalam setiap jengkal hidup saya. Sepasang orang tua yang harus saya teladani baiknya, dan sekaligus mencoba untuk menyempurnakan kekurangan mereka, saat ini hingga nanti. Terimakasih Mama, terimakasih Bapak, semoga dipanjangkan umur kalian untuk bisa merasa dibahagiakan, sebab saat ini saya masih belum bisa membahagiakan kalian. Terimakasih juga karena sudah membesarkan dan mengenalkan kami, anak-anakmu, dengan kehidupan berkasih sayang.
*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar