Kamis, 30 Januari 2014

Empat Musim dalam Satu, Kamu.

Kita bertemu dan aku justru merasa kehilangan. Iya, aku selalu kehilangan kata-kata saat bertatap muka denganmu. Bahkan terkadang kesadaranku juga hilang. Terasa terasing dari dunia, tidak menapak dan seakan-akan yang disekitar kita justru adalah fatamorgana.

Entah sulap atau hipnotis yang kau perbuat padaku, namun itu mungkin satu-satunya bentuk kehilangan yang aku nikmati. Aku senang saat dunia terasa hilang dan kini tinggal aku serta kamu dalam waktu yang sama, bercengkerama tanpa suara.

Ada impuls-impuls yang mengalir melalui syaraf, menggetarkan sesuatu yang tak tersentuh dan entah bagaimana sistematikanya. Ia mengalir, berdesir, terabsorbsi dengan halus dalam denyut nadi dan hati.

Sekelebat, dua kelebat, sama. Yang kulihat hanya aku dan kamu, cuma itu. Sedetik, dua detik, sama. Yang aku rasa hanya debaran yang menjelma menjadi candu saat ia tidak terasa.

Lidahku kelu, tubuhku kaku, otakku beku. Tapi hati dan jantungku seakan terpacu. Aku tidak bisa bicara, tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku, tidak bisa pula berpikir dengan akal sehatku. Yang kutahu, yang kurasa, hanya satu. Jantungku sedang berdetak dengan cepat dan hati seperti sedang musim semi, dipenuhi bunga warna-warni.

Mungkin ini berlebihan. Tapi sungguh, melihatmu, merasakan sistematika kehilangan dengan cepatnya, terasa bagai oase, musim semi, hujan disaat terik, atau apapun yang seperti itu. Terasa teduh. Berada didekatmu sekaligus bagai mendapati selimut dalam dingin, secangkir teh panas saat hujan, atau hangatnya mentari saat musim salju. Hangat.

Iya, aku bisa merasakan empat musim dalam satu, kamu. Musim semi yang berbunga-bunga, musim salju yang sekelu lidahku sekaku tubuhku sebeku otakku, musim panas yang hangat, dan musim penghujan yang teduh. Aku melihat dunia dalam dirimu, dan aku menikmatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar